Cari Blog Ini

KISAH SYAIKH SANÁN

Dahulu kala, di daratan Arab, di kota Makkah, hiduplah seorang Syekh Sufi yang taat, seorang guru besar yang bernama San’an. Sudah lima puluh tahun lamanya dia mengabdikan hidupnya untuk melayani Tuhan dan makhluk-Nya. Dengan tinggal di sebuah pertapaan, sang Syekh membimbing calon-calon Sufi di dalam perjalanan spiritualnya. Bila malam tiba, dalam gumaman doanya, dia berbagi misteri-misteri penciptaan bersama Tuhan Terkasihnya. Mereka yang datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, kerap mengunjungi sang Syekh-untuk mendengarkan nasihatnya dan belajar dari ajarannya. Dia memiliki 400 orang murid, semua muridnya setia kepadanya, mereka menuruti semua perintahnya tanpa menghiraukan kehendak dan keinginan merea sendiri. Mereka mempercayai gurunya sepenuh hati, mereka meninggalkan keluarganya dan menjadi abdi sang Syekh.
Suatu malam, San’an bermimpi. Dia melihat dirinya berada di kota Rum, di wilayah Kerajaan Byzantium, sedang tunduk kepada suatu berhala. Dia terbangun dengan perasaan tegang, takut mimpinya merupakan pertanda dari Tuhan atas peristiwa yang akan terjadi. San’an coba mengenyahkan mimpinya, berkata pada dirinya bahwa itu tak lebih sekadar mimpi dan tidak punya arti apa-apa. Tetapi dia menjadi cemas ketika mimpi itu datang kembali dan terus muncul di dalam tidurnya. Ketika dia tidak lagi dapat mengabaikan mimpi buruk yang menghantuinya, San’an memutuskan untuk pergi  ke Byzantium agar mengetahui apa yang disimpan Tuhan untuknya.
{jcomments on}
Sewaktu San’an berkemas-kemas, banyak muridnya yang berkeras menemaninya, sebagaimana kebiasaan kaum Sufi di kala itu. San’an memperingatkan mereka bahwa perjalanan yang akan mereka tempuh mungkin tidak akan menyenangkan, tetapi mereka tetap pada pendiriannya. Maka San’an dan murid-muridnya pun berangkat, berjalan siang dan malam, tidak peduli akan hujan, dan tak seorang pun yang mengeluh.
Akhirnya mereka tiba di dekat sebuah tempat peribadatan di perbatasan kota Rum. Ketika mereka mengamati tempat itu, Syekh mendengar suara yang menyentuh jiwa, suara yang lebih lembut dibanding tiupan angin sepoi-sepoi, lebih ringan dari bulu, dan menyanyikan lagu cinta yang membuat hati dipenuhi hasrat. Syekh mengikuti suara itu. Dia tiba di sebuah jendela terbuka di lantai kedua tempat ibadah itu. Di situ tampak seorang gadis Kristen sedang duduk menyisir rambutnya yang panjang dan berwarna keemasan sambil menyenandungkan bait-bait kesedihan. Cahaya memantulkan rambutnya, bibirnya yang merah dan mengkilat merekah seolaholah siap menerima ciuman, dan lehernya yang putih seperti pualam terlihat dari celah kerah bajunya. Menciptakan pemandangan yang begitu indah sehingga bahkan orang sealim San’an pun terpesona. San’an terpaku melihatnya, dia tidak dapat mengalihkan tatapannya. Hatinya berdebar kencang dan nafasnya sesak. Dalam sedetik, lebih singkat dari sekejap mata, orang tua itu jatuh cinta kepada gadis Kristen tersebut. Akhirnya dia terduduk di tempat, tubuhnya menggigil, dan menangis, “Oh, Tuhanku! Aku ini terbuat dari apa? Api apa ini; membakar jiwaku, merampasku dari keberadaanku?”
San’an duduk di dalam api cintanya yang meluluhkan jiwa dan pikirannya. Dalam sekejap dia telah melupakan siapa dirinya dan dari mana dia berasal. Tidak ada lagi yang dipedulikannya kecuali memandang kembali wajah gadis muda tadi. Namun gadis itu telah meninggalkan jendela dan menghilang tanpa menghiraukan ratapan dan tangisan sang Syekh.
Murid-murid San’an akhirnya menemukan gurunya dalam keadaan menderita begitu, kebingungan tidak tahu harus berbuat apa. Mengira Syekh mungkin baru saja melampaui sebuah tahapan, mereka coba mengatakannya, tetapi tidak membantu, Syekh tidak mendengar apa yang mereka katakana dan hanya berdiam menatap jendela kamar si gadis yang sekarang kosong.
Menjelang malam, Syekh semakin menderita karena dia menyadari bahwa dia harus menunggu hingga pagi agar bisa melihat kembali cintanya. Agaknya gelapnya malam memberinya racun cinta yang kuat, yang menambah kerinduannya, dan hatinya terluka lebih dalam. Dia meratap dan merangkak di atas tanah. Dia mencakari tanah dan meremasnya dengan tangan gemetar, membasahinya dengan airmata."Tak pernah kualami malam yang begitu panjang," rintihnya. “Malam-malam penuh derita pernah kualami, tetapi tidak ada yang serupa seperti malam ini. Tidak pernah ada yang membuatku begini sedih, dan tidak pernah aku merindu seperti malam ini. Aku merasa seperti lilin yang kehilangan malam. Cahayaku akan dipadamkan oleh sinar mentari, dan aku tidak akan bertahan hidup lebih lama untuk menyampaikan kisah tentang malam yang mengerikan ini. Tidak ada lagi kesabaran yang kupunya untuk melewati kegelapan-juga tidak ada lagi pikiran untuk meyakinkanku tentang alasan datangnya fajar. Tubuhku remuk di bawah beban cinta ini. Di mana lenganku, setidaknya aku bisa mengubur diri di tanah kotor ini agar aku tidak harus menanggung perpisahan ini; atau di mana kakiku, agar aku dapat membawa diriku kepada cintaku! Andai aku memiliki teman yang simpatinya dapat membebaskanku! Oh, aku tidak punya apa-apa lagi. Telah kuberikan segalanya ke dalam cinta yang menerjang merampas mengempaskan ini.!”
Murid-murid San’an berkumpul mengelilingi Syekhnya yang tengah menderita, mereka ikut merintih bersamanya sepanjang malam. Bukan karena mereka mengerti, tetapi karena mereka sedih dan bingung atas apa yang terjadi pada gurunya.
Begitulah, San’an mabuk kepayang kepada gadis Kristen yang melayani rumah ibadah tersebut. Kegilaan menimpa San’an sehingga dia lupa akan masa lalunya. Seakan-akan dia tahu dunia akan berakhir, yang dipedulikannya hanyalah sepasang mata biru memikat yang seolah mengikutinya ke mana pun dia pergi.
Pada malam kedua, San’an menjadi sangat resah. Murid-murid nya kembali berkumpul mengelilinginya, mengkhawatirkan keadaan San’an. Mereka berpikir bahwa mungkin mereka dapat berbicara dengan San’an untuk mengeluarkan San’an dari obsesinya. Masing-masing maju mendekati San’an dengan saran dan anjuran.
“Kenapa tidak engkau lupakan saja gadis itu? Lakukanlah penyucian diri untuk membersihkan jiwamu, dan kita semua bisa pulang.”
“Penyucian diriku sudah kulakukan dengan darah dan hatiku yang terluka. Jangan bicara tentang penyucian diri denganku, kau tidak tahu apa-apa tentang hati yang bersimbah darah Karena cinta!”
“Jika engkau bertobat atas dosa-dosamu, Tuhan akan memaafkanmu, karena engkau telah menjadi Syekh selama bertahun-tahun.”
“Apa yang kusesali adalah ke-syekh-anku, dan tidak ada lagi yang lain selain itu.”
“Engkau penuntun kami menuju Cahaya, orang yang mengetahui jalan menuju Tuhan. Jika engkau berdoa kepada-Nya, Dia pasti akan mendengarmu dan memaafkanmu.”
“Aku berdoa untuk jelita yang memabukkan itu. Semua-mua doaku telah terikat terpikat kepadanya.”
“Apa engkau tidak menyesali cinta beginian, yang telah sepenuhnya membutakanmu?”
“Aku sungguh-sungguh menyesal, namun hanya menyesali satu hal-bahwa mengapa aku tidak jatuh cinta dari dulunya.”
“Tidakkah engkau peduli akan apa yang dipikirkan orang lain? Apa yang akan dikatakan orang bila mereka mendengar Syekh mereka yang alim telah tersesat?”
“Apa yang dikatakan orang lain tentang aku tidak lagi menjadi masalah untukku. Kenapa aku harus mempedulikan anggapan mereka terhadapku? Aku terbebas dari hal itu, sekarang.”
“Tidakkah engkau peduli pada sahabat-sahabatmu-terhadap kami dan murid-muridmu yang lain? Tidakkah engkau menyadari, hati kami terluka melihat engkau begini?”
“Yang kupedulikan hanyalah melihat kekasihku bahagia. Bagiku, yang lain sudah tiada.”
“Ayolah, mari kita kembali ke Makkah dan Ka’bahnya. Kita lupakan perjalanan ini serta apa yang terjadi di sini.”
“Makkahku satu-satunya adalah tempat ini, dan Ka’bahnya adalah jelita di tepi jendela itu. Di sinilah tempat orang mabuk cinta dan bukan di sana.”
“Setidaknya, sadarlah akan firdaus. Engkau sudah tua dan tidak punya banyak waktu tersisa. Jika engkau berharap bisa masuk Surga, tinggalkan kesia-sian ini.”
“Surga apa yang lebih indah dibandingkan paras malaikat kekasihku? Untuk apa Firdaus jikalau aku memiliki yang satu ini?”
“Tidakkah engkau malu di hadapan Yang Mahakuasa? Selama bertahun-tahun Dia telah menjadi penghidupanmu satu-satunya. Bagaimana engkau bisa mengkhianati-Nya sekarang?”
“Bagaimana aku dapat melarikan diri dari jebakan yang Tuhan sendiri ciptakan untukku?”
“Oh, syekh yang luhur, ini permintaan kami yang terakhir. Demi Allah, kembalilah kepada keyakinanmu dan jangan abaikan kami, murid-muridmu ini.”
“Jangan memintaku begitu. Aku tenggelam di dalam hujjah, dan untuk orang yang telah menyingkirkan keyakinan dan memilih fitnah, tidak ada jalan untuk kembali.”
Ketika mereka gagal member saran, mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah tempat yang tidak jauh dari situ, untuk berjaga-jaga siapa tahu San’an berubah pikiran. Satu-satunya cara agar mereka dapat menahan kepedihan karena kehilangan guru mereka, adalah dengan berharap bahwa semuanya akan segera seperti sedia kala.
Siang berganti malam, masih belum ada perubahan. San’an berdiam diri di seberang peribadatan itu, di mana segerombola anjing liar biasanya berkumpul. Tempat itu berada di pinggir jalan yang biasa di lalui si jelita bila hendak ke kota. Berharap gadis itu akan memperhatikannya, San’an duduk dengan sabar, menatap gadis itu dengan penuh kerinduan setiap kali gadis itu lewat. Namun sang gadis tidak pernah melihatnya, terus berjalan menuju kota, seakan tidak pernah menyadari keberadaan San’an sama sekali.
Karena tidak mengetahui nama kekasihnya, Syekh memberinya nama Sinar Mentari (‘Ayn Syams). Dia membuat puisi dengan nama itu, kemudian menyanyikannya dengan nada sumbang sedih. Dia telah termangsa oleh cintanya sehingga tidak menghiraukan makan dan minum. Jika ada orang melemparkan sisa-sisa makanan untuk anjing liar, dia akan ikut ambil bagian; bila tidak, dia kelaparan bahkan tanpa menyadarinya.
Pada akhirnya, gadis itu melihat seorang lelaki tua aneh yang sedang duduk di atas debu. Karena ingin tahu, si gadis bertanya, “Kenapa engkau tinggal di sini bersama anjing? Apa engkau tidak memiliki rumah atau saudara?”
Saking girangnya disapa si Sinar Mentari, Syekh menjawab, “Aku tidak kenal rumah atau saudara. Apa yang kukenal adalah bahwa aku telah jatuh cinta padamu, dan akan tinggal di sini hingga engkau melihatku pantas untuk cintamu.”
Sinar Mentari tertawa mendengarnya dan mencemoohnya dengan jijik. “Apa kau tidak malu pada dirimu sendiri? Kau pantas untuk jadi kakekku. Orang seusiamu hanya pantas masuk kubur. Gadis semuda dan secantik diriku layak mendapatkan pemuda yang tampan.”
“Cinta tidak mengenal usia. Tidak peduli muda atau tua, cinta berpengaruh sama. Aku adalah abdimu, dan akan melakukan apa pun yang engkau katakan, jelitaku.”
Sang guru membicarakan cinta dan deritanya dengan begitu penuh perasaan sehingga perlahan-lahan sang gadis mempercayai ketulusannya. Sesungguhnya, gadis itu sadar, San’an akan melakukan apa pun keinginannya. Maka gadis itu berkata, “Jika apa yang kau katakana benar, maka engkau harus meninggalkan keyakinanmu dan berpindah ke dalam agama kami. Engkau harus membakar Kitab Suci dan meninggalkan seluruh kewajibanmu dari agamu. Engkau harus meminum anggur dan menanggalkan jubah ke=Syekh-anmu.”
San’an menjawab tuntunan yang mengejutkan tersebut dengan tenang. “Cinta menciptakan banyak tantangan bagi seorang pencinta. Ujiannya kejam dan bersimbah darah, tetapi hasilnya manis dan menyenangkan. Pencinta sejati tidak kenal agama, karena cinta itu sendiri merupakan keyakinannya. Dia tidak mengenal status, karena tidak ada tempat yang lebih tinggi dibandingkan menjadi bagian dari cinta.”
Ketika para pendeta dan anggota gereja Byzantium mendengar seorang guru Sufi telah setuju meninggalkan agamanya, mereka segera berpesta. Mereka menyelenggarakan acara di mana Syekh melemparkan Alquran ke dalam api, di mana Syekh menanggalkan jubahnya dan mengenakan sabuk gereja. Lalu Syekh meminum anggur dan membungkuk tunduk kepada si jelita pujaan hatinya. San’an bersukacita dengan yang lainnya, sambil bernyanyi, “Aku menjadi bukan apa-apa untuk cinta. Aku telah menjadi aib di dalam cinta. Tak seorang pun melihat apa yang dapat kulihat dengan mata cinta.”
Sementara umat Kristen bergembira, murid-murid Syekh meratap. Hati mereka retak dan hancur, karena guru mereka tidak melihat mereka menderita ataupun mendengar rintihan mereka.
San’an telah tunduk sepenuhnya pada perintah kekasihnya-tanpa peduli bahwa itu melanggar semua yang dulu dipertahankannya. Dan itu pun masih belum cukup; dia masih ingin membuktikan cintanya dengan memenuhi keinginan gadis dalam setiap tindakannya. Maka San’an pun bertanya, “Apa lagi yang dapat kulakukan untukmu?”
Gadis itu mendongak dan tertawa, “Engkau harus menyediakan uang untukku. Aku ingin perhiasan, emas dan koin perak. Jika engkau tidak memilikinya jangan buang waktumu, orang tua, pergilah dari pandanganku.”
Syekh menjawab bahwa dia tidak memiliki tujuan lain kecuali tempat ibadah tersebut, karena keberadaannya telah tersesat di dalam diri si gadis. Bahwa dia tidak memiliki apa-apa kecuali hatinya, dan itu pun sudah dia berikan kepada sang gadis. Bahwa dia tidak dapat hidup tanpa sang gadis-dia tidak tahan jauh dengannya. Dia akan melakukan apa saja yang diinginkan gadis, asal bisa bersamanya.
“Syarat pernikahanku,” kata gadis itu penuh pertimbangan, “adalah sengkau harus mengurus babiku selama satu tahun. Bila dalam jangka waktu itu engkau memenuhi keinginanku dengan memuaskan, aku akan jadi isterimu.”
Dengan senang hati San’an tinggal di kandang babi, dan dengan penuh perhatian dan kasih sayang dia merawat hewan-hewan yang tidak disukai kaum Muslim itu. Melihat gurunya tinggal di kandang babi, adalah hal yang terlalu memalukan bagi murid-murid San’an. Mereka mendatangi Syekh dan memohon, “Apa yang harus kami lakukan sekarang? Apakah engkau menginginkan kami pindah agama juga? Kami akan tinggal denganmu jika engkau mau.”
San’an berkata bahwa dia tidak menginginkan apa-apa dari mereka, dan mereka sebaiknya menempuh jalan mereka sendiri. Jika ada yang bertanya tentang mereka, dia akan mengatakan yang sebenarnya. Sekarang mereka harus pergi dan membiarkannya memelihara babi, karena dia tidak punya waktu untuk mereka.
Sambil menangis murid-murid Syekh kembali ke Makkah. Di sana mereka segera memisahkan diri karena takut harus menjelaskan kepada murid-murid lain mengenai apa yang telah terjadi di Rum. Namun ada satu orang yang tidak dapat mereka hindari. Orang itu adalah sahabat mereka, yang sedang mengembara ketika Syekh beserta mereka pergi ke Rum. Ketika dia pulang dan tidak menemukan gurunya, dia menanyakannya kepada mereka. Mereka terpaksa menceritakan semuanya.
Ketika mereka selesai, orang itu menjerit, dan berteriak dengan marah, “Murid macam apa kalian ini? Jika kalian mencintai sang guru, kalian harus membuktikannya. Kalian seharusnya malu pada diri kalian sendiri! Jika guru kalian membuang jubah Sufinya dan mengenakan sabuk pendeta, kalian seharusnya melakukan hal yang sama. Jika beliau tinggal di kandang babi, kalian seharusnya ikut bersamanya. Itulah tuntutan cinta-tidak peduli dibilang memalukan atau tidak waras. Beraninya kalian menghakimi Syekh kita berbuat salah! Apa yang memberi kalian kekuasaan untuk menasihatinya agar meninggalkan cintanya?”
Karena malu oleh temannya, murid-murid itu merendahkan kepala dengan penuh kesedihan. Dengan penyesalan mendalam, mereka memasuki tempat pengasingan diri di rumah murid yang setia tadi, mereka tidak makan maupun minum.
Pada hari ke-40, murid yang setia, yang telah menangis siang dan malam dalam dukacita untuk gurunya, mendapatkan sebuah penglihatan. Telah muncul awan debu dari tempat ibadah yang melayang-layang antara Syekh dan Tuhan. Tiba-tiba, awan debu itu menghilang, lalu Syekh diselimuti oleh cahaya. Kemudian terdengar suara kekal berkata, “Orang harus dibakar api Cinta agar layak menemui Kekasih Abadi. Nama dan jabatan tidak memiliki nilai di dalam Kesaksian Cinta. Sebelum dia dapat melihat Kebenaran, debu eksistensi harus dibersihkan dari cermin jiwa. Hanya setelahnya dia dapat melihat refleksi Kebenaran Kekasih di dalam cermin.”
Sang murid berlari menemui teman-temannya, dan menceritakan penglihatannya. Tanpa membuang waktu mereka segera kembali ke Rum.
Di luar kota, mereka menemukan Syekh yang sedang bersujud di tanah, menyembah Tuhan. Dia telah melampaui mesjid dan gereja, terbebas dari Islam maupun Kristen, terlepas dari perlekatannya pada status atau kealiman, dia telah bebas dari diri, bersatu dengan Kekasih Sejati. Syekh tampak diam, meski matanya bersinar, sarat dengan rahasia kebahagiaan yang hanya diketahui oleh Sang Kekasih dan pencinta. Murid-murid berkumpul mengelilingi gurunya. Syekh  bergabung dengan mereka kembali. Bersama-sama mereka kembali ke Makkah.
Sementara itu, gadis yang di beri nama Sinar Mentari oleh San’an memperoleh mimpi yang luar biasa. Di dalam mimpinya Tuhan menampakkan diri sebagai matahari. Gadis terjerembab di atas tanah dan menangis, “Oh, Tuhanku, betapa dungu aku yang belum mengenalmu. Tunjukkan jalan menuju-Mu, karena sekarang aku mengenalmu. Tunjukkan jalan menuju-Mu, karena sekarang aku telah melihat Kecantikan-Mu, aku tidak lagi dapat hidup tanpa-Mu. Aku juga tidak dapat berhenti sedetik pun hingga aku menyatu dengan-MU."
Gadis itu tidak sadarkan diri, kemudian menangis selama berjam-jam. Akhirnya sebuah panggilan datang dari Surga: “Pergilah kepada Syekh. Dialah yang akan menunjukkanmu jalan.”
Dia bergegas keluar tanpa sempat mengenakan alas kaki. Ketika dia menemukan San’an telah berangkat ke Makkah, gadis itu berlari keluar kota, menuju gurun mencari kafilah sang guru. Tetapi sudah terlambat, kafilah itu telah pergi berjam-jam sebelumnya. Gadis tanpa alas kaki itu terus berlari siang dan malam, tanpa air maupun makanan. Sepanjang jalan airmatanya jatuh menderas membasahi pasir yang kerontang. Dia menjerit sedih den pedih, memanggil sang guru dengan penuh cintah dan sayang.
Tangisnya sampai juga kepada hati Syekh. Dalam hatinya Syekh paham bahwa sang gadis telah meninggalkan semua yang dimilikinya untuk mencari Kekasihnya. San’an memberitahukan murid-muridnya berita tersebut, dan mengirim mereka untuk mencarinya. Mereka menemukan gadis itu dalam keadaan yang menyedihkan, terbaring di atas pasir karena kehausan dan kelelahan, sambil memanggil-manggil Syekh.
Di hadapan Syekh gadis itu menyembah kaki Syekh, dan memohon: “Guru besar, aku terbakar oleh cinta. Aku rindu ingin melihat Kekasihku, meski mataku tidak melihat apa-apa kecuali kegelapan. Bantu aku untuk melihat-Nya, karena aku tidak bisa bertahan tanpa Tuhanku.”  Syekh menggenggam tangan si gadis dengan lembut, dan menatap ke dalam matanya seolah melihat langsung ke dalam jiwanya, menuntun jiwanya menuju Tuhan melalui jiwa Syekh. Sang gadis terisak, “Oh, Cinta, aku tidak tahan untuk berpisah lagi. Selamat tinggal guru besar dari segala usia!” Dengan berucap begitu Sinar Mentari menyerahkan jiwanya kepada Kekasihnya dan kemudian meninggal dunia.
San’an berdiri, tidak bergerak untuk beberapa jenak. Murid-muridnya khawatir gurunya akan gila lagi. Namun akhirnya San’an mengangkat kepala dan menerawang jauh kearah gurun sambil berkata: “Beruntunglah mereka yang telah menyelesaikan perjalanannya dan menyatu dengan Tuhan-lah mereka hidup.”
San’an menghela nafas dan menambahkan, “Dan malanglah bagi mereka yang ditakdirkan untuk menuntun yang lainnya menuju Tujuan-karena mereka harus mengabaikan penyatuan dan terikat demi kesenangan dan kehendak-Nya!”

