Cari Blog Ini

KISAH SYAIKH SANÁN

Dahulu kala, di daratan Arab, di kota Makkah, hiduplah seorang Syekh Sufi yang taat, seorang guru besar yang bernama San’an. Sudah lima puluh tahun lamanya dia mengabdikan hidupnya untuk melayani Tuhan dan makhluk-Nya. Dengan tinggal di sebuah pertapaan, sang Syekh membimbing calon-calon Sufi di dalam perjalanan spiritualnya. Bila malam tiba, dalam gumaman doanya, dia berbagi misteri-misteri penciptaan bersama Tuhan Terkasihnya. Mereka yang datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, kerap mengunjungi sang Syekh-untuk mendengarkan nasihatnya dan belajar dari ajarannya. Dia memiliki 400 orang murid, semua muridnya setia kepadanya, mereka menuruti semua perintahnya tanpa menghiraukan kehendak dan keinginan merea sendiri. Mereka mempercayai gurunya sepenuh hati, mereka meninggalkan keluarganya dan menjadi abdi sang Syekh.
Suatu malam, San’an bermimpi. Dia melihat dirinya berada di kota Rum, di wilayah Kerajaan Byzantium, sedang tunduk kepada suatu berhala. Dia terbangun dengan perasaan tegang, takut mimpinya merupakan pertanda dari Tuhan atas peristiwa yang akan terjadi. San’an coba mengenyahkan mimpinya, berkata pada dirinya bahwa itu tak lebih sekadar mimpi dan tidak punya arti apa-apa. Tetapi dia menjadi cemas ketika mimpi itu datang kembali dan terus muncul di dalam tidurnya. Ketika dia tidak lagi dapat mengabaikan mimpi buruk yang menghantuinya, San’an memutuskan untuk pergi  ke Byzantium agar mengetahui apa yang disimpan Tuhan untuknya.
{jcomments on}
Sewaktu San’an berkemas-kemas, banyak muridnya yang berkeras menemaninya, sebagaimana kebiasaan kaum Sufi di kala itu. San’an memperingatkan mereka bahwa perjalanan yang akan mereka tempuh mungkin tidak akan menyenangkan, tetapi mereka tetap pada pendiriannya. Maka San’an dan murid-muridnya pun berangkat, berjalan siang dan malam, tidak peduli akan hujan, dan tak seorang pun yang mengeluh.
Akhirnya mereka tiba di dekat sebuah tempat peribadatan di perbatasan kota Rum. Ketika mereka mengamati tempat itu, Syekh mendengar suara yang menyentuh jiwa, suara yang lebih lembut dibanding tiupan angin sepoi-sepoi, lebih ringan dari bulu, dan menyanyikan lagu cinta yang membuat hati dipenuhi hasrat. Syekh mengikuti suara itu. Dia tiba di sebuah jendela terbuka di lantai kedua tempat ibadah itu. Di situ tampak seorang gadis Kristen sedang duduk menyisir rambutnya yang panjang dan berwarna keemasan sambil menyenandungkan bait-bait kesedihan. Cahaya memantulkan rambutnya, bibirnya yang merah dan mengkilat merekah seolaholah siap menerima ciuman, dan lehernya yang putih seperti pualam terlihat dari celah kerah bajunya. Menciptakan pemandangan yang begitu indah sehingga bahkan orang sealim San’an pun terpesona. San’an terpaku melihatnya, dia tidak dapat mengalihkan tatapannya. Hatinya berdebar kencang dan nafasnya sesak. Dalam sedetik, lebih singkat dari sekejap mata, orang tua itu jatuh cinta kepada gadis Kristen tersebut. Akhirnya dia terduduk di tempat, tubuhnya menggigil, dan menangis, “Oh, Tuhanku! Aku ini terbuat dari apa? Api apa ini; membakar jiwaku, merampasku dari keberadaanku?”
