Titik penting seorang sâlikîn yang sedang berjalan menuju Allah SWT
adalah ketika ia telah sampai pada maqâm fanâ’. Sebuah keadaan dimana
ke-diri-an (kehambaan) seseorang telah “tiada”. Dalam situasi demikian
bagi sâlikîn yang bersangkutan tidak ada lagi yang hidup kecuali Allah
SWT, dan sirnalah semua yang tampak.
Yang dimaksud dengan fanâ’ (hilang) di sini bukan fanâ’ fi al-jism
atau fanâ’ secara lahiriah. Tapi fanâ’ secara maknawiah, yaitu fanâ’
atau hilang dari wilayah akidah. Fanâ’ fillâh dengan baqâ’ billâh. Fanâ’
fillâh konsep dasarnya adalah Lâ ilâha Illâ Allâh. Semua hal hanya untuk
diri-Nya dan tidak untuk yang lainnya. Sebagai bukti konkret orang yang
telah fanâ’ adalah ia senantiasa meyakini konsep lâ hawla wa lâquwwata
illâ billâh al ‘aliyy al adzîm. Tak ada kekuatan diri, tak ada kemampuan
diri, kecuali kekuatan dan kemampuan diri Allah SWT. Pada diri
Rasulullah SAW kondisi fana tampak pada periode Mekkah. Semua ketakwaan
beliau dan berbagai mukjizat yang terjadi selama periode Mekkah
merupakan bukti kuat akan hal itu.
Seorang sâlikîn yang tengah fanâ’ tampak jelas dalam sifat
kesehariannya. Berbagai emosi dan reaksi negatif yang biasa bersemayam
dalam diri telah berubah menjadi sebaliknya. Tenang, kuat, dan sabar
ketika menghadapi gelombang kehidupan merupakan bukti kuat bahwa
seseorang telah fana. Bahkan, ketika dicaci-maki oleh banyak orang pun
ia tidak serta merta balas memaki atau membenci. Karena, baginya yang
penting Allah SWT tidak murka dan membencinya. Konsentrasinya hanya pada
Sang Khalik. Semua yang dilakukannya senantiasa berangkat dari
kesadaran kehambaan yang harus senantiasa memiliki catatan baik di sisi
Allah SWT.
Dalam keseharian, orang yang fanâ’ sepertinya tampak masa bodoh dan
asyik dengan dirinya sendiri. Berbagai hal di luar dirinya hanya
mendapat sedikit perhatian dan sedikit memberi dampak padanya. Bahkan
ketika ia tengah dalam keadaan serba berkekurangan, ia tetap bergeming.
Ia tetap bersyukur dan senantiasa mengucap alhamdulillâh.
Fanâ’ bagi seseorang yang belum berkeluarga barangkali tidak menjadi
masalah. Tapi lain halnya bila ia telah menikah atau bahkan harus
menanggung jawabi orang seisi rumah. Karena sikap kesehariannya terkesan
santai dan tidak peduli, sudah barang tentu membuat khawatir banyak
orang. Meski, sesungguhnya fana yang benar adalah fanâ’yang tetap pada
kesadaran kemanusiaannya, dan tetap sadar pada tanggung jawab sosialnya.
Seseorang yang masih termasuk dalam kategori seorang sâlikîn,
fana-nya masih kerap tidak stabil. Ia sering fanâ’ hanya untuk hal-hal
yang enak baginya, tapi tidak fanâ’ ketika menghadapi hal buruk yang
tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Karena itu, agarfanâ’ yang terjadi
pada seorang salikin adalah fanâ’ yang benar menurut agama dan fanâ’nya
stabil, dibutuhkan bimbingan seorang Mursyid. Tidak hanya fanâ’ ketika
dalam kesenangan, tapi juga mampu fanâ’ dalam kesulitan. Karena fanâ’
dalam bimbingan seorang Mursyid adalah fanâ’ yang terstruktur, yakni
dengan ilmu dan amal yang disebut jalan mutawasith pertengahan).
Sehingga yang terjadi adalah fanâ’ yang tidak membuat orang
disekelilingnya menjadi gelisah dan marah. Karena ia tetap hidup normal
dan menjalankan kewajiban sosialnya dengan baik, namun orientasinya
tetap pada hati nurani.
Zaman dahulu, proses fanâ’ dilalui lewat berbagai proses yang
terkadang sulit diterima oleh akal, seperti khalwat di gua hingga
ditidurkan selama ratusan tahun. Namun tentu saja hal itu bisa terjadi
karena situasi dan kondisi zamannya memang berbeda dengan sekarang.