KERAMAT SEORANG IBU

Foto Ibunda Tersayang
Karamat berasal dari bahasa Arab ”karuma – yakrumu – karamatan” artinya mulia, murah hati atau dermawan. Menurut ajaran Islam karamat ialah kejadian luar biasa atau sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan dan tidak bisa diterima oleh akal manusia hanya bisa dirasakan oleh keimanan. Semua ini diberikan kepada diri seorang wali.

Wali berasal dari bahasa Arab “waliya – yali”, artinya orang amat dekat atau mengikutinya tanpa batas.  Makna wali adalah seorang mukmin, saleh, bertakwa, ta’at kepada perintah Allah yang ketaatannya terus menerus, tanpa diselang-selingi oleh perbuatan maksiat.

Adapun wali menurut Yusuf bin Ismail An- Nabhani dalam kitabnya “Jaami’u Karaamatil Aulia”, dari segi bahasa artinya dekat, maksudnya apabila seseorang dekat kepada Allah, disebabkan keta’atan, istiqamah dan keikhlasannya maka Allah pun akan dekat kepadanya dengan melimpahkan rahmat, kebajikan dan kurnia-Nya, dan diberikan kepadanya segala kemudahan. Pada saat itu terjadilah perwalian, yakni orang itu dinamakan “Wali” atau Allah senantiasa melindunginya, sehingga terhadap dirinya tidak perlu ada kekhawatiran. Dan Allah memberikan kepadanya berbagai kelebihan yang tidak diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang lain, berupa kejadian atau peristiwa luar biasa yang tidak masuk akal atau menyimpang dari kebiasan dan adat manusia atau diberikan kepada do’a yang mustajab.

Dalam kehidupan, orang banyak mencari para wali baik mereka masih hidup atau sudah meninggal dunia, mereka memohon kepada Allah dengan kemurahan dan keberkahan para wali bisa membantu kehidupan mereka menjadi lebih baik, lebih lancar dan sukses. Bahkan mereka rela datang dari tempat yang jauh dengan perjalanan berhari-hari agar Allah memberikan kepadanya ma’unah atau pertolongan dari Allah melalui perantaraan pala wali.

Tapi sayang satu karamat yang banyak dilupakan orang adalah keramat seorang ibu. Dialah yang dimuliakan Allah tiga kali lipat dibanding kemuliaan ayah. Dialah karamat diatas segala karamat yang ada di muka bumi. Dialah figur yang digambarkan oleh Rasulallah saw sebagai sosok manusia yang memiliki do’a yang sangat mustajab melebihi dari do’a do’a makhluk lainya. Beliau bersabda, “Doa orang tua kepada anaknya seperti doa nabi kepada umatnya”

Dalam sebuah kisah, ada seorang sahabat yang ingin ikut berperang dengan Rasulullah ternyata ia memiliki seorang ibu yang telah tua maka dikatakan kepadanya, pulanglah berbaktilah kepadanya, sesungguhnya surga berada di telapak kakinya. Hadis ini membuktikan bahwa berbakti kepada orang tua sebanding dengan para pejuang yang berjihad di medan perang. 

Dari kebesaran kewalian seorang ibu Rasulallah saw telah berpesan kepada Umar dan Ali ra(**) untuk meminta do’a dari seorang wali yang shaleh, ta’at dan berbakti kepada ibunya ia bernama Uais Al-Qarni. Ia sangat cinta kepada ibunya yang lumpuh. Ia rela berkorban untuk segala galanya demi mendapatkan keredhoan ibunya.

Rasulallah berpesan: “Nanti, pada zamanmu akan lahir seorang manusia yang do’anya sangat mustajab. Pergi dan carilah dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia dibesarkan di Yaman. Kalau kamu berdua berjumpa dengannya mintalah do’a darinya untuk kamu berdua.”

Umar dan Ali ra bertanya, “Apa yang patut kami minta dari Uais al-Qarni, Ya Rasulullah?“. Beliau menjawab, “Mintalah kepadanya agar Allah mengampuni dosa dosa kalian”

Itulah Uais Al-qarni yang rela memangku ibunya yang lumpuh dengan kedua tangannya berjalan kaki dari Yaman ke Mekah disaat melakukan ibadah haji, memangkunya disaat mengerjakan thawaf, sai dan wukuf di padang Arafah. Dan juga ia rela memangku ibunya dengan kedua tangannya berjalan kaki disaat kembali dari Makkah ke Yaman.