San’an duduk di dalam api cintanya yang meluluhkan jiwa dan pikirannya. Dalam sekejap dia telah melupakan siapa dirinya dan dari mana dia berasal. Tidak ada lagi yang dipedulikannya kecuali memandang kembali wajah gadis muda tadi. Namun gadis itu telah meninggalkan jendela dan menghilang tanpa menghiraukan ratapan dan tangisan sang Syekh.
Murid-murid San’an akhirnya menemukan gurunya dalam keadaan menderita begitu, kebingungan tidak tahu harus berbuat apa. Mengira Syekh mungkin baru saja melampaui sebuah tahapan, mereka coba mengatakannya, tetapi tidak membantu, Syekh tidak mendengar apa yang mereka katakana dan hanya berdiam menatap jendela kamar si gadis yang sekarang kosong.
Menjelang malam, Syekh semakin menderita karena dia menyadari bahwa dia harus menunggu hingga pagi agar bisa melihat kembali cintanya. Agaknya gelapnya malam memberinya racun cinta yang kuat, yang menambah kerinduannya, dan hatinya terluka lebih dalam. Dia meratap dan merangkak di atas tanah. Dia mencakari tanah dan meremasnya dengan tangan gemetar, membasahinya dengan airmata."Tak pernah kualami malam yang begitu panjang," rintihnya. “Malam-malam penuh derita pernah kualami, tetapi tidak ada yang serupa seperti malam ini. Tidak pernah ada yang membuatku begini sedih, dan tidak pernah aku merindu seperti malam ini. Aku merasa seperti lilin yang kehilangan malam. Cahayaku akan dipadamkan oleh sinar mentari, dan aku tidak akan bertahan hidup lebih lama untuk menyampaikan kisah tentang malam yang mengerikan ini. Tidak ada lagi kesabaran yang kupunya untuk melewati kegelapan-juga tidak ada lagi pikiran untuk meyakinkanku tentang alasan datangnya fajar. Tubuhku remuk di bawah beban cinta ini. Di mana lenganku, setidaknya aku bisa mengubur diri di tanah kotor ini agar aku tidak harus menanggung perpisahan ini; atau di mana kakiku, agar aku dapat membawa diriku kepada cintaku! Andai aku memiliki teman yang simpatinya dapat membebaskanku! Oh, aku tidak punya apa-apa lagi. Telah kuberikan segalanya ke dalam cinta yang menerjang merampas mengempaskan ini.!”
Murid-murid San’an berkumpul mengelilingi Syekhnya yang tengah menderita, mereka ikut merintih bersamanya sepanjang malam. Bukan karena mereka mengerti, tetapi karena mereka sedih dan bingung atas apa yang terjadi pada gurunya.
Begitulah, San’an mabuk kepayang kepada gadis Kristen yang melayani rumah ibadah tersebut. Kegilaan menimpa San’an sehingga dia lupa akan masa lalunya. Seakan-akan dia tahu dunia akan berakhir, yang dipedulikannya hanyalah sepasang mata biru memikat yang seolah mengikutinya ke mana pun dia pergi.
Pada malam kedua, San’an menjadi sangat resah. Murid-murid nya kembali berkumpul mengelilinginya, mengkhawatirkan keadaan San’an. Mereka berpikir bahwa mungkin mereka dapat berbicara dengan San’an untuk mengeluarkan San’an dari obsesinya. Masing-masing maju mendekati San’an dengan saran dan anjuran.
“Kenapa tidak engkau lupakan saja gadis itu? Lakukanlah penyucian diri untuk membersihkan jiwamu, dan kita semua bisa pulang.”
“Penyucian diriku sudah kulakukan dengan darah dan hatiku yang terluka. Jangan bicara tentang penyucian diri denganku, kau tidak tahu apa-apa tentang hati yang bersimbah darah Karena cinta!”
“Jika engkau bertobat atas dosa-dosamu, Tuhan akan memaafkanmu, karena engkau telah menjadi Syekh selama bertahun-tahun.”
“Apa yang kusesali adalah ke-syekh-anku, dan tidak ada lagi yang lain selain itu.”