Maka, proses pembelajaran dan laku olah spiritualnya pun berbeda.
Contohnya, di zaman sekarang bayak orang lebih mengutamakan syariatnya
daripada tauhidnya. Sehingga, akhirnya keislamannya pun hanya di
permukaan, tidak menyentuh keislaman yang mendalam-Islam yang
sesungguhnya.
Tantangan lain, kalau dulu orang melakukan khalwat dengan jalan
menyendiri di tempat-tempat sepi macam di gua, maka sekarang orang
dituntut untuk bisa khalwat dan ‘uzlah di tengah-tengah masyarakat
ramai. Artinya, hati kita tetap terpaut dengan Allah SWT meski fisik
jasmaniah kita sibuk dengan kegiatan kemasyarakatan, bekerja mencari
nafkah, dan kesibukan mengurus keluarga.
Harus disadari betul bahwa yang khalwat itu adalah khalwat hati bukan
jasad. Dan kesadaranpun harus terusdijaga, bahwa pengamalan ma’rifah,
pengamalan hakikat, dan pengamalan aqidah merupakan bagian dari
perjalanan kita menuju Allah SWT, dan kemampuan kita melakukan khalwat
juga merupakan anugerah-Nya. Maka, semua itu harus dikembalikan kepada
Allah SWT. Jadi, yang khalwat itu benar-benar bukan jasadnya, melainkan
hati dan pikirannya. Hati harus senantiasa menghadirkan Allah SWT,
belajar pada setiap keadaan, dan belajar pada setiap persoalan, serta
mengembalikan semua yang terjadi pada Allah SWT. Bahkan, bagi seorang
mursyid pun khalwat juga merupakan anugerah. Tidak ada seorang pun yang
bisa khalwat kalau bukan karena mendapat anugerah-Nya.
Kata Syaikh Abd al-Qâdir al-Jailanî, banyak orang yang tersesat oleh
jin dan iblis ketika berkhalwat. Hal itu bisa terjadi karena minimnya
ilmu pengetahuan dan tidak mendapat bimbingan dari seorang Mursyid.
Syaikh Abd al-Qâdir al-Jailanî demikian khusyuk dan bergeming ketika
tengah ber-khalwat meski digoda oleh iblis. Hanya Allah, Allah dan Allah
yang memenuhi ruang batin beliau. Keyakinan bahwa bukan ilmu yang ada
padanya yang memberinya kekuatan, namun Allah SWT lah yang memberinya
kekuatan dan kemampuan. Akhirnya, beliau pun selamat dan berhasil
menyelesaikan khalwat-nya dengan baik.
Di zaman yang serba sibuk sekarang ini, kita tidak perlu melakukan
khalwat munfarid atau khalwat di suatu tempat yang sepi. Kita justru
dituntut mampu melakukan khalwat hakiki (di dalam hati). Hati senantiasa
memandang kepada Allah SWT meski fisik jasmaniah sibuk menjalani hidup
keseharian.
Khalifah di Muka Bumi
Hakikatnya, manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Namun, tidak sembarang orang bisa disebut khalifah. Yang bisa benar-benar di katakan khalifah adalah mereka yang sudah “sampai” (secara iman-hati-piki-ran) kepada Allah SWT. Sedangkan mereka yang belum sampai belum pantas menyandang khalifah, karena berarti ia belum punya bekal sebagaimana Nabi Adam AS yang diberi bekal oleh Allah SWT nama-nama di bumi dan di langit. “Barang siapa yang ma’rifatullâh maka tidak ada sesuatu apa pun yang tersembunyi di langit maupun di bumi.” Artinya, ia paham dengan basyirah al-qalbi maupun ladunni. Bahkan, bila ada sesuatu yang tersembunyi sekalipun dia paham, apa yang belum terjadipun dia tahu karena ia diberitahu oleh Allah SWT. Itulah ilmu ladunni.
Hakikatnya, manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Namun, tidak sembarang orang bisa disebut khalifah. Yang bisa benar-benar di katakan khalifah adalah mereka yang sudah “sampai” (secara iman-hati-piki-ran) kepada Allah SWT. Sedangkan mereka yang belum sampai belum pantas menyandang khalifah, karena berarti ia belum punya bekal sebagaimana Nabi Adam AS yang diberi bekal oleh Allah SWT nama-nama di bumi dan di langit. “Barang siapa yang ma’rifatullâh maka tidak ada sesuatu apa pun yang tersembunyi di langit maupun di bumi.” Artinya, ia paham dengan basyirah al-qalbi maupun ladunni. Bahkan, bila ada sesuatu yang tersembunyi sekalipun dia paham, apa yang belum terjadipun dia tahu karena ia diberitahu oleh Allah SWT. Itulah ilmu ladunni.