(**) Sayyidan Ali dan Umar ra termasuk 10 sahabat nabi yang dijamin masuk surga. Mereka diperintahkan untuk meminta do’a kepada Uais Al-Qarni yang ta’at dan patuh kepada ibunya. Sahabat Nabi saw adalah manusia manusia mulia dan dimuliakan Allah. Sahabat Nabi saw adalah mereka yang hidup di zaman Nabi saw, mengenal dan melihat langsung beliau, membantu perjuangan beliau dan meninggal dalam keadaan beriman. Jumlah sahabat Nabi saw sangat banyak dan tak terhitung. Dalam kitab ”Rijal Haula Ar-Rasul” oleh Khalid Muhammad Khalid disebutkan bahwa para sahabat Nabi saw yang paling utama jumlahnya lebih dari 60, yakni mereka yang sangat dekat dengan Nabi saw. Mereka disebut pengikut atau murid yang dekat dengan Nabi saw. Mereka mempunyai status atau kedudukan yang penting dalam dunia Islam, karena mereka adalah pengikut Nabi yang banyak memberi andil dalam da’wah Nabi saw. 

Tingkatan atau derajat sahabat Nabi saw menurut para ulama terbagi dalam beberapa tingkatan, yaitu:  pertama, para sahabat yang masuk Islam di Mekkah sebelum melakukan hijrah seperti Khulafa’ur Rasyidin yaitu 4 khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali ra. Kedua, sahabat yang dijamin masuk surga. Ketiga, para sahabat yang ikut serta pada perang Badar. Keempat, para sahabat yang ikut serta pada perang Uhud. Kelima, para sahabat yang ikut serta pada bai’at Ridhwan. Dan keenam adalah sahabat sahabat lainnya yang jumlah mereka tidak sedikit.

Kepastian para 10 sahabat Nabi SAW masuk surga banyak sekali disebut dalam hadits shahih. Semua hadits itu wajib diimani. Diantaranya hadits dari Abduurahman bin ‘Auf ra berkata bahwa Nabi saw bersabda, “Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Az-Zubair di surga, Abdurrahman bin ‘Auf di surga, Sa’d bin Abi Waqqash di surga, Said bin Zaid bin ‘Amru bin Nufail di surga, dan Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah di surga.” (HR At-Tirmizy dan Al-Baghawi dalam Al-Mashabih fil Hisan)

BANTUAN PADA WALI ALLAH

Setelah solat Ashar, Saad bin Abi Waqqas ra berjalan jalan di pasar kota Madinah. Ia menelusuri pasar sampai ke ujungnya. Di sana beliau melewati tempat yang bernama Ahjar Alzait. Tak bererapa lama, ia melihat sekelompok penduduk desa mengerumuni seorang yang sedang menunggangi unta. Ia sangat sombong dan memperlihatkan dirinya bahwa ia adalah seorang pemberani dan pahlawan perang. ia berteriak teriak mengatakan bahwa dirinya lebih hebat dari Ali bin Abi Thalib ra. Bahkan ia menghinanya dengan kata kata yang tidak sopan.

Saad yang kebetulan berada di sana, menanya salah seorang yang sedang berdiri apa yang sebenarnya telah terjadi terhadap diri orang yang sedang menunggangi unta itu.

Mendengar uraian orang trb, saad sangat marah dan langsung menegurnya “apakah kamu tahu siapa Ali bin Abi Thalib itu? Bukankah ia orang yang pertama tama masuk islam? Bukankan ia orang yang pertama tama solat berjamaah bersama Rasulallah saw? Bukankah ia orang yang paling berzuhud? Bukankah ia orang yang paling berilmu? Bukankah ia yang menikahi putrinya Rasulallah? Bukankah ia pemimpin perang? Bukankah ia pembawa bendera Rasulallah dalam peperangnya melawan musuh Allah?”

Kemudian Saad bin Abi Waqqas solat dua rakaat, menghadap ke kiblat dan mengangkat tanganya. Ia berdoa kepada Allah dengan penuh kekhushu’an agar diturunkan kepada orang tadi bala’ dan kutukan Nya.”Ya Allah sesungguhnya orang itu telah meremehkan salah seorang wali dari awliya’ Mu. Perlihatkanlah kekuasanmu di hadapan mereka”. Begitu selesai doa dibacakan, unta yang ditunggangi laki laki tadi berontak sekuat kuatnya, sehingga ia jatuh nyungsep ke bawah. Kepalanya pecah terdampar batu. Akhirnya ia mati seketika di hadapan halayak ramai.*

Wallahua’lam

WELCOME MARHABAN YA RAMADHAN

Alhamdulillah tak terasa bulan yang penuh rahmat hadir lagi bersama-sama kita. Aneka ragam dalam menyambutnya. Semuanya bisa diterima dan dibenarkan, tapi yang paling pas dijadikan teladan dalam menyambut dan mengisi bulan Ramadhon adalah Rasulallah saw, para sahabatnya dan salafus sholih. Dalam menyabut bulan yang penuh pengampunan ini, Rasulallah saw suatu hari di akhir bulan Sya’ban bersabda:

“Wahai semua manusia, telah datang kepadamu bulan yang agug, penuh keberkahan, didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Diwajibkan padanya puasa dan dianjurkan untuk menghidupkan malam-malamya. Siapa yang mengerjakan satu kebaikan (sunah) pada bulan ini, seolah-olah ia mengerjakan satu kewajiban dibulan-bulan lain. Siapa yang mengerjakan ibadah wajib seakan-akan mengerjakan tujuh puluh kali kewajiban di bulan-bulan lain “ (Sahih Muslim dari Salman).

Terdengar lagi sambutan “Marhaban ya Ramadhan”. Dalam bahasa Arab, marhaban berasal dari kata rahb yang artinya luas,lebar dan lapang. Kaya ada tamu penting mau datang, tentu saja kita siapkan tempat yang luas, lebar, bagus dan lapang agar tamu itu betah dan senang tinggal di rumah kita, karena kita juga senang dengan kedatangannya. Itu artinya kita harus meluaskan hati dan melapangkan dada dalam menyambut bulan Ramadhan sehingga ibadah dan kegiatan Ramadhan yang kelihatannya berat bagi kita akan terasa enteng.

Coba bayangkan, mendekati bulan Ramadhan saja kita sudah diminta untuk menyabutnya dengan suka cita, dengan gembira dan semangat, karena ada sesuatu atau oleh-oleh yang diharapkan dari tamu yang datang itu. oleh-olehnya yaitu surga. Kalau menyambut bulan puasa dengan gembira merupakan satu tanda masuk surga, apalagi mengerjakan ibadah di bulan ini dengan baik.

Tapi tunggu dulu. Sebab banyak orang yang kalau sudah habis bulan ramadhan habis pula tugasnya dan habis semua ibadah dan kegiatan lainya yang telah dilakukan selama sebulan. Kalau ingin mengetahui ibadah dan amal kita makbul atau diterima Allah di bulan Ramadhan dan kita telah mendapatkan sertifikat masuk surga kita harus buktikan lebih dahulu keberhasilan dan kesuksesan ibadah tersebut dengan meningkatkan amal soleh di bulan bulan yang lain.

Mestinya, setelah lewat Ramadhan, kita tidak lagi melakukan ma’siat dan dosa-dosa, apalagi secara harfiah Ramadh artinya dalam bahasa Arab membakar, yakni membakar dosa. Kalau dosa itu diibaratkan kaya pohon singkong, maka kalau sudah dibakar, pohon singkong itu mati dan tidak mungkin bisa tumbuh lagi. Begitu pula ma’siat dan dosa-dosa di bulan Ramadhan dibakar hangus, seharusnya tidak boleh ma’siat dan dosa-dosa dilakukan lagi dibulan bulan yang lain. Nah, kalau ma’siat dan dosa-dosa itu masih juga dikerjakan dan diperbuat di bulan-bulan yang lain setelah Ramadhan berlalu, ini sama saja dengan pohon singkong bukan dibakar tapi ditebang. Pohon singkong kalo ditebang dia akan tumbuh lagi, bahkan bukan satu cabang yang tumbuh tapi bercabang cabang. Begitu kan?

Waktu puasa, kita diajarin jujur tidak boleh curang, sehingga kita tidak berani makan atau minum meskipun tidak ada orang yang lihat. Itu kita lakukan melulu untuk Allah dan karena Allah. Kita betul belul yakin Allah mengetahui perbuatan kita, makanya kita dalam puasa selalu mengawasi diri kita dan selalu bersifat jujur kepada Allah dan diri kita sendiri. Inilah kejujuran yang sesungguhnya. Karna itu, setelah habis bulan puasa harus mampu menjadi orang-orang yang selalu berlaku jujur, baik jujur dalam perkataan, dalam tindakan, dan kelakuan bahkan dalam mu’amalat sesama manusia pula harus jujur. Ini namanya hikmah yang bisa diambil dari puasa.

Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus, tapi kita harus bisa pula mengambil hikmah dari lapar dan haus itu, yaitu kita harus memiliki jiwa solider kepada mereka yang menderita dan kesusahan dan harus mempunyai rasa iba kepada fakir miskin dan anak anak yatim. Yaitu dengan memberi sebagian kecil dari harta kita (zakat mal atau zakat fitr) kepada mereka. Dan rasa solider ini bukan hanya nongol di bulan puasa, tapi kita harus selalu menjadi manusia yang solider dan mencintai sesama muslim kapan waktu saja.

Yang lebih pening dari itu, Ramadhan merupakan waktu paling tepat untuk melatih diri atau merobah akhlak buruk (penyakit) yang sudah berkarat dan mendarah daging di diri kita. Merobah akhlak buruk susahnya bukan main, apalagi kalo akhlak jelek itu sudah mengakar dan sudah tidak terkontrol. Pada saat itu akhlak jelek itu bukan lagi merupakan cacat, tapi ini sungguh sungguh telah menjadi mala petaka dan mushibah.

Setiap orang pasti memiliki segudang akhlak jelek dari mulai maki-maki, bohong, fitnah orang, sombong, menipu, maling, apalagi korupsi yang sudah jadi budaya kita dll sampai ke usil, nyindir, mau tahu urusan orang, fudhul, suu’ zhon (buruk sangka), ghurur (berbangga diri), dll.

Di bulan suci ini merupakan kesempatan yang paling tepat dan bagus untuk merobah akhlak jelek itu. Dan Ramadhan merupakan sekolah atau privat les yang bisa membuat manusia secara berangsur angsur merubah watak dan akhlak jeleknya atau sekurang-kurangnya sadar dan eling akan akhlak buruknya.

Saya rasa masih banyak hikmah-hikmah puasa yang kita bisa dapatkan dan temukan dan yang sangat penting adalah kita harus banyak belajar dari Ramadhan dan mengambil hikmahnya supaya bisa diterapkan di bulan bulan yang lain bukan hanya di bulan puasa tok.


Salam Ramadhan.

Wallahu’alam

KEUTAMAAN PUASA SENIN KAMIS

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa pada hari Senin maka beliau bersabda:
"Itu adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus sebagai Nabi, atau hari diturunkannya al-Qur'an kepadaku."
Di dalam riwayat yang bersumber dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata, "Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa menjaga puasa Senin dan Kamis. (HR. Lima Imam ahli hadits, kecuali Abu Dawud).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"Amal-amal itu diperlihatkan pada hari Senin dan Kamis, maka aku senang jika amalku ditampakkan pada saat aku sedang berpuasa." (HR at-Tirmidzi).
Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan dimudahkan untuk mengamalkannya. Aamiin.
Besok insyaAllah hari KAMIS, Yuk amalkan dan ingatkan teman-teman yang lain dengan amalan ini!
-Mari terus berbagi KEBAIKAN-
Silahkan dibagikan/share, semoga menjadi KEBAIKAN Anda.

TERNYATA MELIHAT ALLAH ITU BENAR

Kata melihat Allah ini telah membumi di kalangan para ulama-ulama,bahkan sampai pada kalangan umum.yang jadi pertanyaan “benarkah Allah dapat di lihat???”
Sebelum menjawab judul di atas, alangkah baiknya menjawab pertanyaan berikut, “Mungkinkah Allah dapat dilihat dalam kehidupan dunia ini?” Jawabannya, “Mungkin.” Mengapa? Sebab tidak mungkin Nabiyyullah Musa akan meminta kepada Allah permintaan untuk dapat melihatNya, bila hal itu suatu kemustahilan. Meskipun kemudian Allah menjawab, Musa tidak akan melihatNya (di dunia).
Allah berfirman mengisahkan permintaan Musa tersebut dan jawabanNya,
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya), berkatalah Musa,”Ya Rabbku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.” Rabb berfirman,”Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihatKu, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihatKu.” Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata,”Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman” (QS Al A’raf : 143).
Segi pendalilan ayat di atas tentang kemungkinan Allah dapat dilihat di dunia ini, antara lain ialah :
Pertama. Mustahil bagi Musa -seorang Rasul Allah dan orang yang paling ‘alim pada zamannya- meminta sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
Kedua. Allah tidak mengingkari permintaan Musa (yaitu permintaan agar Allah menampakkan diri kepadanya). Allah hanya menjawab,
Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihatKu
Jawaban yang menunjukkan tentang kemungkinan Allah dapat dilihat, namun Musa tidak akan sanggup melihatNya. Allah tidak menjawab, “Saya tidak bisa dilihat”.
Lebih ekstrim lagi dan untuk mempertegas bahwa islam bukanlah umatnya nabi Musa as,islam adalah umat Nabi Muhammad SAW yang bisa Miraj kepada Allah.sehingga di saat Nabiyullah Muhammad SAW turun ke bumi setelah Miraj,para sahabat bertanya kepada beliau “jika engkau bisa Miraj wahai Rasulullah,nah bagaimanakah dengan umatmu?”Rasulullah Menjawab “Sholat Mirajnya Orang Mu’min”.
Jadi jelas bahwa umatnya nabi Muhammad SAW bisa Miraj yakni di waktu sholat.Jika ada yang mengatakan bahwa Allah itu tidak bisa di lihat maka batalah penglihatan dia.PAdahal Allah telah memproklamirkan diri-Nya dalam quran bahkan di perkuat oleh hadist-hadist. Firaman Allah “Makajabbal Fu’adu Mar’a” (tidak berdusta hati mereka melihat Tuhannya”.Imam Ibnu Al Qayyim juga menukil pernyataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah , “Perkataan Ibnu Abbas , bahwa Nabi melihatNya.” Begitu pula perkataannya, “Nabi melihatNya dengan mata hatinya”, tidak bertentangan dengan ini (Nabi tidak melihatNya dengan mata kepala).
Apa sebenarnya yang di lihat Nabi Muhammad SAW di waktu Isra Mi’raj?jawabannya adalah CAHAYA.terdapat riwayat shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanadnya, sesungguhnya Abu Dzar pernah bertanya kepada Rasulullah . Beliau menjawab,
Hanya cahaya. Bagaimana mungkin aku dapat melihat Allah?. [13]
Jadi yang beliau lihat hanyalah cahaya yang menghalangi antara dirinya dengan Allah .
Untuk mengungkap CAHAYA yang di lihat dan cara mirajnya Rasulullah mungkin ini adalah Rujukannya Klilik DISINI
Disini di kupas tuntas rahasia ketuhanan yang telah dikubur 500 tahun yang lalu.Ilmu ketuhanan ini di kubur di karenakan jika membicarakannya hukumannya adalah MATI.Maka jangan heran di jaman Rasulullah SAW banyak para sahabat MATI dalam menyebarkan kalimat LAILAHAILALLAH.
Wallahu a’lam.