“Engkau penuntun kami menuju Cahaya, orang yang mengetahui jalan menuju Tuhan. Jika engkau berdoa kepada-Nya, Dia pasti akan mendengarmu dan memaafkanmu.”
“Aku berdoa untuk jelita yang memabukkan itu. Semua-mua doaku telah terikat terpikat kepadanya.”
“Apa engkau tidak menyesali cinta beginian, yang telah sepenuhnya membutakanmu?”
“Aku sungguh-sungguh menyesal, namun hanya menyesali satu hal-bahwa mengapa aku tidak jatuh cinta dari dulunya.”
“Tidakkah engkau peduli akan apa yang dipikirkan orang lain? Apa yang akan dikatakan orang bila mereka mendengar Syekh mereka yang alim telah tersesat?”
“Apa yang dikatakan orang lain tentang aku tidak lagi menjadi masalah untukku. Kenapa aku harus mempedulikan anggapan mereka terhadapku? Aku terbebas dari hal itu, sekarang.”
“Tidakkah engkau peduli pada sahabat-sahabatmu-terhadap kami dan murid-muridmu yang lain? Tidakkah engkau menyadari, hati kami terluka melihat engkau begini?”
“Yang kupedulikan hanyalah melihat kekasihku bahagia. Bagiku, yang lain sudah tiada.”
“Ayolah, mari kita kembali ke Makkah dan Ka’bahnya. Kita lupakan perjalanan ini serta apa yang terjadi di sini.”
“Makkahku satu-satunya adalah tempat ini, dan Ka’bahnya adalah jelita di tepi jendela itu. Di sinilah tempat orang mabuk cinta dan bukan di sana.”
“Setidaknya, sadarlah akan firdaus. Engkau sudah tua dan tidak punya banyak waktu tersisa. Jika engkau berharap bisa masuk Surga, tinggalkan kesia-sian ini.”
“Surga apa yang lebih indah dibandingkan paras malaikat kekasihku? Untuk apa Firdaus jikalau aku memiliki yang satu ini?”
“Tidakkah engkau malu di hadapan Yang Mahakuasa? Selama bertahun-tahun Dia telah menjadi penghidupanmu satu-satunya. Bagaimana engkau bisa mengkhianati-Nya sekarang?”
“Bagaimana aku dapat melarikan diri dari jebakan yang Tuhan sendiri ciptakan untukku?”
“Oh, syekh yang luhur, ini permintaan kami yang terakhir. Demi Allah, kembalilah kepada keyakinanmu dan jangan abaikan kami, murid-muridmu ini.”
“Jangan memintaku begitu. Aku tenggelam di dalam hujjah, dan untuk orang yang telah menyingkirkan keyakinan dan memilih fitnah, tidak ada jalan untuk kembali.”
Ketika mereka gagal member saran, mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah tempat yang tidak jauh dari situ, untuk berjaga-jaga siapa tahu San’an berubah pikiran. Satu-satunya cara agar mereka dapat menahan kepedihan karena kehilangan guru mereka, adalah dengan berharap bahwa semuanya akan segera seperti sedia kala.
Siang berganti malam, masih belum ada perubahan. San’an berdiam diri di seberang peribadatan itu, di mana segerombola anjing liar biasanya berkumpul. Tempat itu berada di pinggir jalan yang biasa di lalui si jelita bila hendak ke kota. Berharap gadis itu akan memperhatikannya, San’an duduk dengan sabar, menatap gadis itu dengan penuh kerinduan setiap kali gadis itu lewat. Namun sang gadis tidak pernah melihatnya, terus berjalan menuju kota, seakan tidak pernah menyadari keberadaan San’an sama sekali.
Karena tidak mengetahui nama kekasihnya, Syekh memberinya nama Sinar Mentari (‘Ayn Syams). Dia membuat puisi dengan nama itu, kemudian menyanyikannya dengan nada sumbang sedih. Dia telah termangsa oleh cintanya sehingga tidak menghiraukan makan dan minum. Jika ada orang melemparkan sisa-sisa makanan untuk anjing liar, dia akan ikut ambil bagian; bila tidak, dia kelaparan bahkan tanpa menyadarinya.