Ada pula orang yang disebut Âlim al-Rabbânî, yaitu orang yang ‘alim
(paham-ahli) dengan Tuhannya, bukan ulama lahiriah. Seorang ulama
lahiriah biasanya hanya mampu membaca kitab, sedangkan seorang professor
biasanya hanya fasih berwacana tentang agama maupun tasawuf (ia tidak
mengamalkan secara mendalam). Berbeda dengan orang yang Âlim al-Rabbânî,
yang diberi ilmu ladunni oleh Allah SWT, yang setiap saat membutuhkan
ilmu dengan mudah ia memperolehnya, namun sembari tetap mengembalikan
semua ilmunya kepada Allah SWT. Orang semacam itu tidak pernah kehabisan
jawaban. Semakin banyak orang bertanya padanya, makin mudah ia
menjawabnya.
Orang yang Âlim al-Rabbânî juga orang yang sosoknya low profile
(rendah hati). Ia tidak akan mengumbar kata-kata kalau tidak ada yang
bertanya. Kecuali pada waktu-waktu tertentu ketika ia menjalankan
rutinitas tugasnya sebagai ulama. Seperti Rasulullah SAW yang tidak akan
mengeluarkan (ilmunya) bila tidak ditanya oleh umatnya. kecuali ketika
beliau harus menyampaikan wahyu. Makanya, semua asbâb al-nuzûl dan asbâb
al-wurûd Al-Quran dan Al-Hadis itu merupakan hasil pertanyaan dari para
sahabat. Begitu juga orang yang dekat dengan Allah SWT. Ia akan
diberikan ilham yang sifatnya setingkat dengan wahyu, dan firman Allah
akan jelas dan gamblang apabila penjelasannya didasari oleh ilham. Cara
Allah memelihara Al-Quran tidak sebatas penjilidan. Karena, penjilidan
bisa dilakukan oleh siapa saja. Tapi pemahaman Al-Quran hanya bisa
dilakukan oleh orang-orang yang bersih hatinya dan diangkat oleh Allah
SWT. Sebagaimana janji Allah SWT, “Kami yang menurunkan Al-Quran dan
kami yang memelihara.” Maka Allah SWT menurunkan orang-orang yang diisi
hatinya dengan ilham untuk mengurai Al-Quran yang sesungguhnya bukan
semena-mena dalam bentuk ta’wil.
Ilham dan Wahyu
Turunnya ilham itu sama seperti wahyu. Terkadang mudah dan nikmat, terkadang diterima dengan rasasakit di kepala, dan lain sebagainya. Wahyu dengan ilham tidak berbeda jauh. Bedanya kalau ilham itu tidak boleh ditulis karena akan mengganggu, sebagaimana Rasulullah SAW yang tidak pernah menyuruh sahabat untuk menulis hadis, meski bila para sahabat menulis pun tidak apa-apa, karena bukan merupakan sebuah larangan keras.
Turunnya ilham itu sama seperti wahyu. Terkadang mudah dan nikmat, terkadang diterima dengan rasasakit di kepala, dan lain sebagainya. Wahyu dengan ilham tidak berbeda jauh. Bedanya kalau ilham itu tidak boleh ditulis karena akan mengganggu, sebagaimana Rasulullah SAW yang tidak pernah menyuruh sahabat untuk menulis hadis, meski bila para sahabat menulis pun tidak apa-apa, karena bukan merupakan sebuah larangan keras.
Setiap salikin dianjurkan untuk menimba ilmu dari yang “hidup” , artinya ia menimba ilmu dari seorang mursyid. Sebagaimana Abu Yazid menyatakan, “Hai
kamu, mengambil ilmu dari mayit ilal mayit. Kamu ambil ilmu dari buku
(benda mati), kemudian diajarkan ke orang dan orang itu juga mati, maka
ilmunya tidak akan berkembang dan tidak ada berkahnya.” Karena
yang benar adalah mengambil ilmu dari yang “hidup” yang tidak pernah
mati. Banyak ulama yang belajar dengan, katanya. Katanya kitab ini, dan
katanya kitab itu. Dan, bagi siapa saja yang mengajarkan ilmu dan dia
merasa bisa mengajar-berarti dia hamba, dan hamba itu mati. Lain halnya
seorang Mursyid, yang tidak pernah merasa memberi sesuatu (ilmu), dan
tidak pilih kasih pada murid-muridnya. Semua sâlikîn diperlakukan sama
dan mendapat perhatian serta kasih sayang yang sama darinya.
0 komentar:
Posting Komentar