KETIADAAN DIRI

Titik penting seorang sâlikîn yang sedang berjalan menuju Allah SWT adalah ketika ia telah sampai pada maqâm fanâ’. Sebuah keadaan dimana ke-diri-an (kehambaan) seseorang telah “tiada”. Dalam situasi demikian bagi sâlikîn yang bersangkutan tidak ada lagi yang hidup kecuali Allah SWT, dan sirnalah semua yang tampak.
Yang dimaksud dengan fanâ’ (hilang) di sini bukan fanâ’ fi al-jism atau fanâ’ secara lahiriah. Tapi fanâ’ secara maknawiah, yaitu fanâ’ atau hilang dari wilayah akidah. Fanâ’ fillâh dengan baqâ’ billâh. Fanâ’ fillâh konsep dasarnya adalah Lâ ilâha Illâ Allâh. Semua hal hanya untuk diri-Nya dan tidak untuk yang lainnya. Sebagai bukti konkret orang yang telah fanâ’ adalah ia senantiasa meyakini konsep lâ hawla wa lâquwwata illâ billâh al ‘aliyy al adzîm. Tak ada kekuatan diri, tak ada kemampuan diri, kecuali kekuatan dan kemampuan diri Allah SWT. Pada diri Rasulullah SAW kondisi fana tampak pada periode Mekkah. Semua ketakwaan beliau dan berbagai mukjizat yang terjadi selama periode Mekkah merupakan bukti kuat akan hal itu.
Seorang sâlikîn yang tengah fanâ’ tampak jelas dalam sifat kesehariannya. Berbagai emosi dan reaksi negatif yang biasa bersemayam dalam diri telah berubah menjadi sebaliknya. Tenang, kuat, dan sabar ketika menghadapi gelombang kehidupan merupakan bukti kuat bahwa seseorang telah fana. Bahkan, ketika dicaci-maki oleh banyak orang pun ia tidak serta merta balas memaki atau membenci. Karena, baginya yang penting Allah SWT tidak murka dan membencinya. Konsentrasinya hanya pada Sang Khalik. Semua yang dilakukannya senantiasa berangkat dari kesadaran kehambaan yang harus senantiasa memiliki catatan baik di sisi Allah SWT.
Dalam keseharian, orang yang fanâ’ sepertinya tampak masa bodoh dan asyik dengan dirinya sendiri. Berbagai hal di luar dirinya hanya mendapat sedikit perhatian dan sedikit memberi dampak padanya. Bahkan ketika ia tengah dalam keadaan serba berkekurangan, ia tetap bergeming. Ia tetap bersyukur dan senantiasa mengucap alhamdulillâh.
Fanâ’ bagi seseorang yang belum berkeluarga barangkali tidak menjadi masalah. Tapi lain halnya bila ia telah menikah atau bahkan harus menanggung jawabi orang seisi rumah. Karena sikap kesehariannya terkesan santai dan tidak peduli, sudah barang tentu membuat khawatir banyak orang. Meski, sesungguhnya fana yang benar adalah fanâ’yang tetap pada kesadaran kemanusiaannya, dan tetap sadar pada tanggung jawab sosialnya.
Seseorang yang masih termasuk dalam kategori seorang sâlikîn, fana-nya masih kerap tidak stabil. Ia sering fanâ’ hanya untuk hal-hal yang enak baginya, tapi tidak fanâ’ ketika menghadapi hal buruk yang tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Karena itu, agarfanâ’ yang terjadi pada seorang salikin adalah fanâ’ yang benar menurut agama dan fanâ’nya stabil, dibutuhkan bimbingan seorang Mursyid. Tidak hanya fanâ’ ketika dalam kesenangan, tapi juga mampu fanâ’ dalam kesulitan. Karena fanâ’ dalam bimbingan seorang Mursyid adalah fanâ’ yang terstruktur, yakni dengan ilmu dan amal yang disebut jalan mutawasith pertengahan). Sehingga yang terjadi adalah fanâ’ yang tidak membuat orang disekelilingnya menjadi gelisah dan marah. Karena ia tetap hidup normal dan menjalankan kewajiban sosialnya dengan baik, namun orientasinya tetap pada hati nurani.
Zaman dahulu, proses fanâ’ dilalui lewat berbagai proses yang terkadang sulit diterima oleh akal, seperti khalwat di gua hingga ditidurkan selama ratusan tahun. Namun tentu saja hal itu bisa terjadi karena situasi dan kondisi zamannya memang berbeda dengan sekarang. Maka, proses pembelajaran dan laku olah spiritualnya pun berbeda. Contohnya, di zaman sekarang bayak orang lebih mengutamakan syariatnya daripada tauhidnya. Sehingga, akhirnya keislamannya pun hanya di permukaan, tidak menyentuh keislaman yang mendalam-Islam yang sesungguhnya.
Tantangan lain, kalau dulu orang melakukan khalwat dengan jalan menyendiri di tempat-tempat sepi macam di gua, maka sekarang orang dituntut untuk bisa khalwat dan ‘uzlah di tengah-tengah masyarakat ramai. Artinya, hati kita tetap terpaut dengan Allah SWT meski fisik jasmaniah kita sibuk dengan kegiatan kemasyarakatan, bekerja mencari nafkah, dan kesibukan mengurus keluarga.
Harus disadari betul bahwa yang khalwat itu adalah khalwat hati bukan jasad. Dan kesadaranpun harus terusdijaga, bahwa pengamalan ma’rifah, pengamalan hakikat, dan pengamalan aqidah merupakan bagian dari perjalanan kita menuju Allah SWT, dan kemampuan kita melakukan khalwat juga merupakan anugerah-Nya. Maka, semua itu harus dikembalikan kepada Allah SWT. Jadi, yang khalwat itu benar-benar bukan jasadnya, melainkan hati dan pikirannya. Hati harus senantiasa menghadirkan Allah SWT, belajar pada setiap keadaan, dan belajar pada setiap persoalan, serta mengembalikan semua yang terjadi pada Allah SWT. Bahkan, bagi seorang mursyid pun khalwat juga merupakan anugerah. Tidak ada seorang pun yang bisa khalwat kalau bukan karena mendapat anugerah-Nya.
Kata Syaikh Abd al-Qâdir al-Jailanî, banyak orang yang tersesat oleh jin dan iblis ketika berkhalwat. Hal itu bisa terjadi karena minimnya ilmu pengetahuan dan tidak mendapat bimbingan dari seorang Mursyid. Syaikh Abd al-Qâdir al-Jailanî demikian khusyuk dan bergeming ketika tengah ber-khalwat meski digoda oleh iblis. Hanya Allah, Allah dan Allah yang memenuhi ruang batin beliau. Keyakinan bahwa bukan ilmu yang ada padanya yang memberinya kekuatan, namun Allah SWT lah yang memberinya kekuatan dan kemampuan. Akhirnya, beliau pun selamat dan berhasil menyelesaikan khalwat-nya dengan baik.
Di zaman yang serba sibuk sekarang ini, kita tidak perlu melakukan khalwat munfarid atau khalwat di suatu tempat yang sepi. Kita justru dituntut mampu melakukan khalwat hakiki (di dalam hati). Hati senantiasa memandang kepada Allah SWT meski fisik jasmaniah sibuk menjalani hidup keseharian.
Khalifah di Muka Bumi
Hakikatnya, manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Namun, tidak sembarang orang bisa disebut khalifah. Yang bisa benar-benar di katakan khalifah adalah mereka yang sudah “sampai” (secara iman-hati-piki-ran) kepada Allah SWT. Sedangkan mereka yang belum sampai belum pantas menyandang khalifah, karena berarti ia belum punya bekal sebagaimana Nabi Adam AS yang diberi bekal oleh Allah SWT nama-nama di bumi dan di langit. “Barang siapa yang ma’rifatullâh maka tidak ada sesuatu apa pun yang tersembunyi di langit maupun di bumi.” Artinya, ia paham dengan basyirah al-qalbi maupun ladunni. Bahkan, bila ada sesuatu yang tersembunyi sekalipun dia paham, apa yang belum terjadipun dia tahu karena ia diberitahu oleh Allah SWT. Itulah ilmu ladunni.
Ada pula orang yang disebut Âlim al-Rabbânî, yaitu orang yang ‘alim (paham-ahli) dengan Tuhannya, bukan ulama lahiriah. Seorang ulama lahiriah biasanya hanya mampu membaca kitab, sedangkan seorang professor biasanya hanya fasih berwacana tentang agama maupun tasawuf (ia tidak mengamalkan secara mendalam). Berbeda dengan orang yang Âlim al-Rabbânî, yang diberi ilmu ladunni oleh Allah SWT, yang setiap saat membutuhkan ilmu dengan mudah ia memperolehnya, namun sembari tetap mengembalikan semua ilmunya kepada Allah SWT. Orang semacam itu tidak pernah kehabisan jawaban. Semakin banyak orang bertanya padanya, makin mudah ia menjawabnya.
Orang yang Âlim al-Rabbânî juga orang yang sosoknya low profile (rendah hati). Ia tidak akan mengumbar kata-kata kalau tidak ada yang bertanya. Kecuali pada waktu-waktu tertentu ketika ia menjalankan rutinitas tugasnya sebagai ulama. Seperti Rasulullah SAW yang tidak akan mengeluarkan (ilmunya) bila tidak ditanya oleh umatnya. kecuali ketika beliau harus menyampaikan wahyu. Makanya, semua asbâb al-nuzûl dan asbâb al-wurûd Al-Quran dan Al-Hadis itu merupakan hasil pertanyaan dari para sahabat. Begitu juga orang yang dekat dengan Allah SWT. Ia akan diberikan ilham yang sifatnya setingkat dengan wahyu, dan firman Allah akan jelas dan gamblang apabila penjelasannya didasari oleh ilham. Cara Allah memelihara Al-Quran tidak sebatas penjilidan. Karena, penjilidan bisa dilakukan oleh siapa saja. Tapi pemahaman Al-Quran hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bersih hatinya dan diangkat oleh Allah SWT. Sebagaimana janji Allah SWT, “Kami yang menurunkan Al-Quran dan kami yang memelihara.” Maka Allah SWT menurunkan orang-orang yang diisi hatinya dengan ilham untuk mengurai Al-Quran yang sesungguhnya bukan semena-mena dalam bentuk ta’wil.
Ilham dan Wahyu
Turunnya ilham itu sama seperti wahyu. Terkadang mudah dan nikmat, terkadang diterima dengan rasasakit di kepala, dan lain sebagainya. Wahyu dengan ilham tidak berbeda jauh. Bedanya kalau ilham itu tidak boleh ditulis karena akan mengganggu, sebagaimana Rasulullah SAW yang tidak pernah menyuruh sahabat untuk menulis hadis, meski bila para sahabat menulis pun tidak apa-apa, karena bukan merupakan sebuah larangan keras.
Setiap salikin dianjurkan untuk menimba ilmu dari yang “hidup” , artinya ia menimba ilmu dari seorang mursyid. Sebagaimana Abu Yazid menyatakan, “Hai kamu, mengambil ilmu dari mayit ilal mayit. Kamu ambil ilmu dari buku (benda mati), kemudian diajarkan ke orang dan orang itu juga mati, maka ilmunya tidak akan berkembang dan tidak ada berkahnya.” Karena yang benar adalah mengambil ilmu dari yang “hidup” yang tidak pernah mati. Banyak ulama yang belajar dengan, katanya. Katanya kitab ini, dan katanya kitab itu. Dan, bagi siapa saja yang mengajarkan ilmu dan dia merasa bisa mengajar-berarti dia hamba, dan hamba itu mati. Lain halnya seorang Mursyid, yang tidak pernah merasa memberi sesuatu (ilmu), dan tidak pilih kasih pada murid-muridnya. Semua sâlikîn diperlakukan sama dan mendapat perhatian serta kasih sayang yang sama darinya.