Pada akhirnya, gadis itu melihat seorang lelaki tua aneh yang sedang duduk di atas debu. Karena ingin tahu, si gadis bertanya, “Kenapa engkau tinggal di sini bersama anjing? Apa engkau tidak memiliki rumah atau saudara?”
Saking girangnya disapa si Sinar Mentari, Syekh menjawab, “Aku tidak kenal rumah atau saudara. Apa yang kukenal adalah bahwa aku telah jatuh cinta padamu, dan akan tinggal di sini hingga engkau melihatku pantas untuk cintamu.”
Sinar Mentari tertawa mendengarnya dan mencemoohnya dengan jijik. “Apa kau tidak malu pada dirimu sendiri? Kau pantas untuk jadi kakekku. Orang seusiamu hanya pantas masuk kubur. Gadis semuda dan secantik diriku layak mendapatkan pemuda yang tampan.”
“Cinta tidak mengenal usia. Tidak peduli muda atau tua, cinta berpengaruh sama. Aku adalah abdimu, dan akan melakukan apa pun yang engkau katakan, jelitaku.”
Sang guru membicarakan cinta dan deritanya dengan begitu penuh perasaan sehingga perlahan-lahan sang gadis mempercayai ketulusannya. Sesungguhnya, gadis itu sadar, San’an akan melakukan apa pun keinginannya. Maka gadis itu berkata, “Jika apa yang kau katakana benar, maka engkau harus meninggalkan keyakinanmu dan berpindah ke dalam agama kami. Engkau harus membakar Kitab Suci dan meninggalkan seluruh kewajibanmu dari agamu. Engkau harus meminum anggur dan menanggalkan jubah ke=Syekh-anmu.”
San’an menjawab tuntunan yang mengejutkan tersebut dengan tenang. “Cinta menciptakan banyak tantangan bagi seorang pencinta. Ujiannya kejam dan bersimbah darah, tetapi hasilnya manis dan menyenangkan. Pencinta sejati tidak kenal agama, karena cinta itu sendiri merupakan keyakinannya. Dia tidak mengenal status, karena tidak ada tempat yang lebih tinggi dibandingkan menjadi bagian dari cinta.”
Ketika para pendeta dan anggota gereja Byzantium mendengar seorang guru Sufi telah setuju meninggalkan agamanya, mereka segera berpesta. Mereka menyelenggarakan acara di mana Syekh melemparkan Alquran ke dalam api, di mana Syekh menanggalkan jubahnya dan mengenakan sabuk gereja. Lalu Syekh meminum anggur dan membungkuk tunduk kepada si jelita pujaan hatinya. San’an bersukacita dengan yang lainnya, sambil bernyanyi, “Aku menjadi bukan apa-apa untuk cinta. Aku telah menjadi aib di dalam cinta. Tak seorang pun melihat apa yang dapat kulihat dengan mata cinta.”
Sementara umat Kristen bergembira, murid-murid Syekh meratap. Hati mereka retak dan hancur, karena guru mereka tidak melihat mereka menderita ataupun mendengar rintihan mereka.
San’an telah tunduk sepenuhnya pada perintah kekasihnya-tanpa peduli bahwa itu melanggar semua yang dulu dipertahankannya. Dan itu pun masih belum cukup; dia masih ingin membuktikan cintanya dengan memenuhi keinginan gadis dalam setiap tindakannya. Maka San’an pun bertanya, “Apa lagi yang dapat kulakukan untukmu?”
Gadis itu mendongak dan tertawa, “Engkau harus menyediakan uang untukku. Aku ingin perhiasan, emas dan koin perak. Jika engkau tidak memilikinya jangan buang waktumu, orang tua, pergilah dari pandanganku.”