ILMU BATHIN ADALAH ILMU RAHASIA

Ilmu Bathin adalah Ilmu Rahasia.
Ketahuilah oleh anda, bahwa ilmu yang kami kemukakan dalam risalah ini adalah suatu ilmu rahasia yang halus dan dalam, jarang yang dapat memahaminya kecuali Ulama-ulama yang dalam pengertiannya (rasikh), yaitu mereka yang telah mendapatkan cahaya pada kata-katanya, suatu rahasia yang diwarisinya dari Para Nabi dan Para Aulia. Selain itu, mereka Ulama yang rasikh itu, benar-benar mengamalkan apa yang diamalkan oleh para Nabi dan Aulia, mereka telah mendapatkan “khashais” (beberapa keistimewaan) karena mengamalkan apa yang mereka ketahui. Allah berfirman :
“Wa Tilkanl-Amstaalu Nadlribuhaa Linnaasi,Wamaa Ya’qiluhaa Illal’Alimuun”
Artinya : “ Begitulah beberapa contoh dan missal yang kami kemukakan kepada manusia, namun tidak ada yang dapat memahaminya, kecuali orang-orang yang alim”
Rasulullah bersabda :
Nahhnu Ma’Aasyitul Anbiyaa’I Amaranaa an Nukallimannaasa’ Alaa Qadri ‘Uquulihim “
Artinya : Kami Para Nabi-nabi, Allah perintahkana kepada kami untuk berbicara kepada manusia, menurut tingkat kecerdasan mereka.
Menyampaikan hal-hal yang halus itu, bila tidak melihat tingkat kecerdasannya, maka akan menimbulkan fitnah dikalangan mereka. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w :
Maa Hadasta Ahadus Qauman Bi Hadiistin La Yablughuhu Uquluhum Illaa Kaana Fitnatan Lahum “
Artinya : Apapun yang dibicarakan seseorang kepada suatu kaum, dengan pembicaraan yang tingkat kecerdasan mereka tidak mampu untuk memahaminya, hanya akan menimbulkan fitnah terhadap mereka
Hadist Rasulullah :
“ innaa Minal ‘Ilmi Kahai’atil Maknuuni Laya’Lamuhu Illal ‘Aalimuun “
Artinya : Sesungguhnya ada ilmu itu laksana mutiara yang tersembunyi, tak ada yang mengetahui kecuali orang yang Alim Billah “
Orang yang Alim Billah itu ialah yang mengenal Dzat Allah, Sifat-sifatNya dan AsmaNya, serta Af’alNya. Allah menyertai ilmunya dan mereka amalkan dengan tekun apa yang mereka ketahui tanpa cacat. Imam Ghazali r.a menjelaskan di dalam Ihya ‘Ulumuddin : “ Larangan dimaksud berhubung sulit dan sukarnya faham”
Hadist selanjutnya menegaskan :
“ Ma Fadldlolakum Abuu Bakrin Bi Kastrati Shiyamin Wa Laa Bi Kastrati Sholaatin Walaakin Bisirrin Qorra Fii Sadrihi “
Artinya : Kelebihan Abu Bakar dari padamu, bukanlah karena banyak sholat dan banyak puasa, tetapi kelebihan itu karena suatu rahasia yang terletak didadanya “
Catatan :
Khusus untuk ini perlu sedikit penjelasan tentang :
1. Apa yang dimaksud rahasia dan .
2. Siapa yang dimaksudkan ahlinya.
Menurut kajian dan pengamatan, bahwa rahasia yang dimaksud menyangkut 2 segi. Pertama : Rahasia yang dapat dikatakan, ditulis dan dijabarkan. Kedua : Ada pula Rahasia yang tidak mungkin untuk diucapkan, ditulis dan dijabarkan. Menurut istilah, yang dimaksud rahasia adalah sesuatu yang tersembunyi. Didalam bahasa arab dikatakan  “ SIR ” .  Ilmu tersembunyi psykologi (ilmu jiwa) atau ilmu Batin adalah sesuatu ilmu yang membicarakan tentang apa-apa yang tersembunyi pada diri manusia. Ilmu ini adalah tergolong pada segi pertama diatas. Begitu pula tentang Ilmu Metafisika, ilmu yang mengungkapkan apa-apa yang ada dibalik alam nyata ini. Itupun juga termasuk ilmu yang tersembunyi. Rahasia pada segi kedua, ialah hakekat atau arti yang sebenar-benarnya dari sesuatu yang tersembunyi dari segi yang pertama itu. Misalnya, siapakah yang dapat menunjukkan secara tepa apakah itu “RASA”. Apakah rasa itu seperti Atom, molekul, Jauhar? Dan sebagainya… dan sebagainya.. Tak ada seorangpun yang sanggup menunjukkan dengan tepat, meskipun jaman kini sudah demikian majunya tehknologi. Tidak ada seorangpun yang dapat mengingkari adanya rasa? Namun tidak ada yg mampu mengetahui dengan pasti, apakah RASA itu?. Pembicaraan dalam pembahasan kita ini, adalah membicarakan hal-hal yang tersembunyi, yaitu pembicaraan sepanjang yang dapat ditulis, dikatakan dan dijabarkan, namun tetap dalam langkiran yang dikatakan isyarat dan itibar. Siapakah yang dimaksud Ahlinya ? Banyak yang menyangka dan berpendapat bahwa mempelajari tasawuf ketuhanan ini, haruslah sudah matang dalam hal-hal syariat, mendalam ilmu Fiqihnya, harus tahu segala hokum secara terperinci (tafshili). Katanya janganlah kita berikan ilmu rahasia ini kepada yang selain itu. Akhirnya banyak pengajian dalam hal ilmu ini secara sembunyi-sembunyi, diajarkan malah oleh orang yang bukan ahlinya. Manusia ingin mencari kepuasan batin dengan mencari ilmu kearah itu, akan tetapi bila diberati dengan bermacam syarat dan ketentuan yang dirasa sulit untuk dilaksanakan, akhirnya mereka mundur teratur atau timbul kecenderungan untuk pengisian batin itu dengan cara-cara yang praktis, yang malah timbul hasil sebaliknya tidak sesuai dengan ajaran yang benar. Tapi apa mau dikata, mereka merasa mendapat pengisian batin sesuai hajat mereka. Kita jangan heran, bahwa orang yang berada ditempat padang pasir yang sedang kehabisan air dan tidak menemukan apa-apa untuk pelepas dahaga, disaat demikian, air kotor yang bagaimanapun akan diminum. Sebagi yang disabdakan oleh Rasulullah, “ Kadal Faqru ‘Yuristul Kufra ‘, artinya : hampir saja orang yang faqir itu menderita kekafiran.
Guru-guru saya dan saya sendiri tidak sependapat, bahwa untuk mempelajari ilmu ini, harus lengkap dengan ilmu-ilmu yang lain. Pengertian yang dikatakan “ Ahlinya “ ialah orang-orang yang memiliki kecerdasan dan intelenjia untuk dapat memahami permasalahannya, dan ada kegairahan untuk mendalami masalah kebatinan. Tentu saja mereka sudah harus mengerti mana yang baik dan mana yang buruk, meskipun pengertian mereka secara “ ijmali” (global = jumlah). Sebagai seorang muslim, mereka tentu mengerti dan mengucapkan dua kalimah syahadat, sholat, puasa dan sebagainya yang mereka laksanakan. Apabila ada “ Ala Qadri ‘Uqulihim” (menurut ukuran kecerdasannya) ternyata tidak mungkin diberikan, maka jelas sekali akan membawa bahaya bagi si penuntut. Kecerdasan itu tentu saja dilihat dari segi usia atau umur yang menurut ilmu jiwa bahwa kecerdasan manusia sesuai dengan peningkatan umurnya. Dan tidak mungkin juga diberikan kepada seseorang meskipun cukup usia, tetapi sikapnya terlihat ciri-ciri kebodohan atau bebal. Hal ini tergantung dengan pengamatan seorang guru terhadap murid-muridnya. Kalau sekiranya kita gunakan pendapat yang pertama, dimana harus mendalami syariat, ilmu fiqih, dan lain-lain secara mendalam, apakah hal tersebut dapat dilakukan? Sedangkan waktu untuk mencurahkan perhatian terhadap hal tersebut memerlukan waktu yang panjang, bagaimana jika habis umur?.

MENGENAL DIRI DAN MENGENAL TUHAN

3. Mengenal diri dapat Mengenal Tuhan, setelah mengenal Tuhan dia tidak mengerti lagi terhadap dirinya.
Makrifat itu ta’alluq ( berhubungan ) dengan pengenalan terhadap diri. pengenalan diri berhubungan pula kepada pengenalan terhadap Allah. Selanjutnya bila seseorang itu sudah makrifat kepada Allah, barulah dia menyadari bahwa dia sendiri sebenarnya tidak mempunyai pengetahuan apa-apa. Hadist Rasulullah :
” ‘Arafukum Birabbihi ‘Arafukum Binafsihi”
Artinya : ” Orang yang benar-benar makrifat kepada Allah, adalah yang lebih mengerti/ kenal terhadap dirinya “
Makrifat adalah ” Kasaf “ yang maksudnya, terbuka baginya hakikat segala sesuatu ini, Fana dirinya, kemudian fanalah fana itu sendiri, artinya bukan dirinya sendiri yang memfanakan, tetapi Allah-lah yang memfanakannya. Dari Tingkat ini langsung mencapai tingkat Baqo Billah,
yang maksudnya, Allah meliputi segala-galanya.
Akan terasa kemanisan dan keindahannya, lebih manis dari pada gula, lebih indah dari pada yang indah. Tentang Fana ini, dapat kita bagi dalam 3 tingkatan.
  1. FANA ILMU : Fana segala sesuatu ini pada hakikatnya, dilihat dari segi ilmu dan pengetahuan anda.
  2. FANA ‘AIN : Fananya segala sesuatu ini, sepanjang pandangan mata hati anda.
  3. FANA HAQ : Fana dalam arti sebenarnya, fana dirinya dan fana yang dilihatnya menurut pengertian hakiki.

TAJALLI DZAT

Pada bagian ini akan diterangkan tentang Tajalli zat, hendaklah anda kethui, bahwa Tajalli Zat itu atas tujuh martabat (Tingkat “Tanazzul” (turun) dari Hidratus-Sarij yaitu Hidrat Zat semata-mata yang pengertiannya tidak menyangkut sifat dan asma atau dlam pengertian lain, lepas dari pada isyarat.
Arif Billah Sayyid Abdullah bin Ibrahim Al-Mirghani q.s dalam Kitab beliau Tuhfatul Mursalah menyebutkan : “Kunhi Zat Allah s.w.t. tidak dapat digambarkan oleh akal dan indera (hissi) yang lima, tidak terbatas (haq) dengan ukuran akal dan pancaindra maka uaha yang demikian termasuk usha yang mustahil, Hal itu hanya mungkin dicapai dengan jalan kasyaf.
Penjelasan Martabat Tanazzul :
  1. Martabat Ahadiyat :Martabat (tingkat) ini dinamakan pula dengan “martabat Kunhi Zat” yaitu keadaan Zat semata-mata, dari sini nyata apa yang dinamakan sifat dan asma. Tidak ada martabat lain yang lebih atas dari pada ini. Semua martabat yang berikut ini, bersumber dari martabat ini.
  2. Martabat Wahdah : Tingkat ini dalah tingkat sifat secara keseluruhan (ijmal) dengan segala nama, disinilah hakekat Nabi Muhammad s.a.w, yaitu sebagai asal jadi dari segala yang jadi, hawiyatul-alam atau hakekat alam. Segala apapun adalah dari Nur Muhammad s.a.w. sebagaimana sabda Beliau :  “ awwalumaa Khalaqallahu Nuura Naiyyika Yaa Jaabiru Wa Khalaqa Minhul-asyyaa’a Wa Anta Min Tilkal Ayaa’i”
 Artinya : “ Mula-mula yang dijadikan adalh Nur Nabimu Ya Jabir, Dan Allah jadikan dari nur itu, segala sesuatu ini. Dan engkau Hai Jabir termasuk pada sesuatu itu”
 Pada Hadist yang lain Nabi bersabda : “ Ana Minallaahi Wal Mu’minuuna Minni”
Artinya : “Aku adalah dari pada Allah, dan orang-orang Mukmin adalah dari padaku”
 Sabda Nabi s.a.w. : “Innallaaha Khalaqa Ruuhannabiyyi Shalallaahu’Alaihi Wasallama Min Dzaatihi Wa Khalaqal Aalama Biasrihi Min Nuuri Muhammadin Shallahu Alaihi Wasallama”
Artinya : Sesungguhnya Allah ciptakan Roh Nabi Muhammad dari Zat-Nya, lalu Allah ciptakan alam dengan rahasiaNya dari pada Nur mUhammad s.a.w “
 Selain itu ada juga suatu riwayat dari Abdurrazaq r.a. yang diterimanya dari pada Jabir r.a. Jabir pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. “Ya Rasulullah beritahukanlah kepadaku, apakah yang mula-mula sekali Allah jadikan?”
Rasulullah menjawab :  “ Yaa Jaabiru Innallaaha Khalaqa qablal Asy-yaa’i Nura Nabiyyika Min Nuurihi”
Artinya : Sesungguhnya Allah ciptakan sebelum adanya sesuatu, adalah Nur Nabimu dari pada Nur-Nya.”
 Dari Hadist-hadist ini jelaslah bahwa kejadian Nur Muhammad s.a.w.adalah Nur-Zat-Nya.
Allah berikan nama dengan Nur-Nya sebagai tercamtum di dalam Al-Quraan yang mulia :
“ Laqad Ja’Akum Minallahi Nurun”
Artinya : Sesungguhnya telah Allah datangkan untuk kamu Nur dari pada Allah. Yaitu Nur Muhammad s.a.w.
 Sebagaimana kita ketahui bahwa Nur adalah salah satu nama Allah s.w.t. Diambil nama itu untuk Nabi kita karena tidak lain daripadaNya jua dalam arti Hakiki.
Untuk memudahkan pengertian kita misalkan “matahari” dengan “cahaya matahari”. Cahaya matahari menunjukkan tentang adanya si matahari, tetapi cahayanya itu sendiri sebenarnya bukanlah matahari pada rupa/bentuknya (surah) namun cahaya matahari itu dapat kita sebutkan matahari sepanjang gambaran arti saja. (itibar ma’na). Karena bilamana cahayanya tidak ada, kita akan mengatakan tidak ada matahari padahal matahari itu bukanlah cahaya.
Berhubung hal ini adalah suatu “kebenaran (haq)” maka Allahpun memberikan pula nama yang lain kepada beliau dengan nama Al-Haq yang nama ini adalah juga salah satu dari nama-nama Allah.s.w.t. sebagaimana firmanNya: “Yaa Ayyuhan-Nassu Qad Ja’akumul Haqqu Min (R) Rabbikum”
Artinya : “Wahai manusia, telah datang Al-Haq dari pada Tuhanmu, yaitu Nabi Muhammad s.a.w.”
  1. Martabat Wahidiyah Pada martabat ini nyata pula sifat dan asma itu dalam arti “munfashil” (terurai). Pada martabat wahdah nyata sifat dan asma dalam arti ijmal maka pada martabat ini adalah arti munfashil. Dari sini pula lahirnya Kalam Qadim (ucapan Allah Yang Maha Sedia) yaitu “annahu Anallahu” artinya, sesungguhnya Akulah Allah. Adanya tuturan kata (khitob) dengan “kalam qadim” itu berarti ada yang “dituturi” (sasaran pembicaraan) yaitu alam sifat dan asma.
Ketiga tiga martabat yang tersebut itu adalah Qadim. Adapun terjadinya susunan pada tingkat tingkat itu hanya sekedar suatu gambaran semata-mata (amrun ‘ittibary) janganlah hendaknya diartikan seolah olah terdapat tingkat menurut ukuran masa dan ruang atau tempat.
Maka nyata dengan jelas pada alam asma dan alam sifat roh Nabi Muhammad.s.a.w. menyeluruh pada hidlrat wahda dan teruarai pada hidlrat wahidiyah. Pada alam syahadah/alam nyata ini, diartikan awal dari segala yang jadi (tercipta) awal dari segala mumkinat yang datang dari hidlrat Mahabbah sebagai yang tersebut dalam Hadist Rasulullah s.a.w.,suatu hadist Qudsi (Firman Allah S.w.t.) yang berbunyi : “ Kuntu Kanzan Mahkfiyyan, Fa Ahbabtu An’Urufa, Fa Khalaqtul Khalqa Liya’Rifani”
Artinya : “Aku (Allah) adalah suatu perbendaharaan yang tersembunyi, lalu Aku berkeinginan dikenal maka Kujadikanlah mahkluk (Muhammad s.a.w.) agar dia kenal atau ma’rifat kepadaKu”
Lalu kemudian zahirlah Nabi Muhammad s.a.w. di alam syahadah atau alam nyata ini, yang dari padanya jua jd segala isi alam ini.
Rasulullahpun bersabda : “ Ana Abul Ruhii  Wa Aadamu Abul Basyari”
Artinya : “ Akulah bapak atu sumber dari segala roh, dan Adam bapak atau sumber segala tubuh (basyariat).”
 Kata Syekh Abdul Ghani An’Nablusi q.s  di dalam Syarah Fushush “ Roh segala jasad itu adalah satu, sedang yang berbilang ini hanyalah nafas. Maka nafas itulah yang mengalami mati, namun roh tidak akan mati karena berdirinya roh itu adalah dengan Haq Ta’ala pada semua keadaan ”.
Nabi Muhammad s.a.w. sebagai uraian yang terdahulu adalah jelas sebagai bapak/sumber dari segala sesuatu ini, serta sumber dari segala hayat kehidupan.
Berarti dengan itu jelas pulalah bahwa “mesrahlah Nur Muhammad pada segala sesuatu ini, laksana mesranya air pada tumbuh tumbuhan. Pafham fainnahu muhimmun (fahamilah,sungguh hal ini sangat penting).
Syekh Muhammad ibnu Abdul Karim As-Saman r.a. berkata dalam susunan Sholawat pada kitab Minnahul Muhammadiya : “Alifudz-dzatis-sariyyi Sirruha Fii Kulli Dzarratin. Ha’un Haayatul’alami Alladzii Minhu Mabda’uhu Wa Maqarruhu”
Artinya : Alif Zat, adalah mesra rahasianya pada segala zarrah, dan Ha adalah Hayatul alam ( kehidupan alam semesta ) dari situlah permulaan dan menetapnya”
Alif dan Ha yang dimaksud ini di itibar dari huruf huruf yang tertera pada nama Nabi Muhammad s.a.w. dengan nama yang lebih dikenal dilangit ialah Ahmad.