Syekh menjawab bahwa dia tidak memiliki tujuan lain kecuali tempat ibadah tersebut, karena keberadaannya telah tersesat di dalam diri si gadis. Bahwa dia tidak memiliki apa-apa kecuali hatinya, dan itu pun sudah dia berikan kepada sang gadis. Bahwa dia tidak dapat hidup tanpa sang gadis-dia tidak tahan jauh dengannya. Dia akan melakukan apa saja yang diinginkan gadis, asal bisa bersamanya.
“Syarat pernikahanku,” kata gadis itu penuh pertimbangan, “adalah sengkau harus mengurus babiku selama satu tahun. Bila dalam jangka waktu itu engkau memenuhi keinginanku dengan memuaskan, aku akan jadi isterimu.”
Dengan senang hati San’an tinggal di kandang babi, dan dengan penuh perhatian dan kasih sayang dia merawat hewan-hewan yang tidak disukai kaum Muslim itu. Melihat gurunya tinggal di kandang babi, adalah hal yang terlalu memalukan bagi murid-murid San’an. Mereka mendatangi Syekh dan memohon, “Apa yang harus kami lakukan sekarang? Apakah engkau menginginkan kami pindah agama juga? Kami akan tinggal denganmu jika engkau mau.”
San’an berkata bahwa dia tidak menginginkan apa-apa dari mereka, dan mereka sebaiknya menempuh jalan mereka sendiri. Jika ada yang bertanya tentang mereka, dia akan mengatakan yang sebenarnya. Sekarang mereka harus pergi dan membiarkannya memelihara babi, karena dia tidak punya waktu untuk mereka.
Sambil menangis murid-murid Syekh kembali ke Makkah. Di sana mereka segera memisahkan diri karena takut harus menjelaskan kepada murid-murid lain mengenai apa yang telah terjadi di Rum. Namun ada satu orang yang tidak dapat mereka hindari. Orang itu adalah sahabat mereka, yang sedang mengembara ketika Syekh beserta mereka pergi ke Rum. Ketika dia pulang dan tidak menemukan gurunya, dia menanyakannya kepada mereka. Mereka terpaksa menceritakan semuanya.
Ketika mereka selesai, orang itu menjerit, dan berteriak dengan marah, “Murid macam apa kalian ini? Jika kalian mencintai sang guru, kalian harus membuktikannya. Kalian seharusnya malu pada diri kalian sendiri! Jika guru kalian membuang jubah Sufinya dan mengenakan sabuk pendeta, kalian seharusnya melakukan hal yang sama. Jika beliau tinggal di kandang babi, kalian seharusnya ikut bersamanya. Itulah tuntutan cinta-tidak peduli dibilang memalukan atau tidak waras. Beraninya kalian menghakimi Syekh kita berbuat salah! Apa yang memberi kalian kekuasaan untuk menasihatinya agar meninggalkan cintanya?”
Karena malu oleh temannya, murid-murid itu merendahkan kepala dengan penuh kesedihan. Dengan penyesalan mendalam, mereka memasuki tempat pengasingan diri di rumah murid yang setia tadi, mereka tidak makan maupun minum.
Pada hari ke-40, murid yang setia, yang telah menangis siang dan malam dalam dukacita untuk gurunya, mendapatkan sebuah penglihatan. Telah muncul awan debu dari tempat ibadah yang melayang-layang antara Syekh dan Tuhan. Tiba-tiba, awan debu itu menghilang, lalu Syekh diselimuti oleh cahaya. Kemudian terdengar suara kekal berkata, “Orang harus dibakar api Cinta agar layak menemui Kekasih Abadi. Nama dan jabatan tidak memiliki nilai di dalam Kesaksian Cinta. Sebelum dia dapat melihat Kebenaran, debu eksistensi harus dibersihkan dari cermin jiwa. Hanya setelahnya dia dapat melihat refleksi Kebenaran Kekasih di dalam cermin.”
Sang murid berlari menemui teman-temannya, dan menceritakan penglihatannya. Tanpa membuang waktu mereka segera kembali ke Rum.