SURGA DARI CITRA MUHAMMAD

Catatan ; Pahami betul metafor yang  digunakan, agar  tidak terjebak pada makna-makna simbolnya.
Shurah (Citra) Muhammad adalah tajalli al Haq dengan nama-Nya al Mannan (Yang memberi nikmat). Darinya al Haq menciptakan surga-surga, kemudian Dia bertajalli dengan nama-Nya al Lathiif (Yang lemah lembut). Yang dijadikan tempat bagi segenap manusia mulia dan insan-insan yang dimuliakan oleh-Nya. Surga itu terbagi atas delapan tingkatan, setiap tingkat memiliki taman-taman surga yang banyak sekali, setiap taman memiliki tingkatan yang tidak terbilang jumlahnya.

Tingkat Pertama : Surga Salaam, surga ini dinamakan juga surga al Mujazah (balasan), al Haq menciptakan pintu surga ini dari amal shaleh (laku kabaikan), di dalamnya Dia bertajalli dengan nama-Nya al Hasiib (Yang menghitung-hitung). Penghuni surga ini murni karena perolehan pahala dari laku kebaikan, sabda Rasulullah  Muhammad  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Orang seorang tidak akan masuk surga dengan amalnya, adalah beliau maksudkan khusus untuk surga Mawahib (pemberian), adapun surga al Mujazah, untuk memasukinya adalah dengan amal-amal shaleh (perbuatan baik), terkait dengan hak penghuni surga ini al Haq berfirman : Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. Kemudian diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. (Q.s. an Najm 53 : 39 – 41). Dengan demikian tidak seorangpun bisa memasuki surga ini, kecuali dengan amal (perbuatan) baik. Semantis logikanya barang siapa yang tidak berbuat amal shaleh, tidak akan bisa memasukinya. Surga ini juga dinamakan al Yusrah, al Haq berfirman : Adapun orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah, dan bertaqwa. Dan membenarkan adanya pahala yang baik. Maka Kami kelak akan menyiapkan baginyajalan yang mudah. (Q.s. al Lail 92 : 5 – 7) maksudnya adalah laku perbuatan yang sedikit, tapi diterima oleh-Nya, keterkabulan itu membuat pelakunya dimudahkan memasuki surga.

Tingkat Kedua : Surga Khuldi atau surga al Makasib (perolehan). Perbedaan antara surga al Mujazah dan surga al Makasib. Surga al Mujazah terkait dengan kadar perbuatan baik yang membuahkan balasan dari-Nya, sedang surga al Makasib merupakan keberuntungan murni, karena surga ini produk daripada aqidah (keyakinan) dan prasangka baik kepada al Haq. Esensinya surga balasan hasil kerja fisik sedang surga perolehan murni karena pemberian tanpa kerja fisik, al Haq menampakkan diri-Nya kepada penghuni surga ini dengan nama-Nya al Badi’ (Yang menjadikan). Dia tampakkan diri-Nya kepada para pemeluk keyakinan yang lurus dan benar yang tidak menciptakan bid’ah-bid’ah ketuhanan. Pintu surga ini terbuat dari aqidah yang benar dan prasangka baik kepada al Haq, serta Rajaa’ (Harapan) kepada-Nya, tidak akan bisa masuk surga ini kecuali mereka yang terkait dengan ketiga hal tersebut. Surga ini dinamakan dengan al Makasib, sebab lawan dari perolehan adalah kerugian, yang disebabkan oleh prasangka buruk kepada al Haq, Dia berfiman : Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orangyang merugi. (Q.s. Fushshilaat 41 : 23) Insan yang mentradisikan prasangka buruk kepada al Haq, akan terjerembab ke dalam api kerugian tak bertepi, sedangkan orang yang mentradisikan prasangka baik kepada al Haq, akan menjadi penghuni surga al Makasib.

Tingkat Ketiga: Surga Mawahib (pemberian). Ketahuilah pemberian al Haq tidak berpenghabisan, Dia Maha Memberi, kadang pemberian-Nya jamak lebih banyak kepada hamba yang tiada beramal dan tidak berkeyakinan, ketimbang kepada hamba-Nya yang beramal dan berkeyakinan, ada hikmah berserak dibalik realita tersebut, yang patut direnungkan. Dalam surga ini terdapat para pemeluk setiap agama, dan jenis manusia dari berbagai bangsa dari anak cucu Adam as, mereka yang memasuki surga ini akan tampak dihadapan mereka nama-Nya al Wahhab (Yang memberi). Tidak ada satupun yang memasuki surga ini, kecuali atas pemberian al Haq, dialah sejatinya surga yang disabdakan Rasulullah  Muhammad  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam , Surga itu tiada satupun yang bisa masuk karena amalnya. Para sahabat bertanya, sampai engkau sekalipun wahai rasul, ? Rasul saw menjawab bahkan aku sendiripun tidak bisa, kecuali orang-orang yang beroleh rahmat pemberian-Nya, surga ini paling luas dari surga-surga yang ada, surga ini pula sejatinya dari firman-Nya, Rahmat Ku, meliputi segala sesuatu, tidak ada satupun yang mampu menjangkau rahasia dibalik kehendak pemberian-Nya, kepada mereka-mereka yang dimasukkan ke dalam surga ini sejalan dengan kehendak-Nya. Bahkan akal dan estimasi tidak akan mampu menakarnya, siapa saja yang akan beroleh nikmat pemberian-Nya dimasukkan surga ini, karena hal itu murni hak preogratif al Haq, akal dan estimasi manusia tidak mampu menakarnya. Warta ketuhanan mengabarkan, penghuni surga ini terdiri atas pemeluk agama-agama dari segala generasi (kurun) dari berbagai bangsa yang ada dalam makro kosmos, bukan semua pemeluknya tapi sebagian pemeluk agama-agama tersebut, ini jelas berbeda dengan surga al Mujazah yang dikhususkan bagi insan-insan pelaku amal shaleh. Surga al Makasib disebut surga terluas, karena tiket masuknya adalah al Ribh (keberuntungan), sedang modal keberuntungan itu diperoleh dengan prasangka baik kepada al Haq, dan kelurusan aqidah, surga ini (al Mawahib) adalah yang terluas dari surga-surga yang ada. Surga inilah sejatinya yang disebut dalam firman Qur’ani dengan al Ma’wah. al Haqberfirman : Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, maka bagi mereka surga-surga tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Qs. as Sajdah 32 : 19). Penyebutan surga dengan redaksi tempat kediaman bukan balasan, sebagai bentuk pewartaan bahwasanya Dia memasukkan mereka ke surga pemberian, bukan surga balasan ataupun surga perolehan. Proses penurunan mereka ke surga itu adalah dengan prosedur ketuhanan yang diatur dalam pundi-pundi rahasia al Haq. Kasih pemberian dan apresiasiNya tidak terbatas melalui laku kebaikan, terlebih hanya dikhususkan bagi pelaku kebaikan saja, Pahami ini dengan jeli dan betul!

Tingkatan Keempat: Surga al Istihqoq (kepemilikan), Surga al Na’im (kenikmatan), Surga al Fitroh (fitrah). Surga ini bukan merupakan balasan atau pemberian, surga ini diperuntukkan bagi orang-orang khusus, yang eksis pada ketentuan hakiki kodrat penciptaan mereka karenanya surga ini merupakan hak dan milik asli insan-insan yang pergi dari alam dunia ini sedang ruh mereka tetap pada fitrah penciptaan dasar, surga ini juga milik mereka yang menjalani kehidupan transendental sepanjang umurnya di dunia ini, sementara ruh mereka dalam naungan fitrah, yakni mereka adalah para Bahlul (cacat mental), anak-anak yang belum menginjak akil balig, orang-orang yang tidak waras (gila). Surga ini diperuntukkan bagi mereka-mereka yang mensucikan dirinya dengan amal shaleh, laku Mujahadah, Riyadlah, dan Mua’amalah yang baik bersama al Haq, sehingga ruh mereka terjernihkan dari kisi-kisi keburukan sifat kemanusiaan, dan kembali ke fitrah penciptaannya. Sedang fitrah dasar penciptaan manusia itu seperti yang difirmankan al Haq. Sesungguhnya Kami telah ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Q.s. at Tiin 95 : 4) namun ketika manusia mengotori dirinya, Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. (Q.s. at Tiin 95 : 5), sedangkan manusia-manusia yang mensucikan dirinya, merekalah itulah yang diapresiasikan al Haq dalam firman-Nya, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh : maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. (Q.s. at Tiin 95 : 6). Surga ini dinamakan surga kepemilikan, karena mereka memang berhak masuk kedalamnya, tanpa proses, ganjaran, pemberian, perolehan dari laku amal kebaikan. Manusia-manusia yang mensucikan jiwa mereka hingga bisa kembali ke fitrah penciptaan, itulah yang disebut al Abraar, (para pembakti) al Haq berfirman : Sesungguhnya orang-orang banyak berbakti, benar-benarberada dalam surga yang penuh kenikmatan. (Q.s. al Infithaar 82 : 4) makna yang tersirat dari ayat ini adalah, bahwasanya al Haq bertajalli kepada para penghuni surga ini dengan nama-Nya al Haq, mereka yang tidak mensucikan fitrah penciptaannya, tidak berhak memasuki surga ini. Mereka yang berusaha mensucikan jiwanya lantas dipanggil keharibaan-Nya, ia berhak memasuki surga ini, diantara penghuninya ada juga insan yang telah dimasukkan neraka-Nya, hingga dosa-dosanya tersterilkan, dan kembali ke fitrahnya, setelah itu al Haq memasukkannya ke dalam surga ini. Atap surga ini bernama Arsy, berbeda dengan atap-atap surga sebelumnya, surga al A’lah atapnya bernama al Adna, surga Salaam atapnya bernama Khuldi, sedangkan surga Khuldi atapnya bernama surga al Ma’wah, adapun surga Ma’wah atapnya bernama surga al Istihqoq, surga al Fitrah atau surga al Na’im atapnya adalah Arsy.

Tingkatan Kelima: Surga Firdaus, ia adalah surga makrifat, buminya membentang luas tak bertepi, semakin tinggi penghuninya mendaki semakin mengerucut keluasannya, bahkan puncaknya lebih kecil dibandingkan lubang jarum, tidak ada pepohonan, sungai, istana, bidadari, kecuali jika sang penghuni melihat ke surga di tingkatan bawahnya, jika mereka menginginkan kenikmatan surgawi itu ia bisa turun ke surga ditingkat bawah. Di surga makrifah ini tidak didapati bidadari, para muda tampan atau istana-istana surgawi, surga ini berada didepan pintu Arsy, penghuni surga ini selalu Musyahadah (dalam nuansa penyaksian), karena penghuninya merupakan para penyaksi, yakni penyaksi keagungan dan keindahan, serta kebagusan serta kasih kebaikan Ilahiyah (ketuhanan), mereka gugur dalam naungan rasa kasih cinta dijalan al Haq, dan Dia mencintai mereka, para penghuni surga ini adalah para pecinta al Haq yang gugur dengan pedang fana’ (ekstase) atas nasfsu-nafsu diri mereka, sehingga tidak menyaksikan kecuali kekasih sejati (al Haq) mereka. Surga ini dinamakan pula dengan surga’ Wasilah’ (penghubung) karena makrifah merupakan penghubung antara orang yang arif dengan yang dimakrifahi Dia-lah al Haq, penghuni surga ini paling sedikit dibanding surga-surga lainnya, demikian halnya semakin tinggi dakian surga ini semakin sedikit pula penghuni puncaknya.

Tingkat Keenam: Surga Fadhilah (Keutamaan). Penghuninya adalah para Shidiqin (insan-insan yang mentradisikan kebenaran dan kelurusan), al Haq memberi apresiasi yang tinggi kepada mereka dan menempatkan mereka di Sisi Tuhan Yang Berkuasa surga ini disebut surga asma (nama-nama)-Nya, yang terhamparkan diatas tingkatan-tingkatan Arsy, penghuninya lebih sedikit ketimbang surga Firdaus atau Makrifat, namun kedudukannya paling tinggi dihadapan al Haq, karenanya penghuninya disebut penikmat kelezatan Ilahiyah (ketuhanan).

Tingkat Ketujuh : dinamakan surga al Darajah al Rafi’ah (tingkatan tinggi). la merupakan surga sifat-sifat-Nya dari dimensi nama-nama-Nya, ia surga dzat-Nya dari dimensi bentuk, buminya adalah dasar Arsy, penghuninya disebut ahli hakekat dan ahli makrifah hakekat-hakekat ke-Tuhan-an, penghuninya paling sedikit dibanding surga-surga-Nya yang lain, penghuninya merupakan al Muqorrobin (insan-insan paling dekat) dengan al Haq dan para khalifah (pengganti) ketuhanan. Mereka adalah insan-insan yang menyembunyikan diri dan memiliki hasrat kuat dalam mengarungi samudera kehakikian al Haq. Dalam pengembaraan ruhiyahku, aku melihat Ibrahim al Kholil (sang terkasih) berdiri disebelah kanan surga ini, melihat ke arah tengah, aku melihat komunitas para rasul dan nabi serta para kekasih Allah (wali), di sebelah kiri surga ini, mereka memfokuskan perhatian mereka ke arah tengah surga ini, aku melihat Rasulullah  Muhammad  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di tengah-tengah surga ini, sambil mengarahkan pandangan ke tiang pancang Arsy, memohon keharibaan-Nya maqom Mahmud (kedudukan mulia) dan al Haq mengabulkan permohonan baginda Rasulullah  Muhammad  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

Tingkat Kedelapan : dinamakan surga Maqom Mahmud (Kedudukan Mulia). Ia merupakan surga dzat, buminya dari atap Arsy, yang tiada seorangpun bisa sampai kepadanya, setiap penghuni surga ini berusaha bisa Wushul (sampai) ke atap Arsy ini, sebagian orang berasumsi surga ini ditegakkan hanya dengan hakekat asma-Nya, prediksi mereka tidaklah salah, surga ini diperuntukkan bagi Rasulullah  Muhammad  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam , sejalan dengan sabdanya dalam sebuah hadist Sesungguhnya Maqom Mahmud, merupakan tempat tertinggi di dalam surga, ia diperuntukkan hanya untuk satu orang saja, aku berharap satu-satunya orang itu adalah diriku. al Haq lantas mewartakan bahwasanya Dia mengabulkan permintaan Muhammad saw tersebut, dan mengkhususkan surga untuk beliau seorang. Kita wajib percaya dengan sabda Rasulullah  Muhammad  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut, Dan tiadalah yang dia ucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. (Q.s. an Najm 53  : 4 – 5)

Bahwa al Haq menciptakan dari citra Muhammad ini surga yang multi kenikmatan bagi para mukminin dan neraka dengan ragam siksa yang ada di dalamnya, al Haq juga menciptakan dari citra Muhammad ini citra Adam, sebagai bentuk duplikat dari citra Muhammad tersebut, ketika Adam diusir dari surga-Nya, maka terpisah pula citra dirinya, karena keterpisahannya dengan alam ruh. Pahamilah ketika Adam berada disurga, eksistensi fisiknya belum diwujudkan secara Lahiriyah seperti tubuh yg digunakan didalam dunia, ia hanya di-ada-kan al Haq dalam bentuk rasa, karenanya orang seorang tidak akan bisa memasuki surga-Nya, kecuali bila ia bisa menemukan rasa fitri-nya, ketika Adam diusir ke bumi rasa fitri-nya tetap tinggal di surga, karena kehidupan-nya di surga bercitrakan rasa yang lahir dari nafs-nya, sedang kehidupannya di dunia bercitrakan ruh, ia bakal mati kecuali yang dikekalkan al Haq, melihat kepada-Nya dengan pandangan dzat-Nya, hak-hak-Nya, sifat-sifat-Nya dan asma-asma-Nya. Nasibnya dalam kehidupan dunia ini bercitrakan Qudrah al Haq yang menentukan wajah kehidupannya di kampung akhirat, al Haq tidak memberi citra kepada nafs (jiwa) hamba-Nya, kecuali dalam ‘rasa’
Tingkat Kesembilan : Disebut surga Musyahadah ( Memandang Wajah Allah ” Kadzuljalali Wal Ikram “ ) , akan kita jelaskan  nanti dalam penjelasan tersendiri .