Di luar kota, mereka menemukan Syekh yang sedang bersujud di tanah, menyembah Tuhan. Dia telah melampaui mesjid dan gereja, terbebas dari Islam maupun Kristen, terlepas dari perlekatannya pada status atau kealiman, dia telah bebas dari diri, bersatu dengan Kekasih Sejati. Syekh tampak diam, meski matanya bersinar, sarat dengan rahasia kebahagiaan yang hanya diketahui oleh Sang Kekasih dan pencinta. Murid-murid berkumpul mengelilingi gurunya. Syekh  bergabung dengan mereka kembali. Bersama-sama mereka kembali ke Makkah.
Sementara itu, gadis yang di beri nama Sinar Mentari oleh San’an memperoleh mimpi yang luar biasa. Di dalam mimpinya Tuhan menampakkan diri sebagai matahari. Gadis terjerembab di atas tanah dan menangis, “Oh, Tuhanku, betapa dungu aku yang belum mengenalmu. Tunjukkan jalan menuju-Mu, karena sekarang aku mengenalmu. Tunjukkan jalan menuju-Mu, karena sekarang aku telah melihat Kecantikan-Mu, aku tidak lagi dapat hidup tanpa-Mu. Aku juga tidak dapat berhenti sedetik pun hingga aku menyatu dengan-MU."
Gadis itu tidak sadarkan diri, kemudian menangis selama berjam-jam. Akhirnya sebuah panggilan datang dari Surga: “Pergilah kepada Syekh. Dialah yang akan menunjukkanmu jalan.”
Dia bergegas keluar tanpa sempat mengenakan alas kaki. Ketika dia menemukan San’an telah berangkat ke Makkah, gadis itu berlari keluar kota, menuju gurun mencari kafilah sang guru. Tetapi sudah terlambat, kafilah itu telah pergi berjam-jam sebelumnya. Gadis tanpa alas kaki itu terus berlari siang dan malam, tanpa air maupun makanan. Sepanjang jalan airmatanya jatuh menderas membasahi pasir yang kerontang. Dia menjerit sedih den pedih, memanggil sang guru dengan penuh cintah dan sayang.
Tangisnya sampai juga kepada hati Syekh. Dalam hatinya Syekh paham bahwa sang gadis telah meninggalkan semua yang dimilikinya untuk mencari Kekasihnya. San’an memberitahukan murid-muridnya berita tersebut, dan mengirim mereka untuk mencarinya. Mereka menemukan gadis itu dalam keadaan yang menyedihkan, terbaring di atas pasir karena kehausan dan kelelahan, sambil memanggil-manggil Syekh.
Di hadapan Syekh gadis itu menyembah kaki Syekh, dan memohon: “Guru besar, aku terbakar oleh cinta. Aku rindu ingin melihat Kekasihku, meski mataku tidak melihat apa-apa kecuali kegelapan. Bantu aku untuk melihat-Nya, karena aku tidak bisa bertahan tanpa Tuhanku.”  Syekh menggenggam tangan si gadis dengan lembut, dan menatap ke dalam matanya seolah melihat langsung ke dalam jiwanya, menuntun jiwanya menuju Tuhan melalui jiwa Syekh. Sang gadis terisak, “Oh, Cinta, aku tidak tahan untuk berpisah lagi. Selamat tinggal guru besar dari segala usia!” Dengan berucap begitu Sinar Mentari menyerahkan jiwanya kepada Kekasihnya dan kemudian meninggal dunia.
San’an berdiri, tidak bergerak untuk beberapa jenak. Murid-muridnya khawatir gurunya akan gila lagi. Namun akhirnya San’an mengangkat kepala dan menerawang jauh kearah gurun sambil berkata: “Beruntunglah mereka yang telah menyelesaikan perjalanannya dan menyatu dengan Tuhan-lah mereka hidup.”
San’an menghela nafas dan menambahkan, “Dan malanglah bagi mereka yang ditakdirkan untuk menuntun yang lainnya menuju Tujuan-karena mereka harus mengabaikan penyatuan dan terikat demi kesenangan dan kehendak-Nya!”

Ditulis Oleh : Unknown // 23.12
Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar

 
Diberdayakan oleh Blogger.