PENCIPTAAN TUBUH MUHAMMAD

Ka’ab al Ahbaar radhiy-Allahu ‘anhu mengatakan, “Ketika Allah SWT menginginkan untuk menciptakan Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam, Ia memerintahkan Malaikat Jibril untuk membawa kepada-Nya tanah liat yang menjadi jantung dari bumi, yang menjadi kemegahan dan cahayanya. Jibril pun turun, ditemani beberapa malaikat dari Tempat Tertinggi di Surga. Ia mengambil segenggam tanah untuk penciptaan Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam dari suatu tempat yang kini menjadi makam suci beliau sall-Allahu ‘alaihi wasallam; tanah itu berkilau putih cerah. Kemudian ia meramas dan mengadun tanah itu dengan air ciptaan terbaik dari Air Terjun Syurgawi Tasniim, yang berada dalam sungai-sungai jernih yang mengalir di Syurga. Ia mengaduninya sampai tanah itu menjadi suatu mutiara putih dengan pancaran warna putihnya yang cemerlang. Para malaikat membawanya, mengelilingi ‘Arasy Syurgawi dan gunung-gunung dan samudera. Dengan begitu, para malaikat dan seluruh makhluq menjadi tau akan keberadaan junjungan kita Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam dan kehormatan beliau; sebelum mereka mengetahui Adam.”
Ibn ‘Abbas radhiy-Allahu ‘anhumengatakan, “Asal usul dari tanah liat Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam adalah dari pusat bumi, di Makkah, di titik di mana Ka’bah berdiri. Kerana itu pula, Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam menjadi asal usul penciptaan, dan semua makhluq ciptaan adalah pengikut-pengikut beliau.”
Pengarang Awarif al Ma’arif [al-Suhrawardi], berkata bahawa ketika Banjir meluap, menebarkan buih ke seluruh penjuru, esensi dari Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam berhenti hingga ke suatu tempat di dekat tanah kubur beliau di Madinah, sehingga beliau sall-Allahu ‘alaihi wasallam menjadi seseorang yang termasuk dalam Makkah maupun Madinah.
Diriwayatkan bahawa ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan Adam ‘alaihissalam, Ia Subhanahu Wa Ta’ala mengilhamkan kepada Adam untuk bertanya, “Wahai Tuhan, mengapakah Engkau memberiku nama panggilan, Abu Muhammad (ayah dari Muhammad)?” Allah menjawab, “Wahai Adam, angkat kepalamu.” Adam pun mengangkat kepalanya dan ia melihat cahaya dari Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam dalam kubah ‘Arsy. Adam kemudian bertanya lagi, “Wahai Tuhan, cahaya apakah ini?” Allah menjawab, “Ini adalah cahaya dari seorang Nabi keturunanmu. Namanya di Syurga adalah Ahmad, dan di Bumi namanya Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam. Jika bukan demi dirinya, tentu Aku tidak akan menciptakan dirimu, tidak pula Langit, tidak pula Bumi.”
‘Abd al-Razzaq meriwayatkan, dari Jabir bin ‘Abdullah radhiy-Allahu ‘anhu, bahwa ia berkata, “Ya RasulAllah, semoga ayahku dan ibuku dikorbankan demi dirimu, ceritakan padaku tentang hal pertama yang Allah ciptakan, sebelum yang lain-lainnya.” Beliau menjawab, “Wahai Jabir, Allah menciptakan, sebelum apa pun yang lain, cahaya Nabimu dari cahaya-Nya. Cahaya itu mulai bergerak ke mana pun Allah kehendaki dengan Qudrat Ilahiah Allah. Pada saat itu belum ada Tablet (Lauh) belum pula Pena; belum ada Syurga mahupun Neraka, tidak ada malaikat; tidak ada Langit, tidak pula Bumi; tak ada Matahari mahupun Bulan, tak ada Jinn ataupun manusia. Ketika Allah ingin untuk menciptakan makhluq-Nya, Ia membagi cahaya itu menjadi empat bagian. Dari bagian pertama, Ia menciptakan Pena, dari yang kedua, Tablet (Lauh), dan dari yang ketiga, ‘Arasy. Kemudian, Ia membagi bagian keempat menjadi empat bagian: bagian pertama membentuk para pembawa ‘Arasy, bagian kedua menjadi penunjang kaki ‘Arasy, dan dari bagian ketiga Ia menciptakan malaikat-malaikat lainnya. Ia kemudian membagi bagian keempat menjadi empat bagian lagi: Ia menciptakan langit dari bagian pertama, bumi-bumi dari bagian kedua, Syurga dan Neraka dari bagian ketiga. Kemudian Ia membagi lagi bagian keempat sisanya menjadi empat bagian: menciptakan cahaya firasat orang-orang beriman dari bagian pertama, cahaya kalbu-kalbu mereka(iaitu ma’rifat Allah) dari bagian kedua, dan dari bagian ketiga Ia ciptakan cahaya kesenangan dan kegembiraan (Uns, yaitu Laa ilaha illa Allah, Muhammadun Rasuulullah).
Suatu riwayat lain dari ‘Ali ibn Al-Husain radhiy-A llahu ‘anhu dari ayahnya [iaitu Husain ibn 'Ali ibn Abi Talib, peny.] radhiy-Allahu ‘anhu, dari datuknya [iaitu 'Ali ibn Abi Talib] karram-Allahu wajhahu, dari Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam yang bersabda, “Aku adalah suatu cahaya di hadapan Tuhanku, empat belas ribu tahun sebelum penciptaan Adam.” Telah pula diriwayatkan bahwa ketika Allah menciptakan Adam ‘alaihissalam, Ia Subhanahu Wa Ta’ala menaruh cahaya itu di punggung Adam, dan cahaya itu biasa berkilau dari bahagian depannya, menelan seluruh sisa cahayanya. Kemudian Allah menaruh cahaya itu ke ‘Arasy Kekuasaan-Nya, dan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya membawanya di pundak mereka, dan memerintahkan mereka pula untuk membawa Adam berkeliling di Langit dan mempertunjukkan padanya keindahan-keindahan Kerajaan-Nya.
Ibn ‘Abbas radhiy-Allahu ‘anhu berkata, Penciptaan Adam adalah pada hari Jumat di sore hari. Allah kemudian menciptakan baginya Hawa’, istrinya, dari satu tulang rusuk kirinya ketika ia sedang tertidur. Saat ia bangun dan melihat Hawa’, Adam merasa tenteram dengannya, dan ia mulai merentangkan tangannya ke Hawa’. Malaikat berkata, “Berhenti, Adam.” Adam berkata, “Kenapa, tidakkah Allah menciptakannya untukku?” Mereka menjawab, “Tidak boleh hingga kau membayar mas kawin padanya”. Adam bertanya, “Apa mas kawinnya?” Para Malaikat menjawab, “Dengan membaca salawat atas Muhammad tiga kali.” [dan dalam riwayat lain, dua puluh kali].
Telah pula diriwayatkan bahawa ketika Adam ‘alaihissalam meninggalkan Syurga, ia melihat tertulis di kaki ‘Arasy dan di setiap titik dalam Syurga, nama Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam di samping nama Allah. Adam bertanya, “Wahai Tuhan, siapakah Muhammad?” Allah menjawab, “Dia adalah anakmu, yang jika seandainya tidak demi dirinya, tentu Aku tidak akan menciptakanmu.” Kemudian Adam berkata, “Wahai Tuhan, demi anak ini, kurniakanlah rahmat pada ayahnya.” Allah memanggil, “Wahai Adam, seandainya engkau akan bersyafa’at melalui Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam bagi seluruh penduduk Langit dan Bumi, Kami akan kabulkan permohonan syafa’atmu.”
‘Umar Ibn al-Khattab radhiy-Allahu ‘anhu berkata bahawa Sayyidina Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketika Adam berbuat dosa, ia berkata, ‘Ya Allah, aku memohon kepadamu demi Muhammad untuk mengampuniku.’ Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman padanya, ‘Bagaimana dirimu tahu akan Muhammad padahal Aku belum menciptakannya?’ Adam menjawab, ‘Kerana ketika Engkau, Ya Tuhanku, menciptakanku dengan Tangan-Mu, dan meniupkan padaku dari Ruh-Mu, aku memandang ke atas dan melihat tertulis di kaki-kaki ‘Arasy, Laa ilaaha illallah, Muhammadun Rasuulullah. Aku tahu bahawa Engkau tidak akan menaruh  nama di samping Nama-Mu, melainkan pasti itu adalah nama seseorang yang paling Engkau-cintai dari makhluq-Mu.’ Allah berfirman, ‘Wahai, Adam, engkau telah mengatakan kebenaran: dialah yang paling Kucintai di antara makhluq ciptaan-Ku. Dan kerana engkau telah memohon pada-Ku demi dirinya, engkau kuampuni. Seandainya tidak untuk Muhammad, Aku tak akan menciptakanmu. Dialah penutup para Nabi dari keturunanmu.’”
Dalam Hadits Salman radhiy-Allahu ‘anhu, diriwayatkan bahwa Jibril ‘alaihissalam turun menemui Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Tuhanmu mengatakan, ‘Jika Aku telah menjadikan Ibrahim sebagai yang Ku-cintai, sahabat dekat (khalil), Aku pun menganggapmu demikian. Tak pernah Ku-ciptakan makhluq apa pun yang lebih berharga bagi-Ku daripada dirimu, dan telah Ku-ciptakan dunia ini dan penduduknya dengan maksud untuk membiarkan mereka mengetahui kehormatanmu dan mengetahui arti keberadaanmu bagi-Ku; dan seandainya tidak untukmu, tidaklah Kuciptakan dunia ini’”.
Hawa’ ‘alaihassalam melahirkan empat puluh anak dari Adam ‘alaihissalam, dalam dua puluh kali kelahiran; tetapi ia melahirkan Seth [atau Syits] ‘alaihissalam secara terpisah, sebagai kehormatan bagi junjungan kita Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam, yang cahayanya berpindah dari Adam ke Seth. Sebelum wafatnya, Adam menitipkan pemeliharaan anak-anaknya kepada Seth, dan ia pun, sebagai gilirannya, mempercayakan pada anak-anak tersebut, wasiat dari Adam: untuk menaruh cahaya itu hanya pada wanita yang suci. Wasiat ini berlanjut, abad demi abad, sampai Allah memberikan cahaya itu kepada Abdul Muttalib dan puteranya, Abdullah. Dengan cara inilah, Allah menjaga kemurnian silsilah tanpa cela dari Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam, dari perzinaan orang-orang bodoh.
Ibn ‘Abbas radiyAllahu ‘anhu berkata, “Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tak satu pun perzinaan  menyentuh kelahiranku. Aku dilahirkan tidak lain hanya dengan pernikahan Islam.’”
Hisyam ibn Muhammad Al-Kalbi meriwayatkan bahawa ayahnya berkata, “Aku menghitung bagi (silsilah) Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam ada lima ratus ribu ibu, dan tak kutemukan di antara mereka satu jejak pun perzinaan, atau apa pun dari interaksi orang-orang bodoh.”
Ali radiyAllahu ‘anhu berkata bahawa Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku datang dari pernikahan, aku tidak datang dari perzinaan; dari Adam hingga diriku dilahirkan dari ayah dan ibuku, tak satu pun perzinaan orang jahil yang menyentuh diriku.”
Ibn ‘Abbas radiyAllahu ‘anhu berkata bahwa Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang tua moyangku tak pernah melakukan perzinaan. Allah menjaga memindahkanku dari sulbi yang baik ke rahim yang suci, murni dan tersucikan; bila saja ada dua jalan untuk berpindah, aku menuju ke yang terbaik di antara mereka.”
Anas radiyAllahu ‘anhu berkata bahawa Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam membaca, “La qad jaa-akum Rasuulum min Anfusikum” [QS. 9:128], dan bersabda, “Aku adalah yang terbaik di antara kalian dalam silsilahku, dalam hubungan-hubungan-ku dan nenek moyangku: tak ada perzinaan pada ayah-ayahku dalam setiap tingkat hingga ke Adam.”
‘Aisyah radiyAllahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam bahwa Jibril ‘alaihissalam berkata, “Aku telah meneliti Bumi dari timur ke barat, dan tak kutemui seorang manusia pun yang lebih baik dari Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam, dan tak kutemui seorang anak laki-laki dari ayah mana pun yang lebih baik dari anak-anak Hasyim (Bani Hasyim).”
Dalam Sahih Al-Bukhari, Abu Hurairah radiyAllahu ‘anhu meriwayatkan bahawa Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku telah diutus dari generasi terbaik dari Anak-anak Adam, satu demi satu hingga aku mencapai keadaanku sekarang ini.”
Dalam Sahih Muslim, Watsila ibn al-Aska’ meriwayatkan bahwa Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah telah memilih Kinana dari anak-anak Isma’il, dan Quraisy dari Kinana, dan dari Quraish, anak-anak Hasyim, dan akhirnya memilihku dari Bani Hasyim.”
Al ‘Abbas radiyallahu ‘anhu berkata Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah menciptakan makhluq, dan menempatkanku dalam kelompok-kelompok terbaik, dan yang terbaik dari dua kelompok; kemudian Ia memilih suku, dan menaruhku pada yang terbaik di antara keluarga-keluarga mereka. Kerana itulah, aku memiliki keperibadian terbaik, roh dan sifat terbaik, dan memiliki asal-usul terbaik di antara mereka.”
Ibn ‘Umar radiyAllahu ‘anhu berkata bahawa Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah memeriksa ciptaan-Nya dan memilih Bani Adam (manusia) dari mereka; Ia memeriksa Bani Adam dan memilih orang-orang Arab darinya; Ia memeriksa kaum Arab dan memilihku dari antara mereka. Kerananya, aku selalu menjadi yang terpilih di antara yang terpilih. Lihatlah, orang-orang yang mencintai kaum Arab, adalah karana cinta kepadaku hingga mereka mencintai kaum Arab, dan mereka yang membenci kaum Arab, adalah kerana mereka membenciku hingga mereka pun membenci Arab.”
Ketahuilah bahawa Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam tidaklah terkait (memiliki) secara langsung pada saudara laki-laki atau perempuan siapa pun dari orang tua-orang tuanya; beliau sall-Allahu ‘alaihi wasallam adalah anak satu-satunya mereka dan silsilah mereka berhenti pada beliau. Dengan begitu, beliau secara eksklusif ‘memegang penuh’ suatu silsilah yang Allah (SWT)inginkan menjadi yang tertinggi yang dapat dicapai suatu kenabian, dan yang memegang puncak kehormatan.
Jika Anda memeriksa status silsilah beliau sall-Allahu ‘alaihi wasallam dan mengetahui kesucian kelahiran beliau sall-Allahu ‘alaihi wasallam, Anda akan yakin bahawa silsilah beliau adalah suatu keturunan dari ayah-ayah yang terhormat, kerana beliau adalah Al-Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam, Al ‘Arabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam, Al Abtahi sall-Allahu ‘alaihi wasallam, Al Harami sall-Allahu ‘alaihi wasallam, Al Hasyimi sall-Allahu ‘alaihi wasallam, Al Quraisyi sall-Allahu ‘alaihi wasallam, elite dari Bani Hasyim, seseorang yang telah dipilih dari suku-suku terunggul bangsa Arab, dari silsilah terbaik, keturunan paling mulia, cabang yang paling subur, pilar tertinggi, asal usul terbaik, akar-akar terkuat, memiliki lidah terfasih, gaya bicara terhalus, darjat kebajikan) yang paling memberatkan, iman paling sempurna, persahabatan paling kuat, kaum kerabat paling terhormat dari kedua pihak orang tua, dan dari tanah Allah yang paling mulia. Beliau sall-Allahu ‘alaihi wasallam memiliki banyak nama dan yang paling terkemuka adalah Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam ibn (putera) Abdullah. Beliau juga adalah putera Abdul Muttalib, yang namanya adalah Syaybat-ul Hamd, anak Hasyim, yang namanya adalah Amr; anak dari Abd Manaaf, yang namanya adalah al-Mughiirah, anak dari Qusai, yang namanya adalah Mujammi’, anak dari Kilaab, yang namanya Hakiim, ibn Murra, ibn Ka’b (dari suku Quraisy), ibn Lu’ai, ibn Ghalib, ibn Fihr, yang namanya adalah Kinana, ibn Khuzaima, ibn Mudrika, ibn Ilias, ibn Mudhar, ibn Nizar, ibn Ma’add, ibn Adnan.
Ibn Dihia berkata, “Para ulama setuju dan kesepakatan ulama adalah bukti bahwa Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan silsilah beliau hingga Adnan, dan tidak menyebutkan di atas itu.”
Ibn ‘Abbas radiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahawa bila saja Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam menyebutkan silsilahnya beliau tak pernah menyebut di atas Ma’add, ibn Adnan, dan akan berhenti, dengan mengatakan, “Para genealogis (ahli silsilah) telah berbohong.” Beliau akan mengulangi ucapannya itu dua atau tiga kali. Ibn ‘Abbas juga berkata, “Di antara Adnan dan Isma’il ada tiga puluh ayah yang tak diketahui [namanya, red.].”
Ka’b al-Ahbaar radiyAllahu ‘anhu berkata, “Ketika cahaya Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam sampai pada Abdul Muttalib, dan dia telah mencapai usia kedewasaan, dia tidur suatu hari di halaman Ka’bah; ketika ia bangun, matanya terhiasi oleh kohl (celak), rambutnya terminyaki, tubuhnya terbalut dengan jubah yang indah . Ia terkejut, tak mengetahui siapa yang telah melakukan hal itu padanya. Ayahnya menggapai tangannya dan segera membawanya ke tukang ramal Quraisy; mereka menasihatinya untuk menikah, dan ia pun menikah. Bau dari misk terbaik biasa memancar keluar dari dirinya, dengan Nur (cahaya) dari Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam berkilauan dari dahinya. Bila saja terjadi kekeringan, kaum Quraisy biasa membawanya ke Gunung Tsabiir, dan berdoa kepada Allah melalui dirinya memohon Allah untuk menurunkan hujan. Allah akan menjawab doa mereka dan menurunkan hujan karana berkah dari Nur Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam.”
Ketika Abrahah, raja Yaman datang untuk menghancurkan rumah suci (Ka’bah) dan kabar tentang ini sampai ke kaum Quraisy, Abd al-Muttalib berkata pada mereka, “Ia tak akan sampai ke Rumah ini, karana Rumah ini di bawah perlindungan Tuhannya.” Dalam perjalanannya ke Makkah, Abrahah menjarah unta-unta dan domba kaum Quraisy, di antaranya empat ratus unta betina milik Abd Al-Muttalib. Ia dan banyak dari kaum Quraisy pergi ke Gunung Tsabiir. Setelah mendaki gunung tersebut, cahaya dari Nabiyullah sall-Allahu ‘alaihi wasallam muncul dalam bentuk suatu lingkaran di dahinya seperti sebuah bulan sabit, dan sinarnya terpantulkan ke Rumah Suci Ka’bah. Ketika ‘Abdul Muttalib melihat hal itu, ia berkata, “Wahai, kaum Quraisy, engkau boleh kembali sekarang, sudah aman. Demi Allah, kini cahaya ini telah membentuk suatu lingkaran pada diriku, tak ada keraguan bahwa kemenangan menjadi milik kita.”
Mereka kembali ke Makkah, di mana mereka bertemu seorang laki-laki yang diutus Abrahah. Saat melihat wajah ‘Abdul Muttalib, laki-laki tersebut tertegun, lidahnya tergagap-gagap. Ia pun pingsan, sambil melenguh seperti lembu jantan yang tengah disembelih. Ketika ia sadar kembali, ia pun jatuh bersujud kepada Abdul Muttalib, sambil berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau benar-benar Pemimpin Kaum Quraisy.”
Telah diriwayatkan pula bahwa ketika Abdul Muttalib muncul di depan Abrahah, gajah putih yang besar dalam pasukannya melihat ke wajah Abdul Muttalib dan jatuh berlutut seperti seekor unta, dan jatuh bersujud. Allah membuat gajah tersebut berbicara, berkata, “Keselamatan bagi cahaya di sulbimu, wahai Abd al-Muttalib.” Ketika pasukan Abrahah mendekat untuk menghancurkan Ka’bah suci, gajah tadi berlutut kembali. Mereka memukulinya kepalanya dengan hebat untuk membuatnya berdiri, yang tak mau ia lakukan. Tetapi, ketika mereka memutarnya menuju Yaman, ia pun berdiri. Kemudian Allah mengirimkan untuk melawan mereka, armada-armada burung dari lautan, setiap ekor dari mereka membawa tiga batu: satu dalam paruhnya, dan satu dalam setiap cakar kakinya. Batu-batu itu memiliki ukuran seperti miju-miju, dan jika satu batu mengenai seorang prajurit, prajurit itu akan terbunuh. Pasukan Abrahah lari tunggang langgang. Abrahah sendiri terserang suatu penyakit. Ujung-ujung jarinya terlepas, satu demi satu. Tubuhnya mengeluarkan darah dan nanah, dan akhirnya jantungnya terbelah, dan ia pun tewas.
Peristiwa inilah yang diacu oleh Allah ketika Ia berfirman pada Nabi-Nya sall-Allahu ‘alaihi wasallam, mengatakan, “Tahukah engkau bagaimana Tuhanmu memperlakukan Pasukan Gajah…” (QS Al-Fiil:1-5). Peristiwa ini adalah suatu tanda akan martabat dari junjungan kita, Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wasallam, dan suatu tanda akan kenabiannya, dan kedudukannya. Peristiwa ini juga menunjukkan kehormatan yang dikurniakan pada masyarakatnya, dan bagaimana mereka dilindungi, yang membuat kaum Arab menyerah pada mereka, dan percaya pada kemuliaan dan keunggulan mereka, kerana adanya perlindungan Allah atas diri mereka dan pembelaan-Nya pada mereka melawan plot dari Abrahah yang seakan-akan tak terkalahkan.
Tamat untuk Penciptaan Tubuh Suci Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam

 
Diberdayakan oleh Blogger.