Ketahuilah oleh anda, bahwa ilmu yang kami kemukakan dalam risalah
ini adalah suatu ilmu rahasia yang halus dan dalam, jarang yang dapat
memahaminya kecuali Ulama-ulama yang dalam pengertiannya (rasikh), yaitu
mereka yang telah mendapatkan cahaya pada kata-katanya, suatu rahasia
yang diwarisinya dari Para Nabi dan Para Aulia. Selain itu, mereka Ulama
yang rasikh itu, benar-benar mengamalkan apa yang diamalkan oleh para
Nabi dan Aulia, mereka telah mendapatkan “khashais” (beberapa
keistimewaan) karena mengamalkan apa yang mereka ketahui. Allah
berfirman :
“Wa Tilkanl-Amstaalu Nadlribuhaa Linnaasi,Wamaa Ya’qiluhaa Illal’Alimuun”
Artinya : “ Begitulah beberapa contoh
dan missal yang kami kemukakan kepada manusia, namun tidak ada yang
dapat memahaminya, kecuali orang-orang yang alim”
Rasulullah bersabda :
“ Nahhnu Ma’Aasyitul Anbiyaa’I Amaranaa an Nukallimannaasa’ Alaa Qadri ‘Uquulihim “
Artinya : Kami Para Nabi-nabi, Allah perintahkana kepada kami untuk berbicara kepada manusia, menurut tingkat kecerdasan mereka.
Menyampaikan hal-hal yang halus itu, bila
tidak melihat tingkat kecerdasannya, maka akan menimbulkan fitnah
dikalangan mereka. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w :
“ Maa Hadasta Ahadus Qauman Bi Hadiistin La Yablughuhu Uquluhum Illaa Kaana Fitnatan Lahum “
Artinya : Apapun yang dibicarakan
seseorang kepada suatu kaum, dengan pembicaraan yang tingkat kecerdasan
mereka tidak mampu untuk memahaminya, hanya akan menimbulkan fitnah
terhadap mereka
Hadist Rasulullah :
“ innaa Minal ‘Ilmi Kahai’atil Maknuuni Laya’Lamuhu Illal ‘Aalimuun “
Artinya : Sesungguhnya ada ilmu itu laksana mutiara yang tersembunyi, tak ada yang mengetahui kecuali orang yang Alim Billah “
Orang yang Alim Billah itu ialah yang
mengenal Dzat Allah, Sifat-sifatNya dan AsmaNya, serta Af’alNya. Allah
menyertai ilmunya dan mereka amalkan dengan tekun apa yang mereka
ketahui tanpa cacat. Imam Ghazali r.a menjelaskan di dalam Ihya
‘Ulumuddin : “ Larangan dimaksud berhubung sulit dan sukarnya faham”
Hadist selanjutnya menegaskan :
“ Ma Fadldlolakum Abuu Bakrin Bi Kastrati Shiyamin Wa Laa Bi Kastrati Sholaatin Walaakin Bisirrin Qorra Fii Sadrihi “
Artinya : Kelebihan Abu Bakar dari
padamu, bukanlah karena banyak sholat dan banyak puasa, tetapi kelebihan
itu karena suatu rahasia yang terletak didadanya “
Catatan :
Khusus untuk ini perlu sedikit penjelasan tentang :
1. Apa yang dimaksud rahasia dan .
2. Siapa yang dimaksudkan ahlinya.
Menurut kajian dan pengamatan, bahwa rahasia
yang dimaksud menyangkut 2 segi. Pertama : Rahasia yang dapat
dikatakan, ditulis dan dijabarkan. Kedua : Ada pula Rahasia yang tidak
mungkin untuk diucapkan, ditulis dan dijabarkan. Menurut istilah, yang
dimaksud rahasia adalah sesuatu yang tersembunyi. Didalam bahasa arab
dikatakan “ SIR ” . Ilmu tersembunyi
psykologi (ilmu jiwa) atau ilmu Batin adalah sesuatu ilmu yang
membicarakan tentang apa-apa yang tersembunyi pada diri manusia. Ilmu
ini adalah tergolong pada segi pertama diatas. Begitu pula tentang Ilmu
Metafisika, ilmu yang mengungkapkan apa-apa yang ada dibalik alam nyata
ini. Itupun juga termasuk ilmu yang tersembunyi. Rahasia pada segi
kedua, ialah hakekat atau arti yang sebenar-benarnya dari sesuatu yang
tersembunyi dari segi yang pertama itu. Misalnya, siapakah yang dapat
menunjukkan secara tepa apakah itu “RASA”.
Apakah rasa itu seperti Atom, molekul, Jauhar? Dan sebagainya… dan
sebagainya.. Tak ada seorangpun yang sanggup menunjukkan dengan tepat,
meskipun jaman kini sudah demikian majunya tehknologi. Tidak ada
seorangpun yang dapat mengingkari adanya rasa? Namun tidak ada yg mampu
mengetahui dengan pasti, apakah RASA itu?. Pembicaraan dalam pembahasan
kita ini, adalah membicarakan hal-hal yang tersembunyi, yaitu
pembicaraan sepanjang yang dapat ditulis, dikatakan dan dijabarkan,
namun tetap dalam langkiran yang dikatakan isyarat dan itibar. Siapakah
yang dimaksud Ahlinya ? Banyak yang menyangka dan berpendapat bahwa
mempelajari tasawuf ketuhanan ini, haruslah sudah matang dalam hal-hal
syariat, mendalam ilmu Fiqihnya, harus tahu segala hokum secara
terperinci (tafshili). Katanya janganlah kita
berikan ilmu rahasia ini kepada yang selain itu. Akhirnya banyak
pengajian dalam hal ilmu ini secara sembunyi-sembunyi, diajarkan malah
oleh orang yang bukan ahlinya. Manusia ingin mencari kepuasan batin
dengan mencari ilmu kearah itu, akan tetapi bila diberati dengan
bermacam syarat dan ketentuan yang dirasa sulit untuk dilaksanakan,
akhirnya mereka mundur teratur atau timbul kecenderungan untuk pengisian
batin itu dengan cara-cara yang praktis, yang malah timbul hasil
sebaliknya tidak sesuai dengan ajaran yang benar. Tapi apa mau dikata,
mereka merasa mendapat pengisian batin sesuai hajat mereka. Kita jangan
heran, bahwa orang yang berada ditempat padang pasir yang sedang
kehabisan air dan tidak menemukan apa-apa untuk pelepas dahaga, disaat
demikian, air kotor yang bagaimanapun akan diminum. Sebagi yang
disabdakan oleh Rasulullah, “ Kadal Faqru ‘Yuristul Kufra ‘, artinya : hampir saja orang yang faqir itu menderita kekafiran.
Guru-guru saya dan saya sendiri tidak
sependapat, bahwa untuk mempelajari ilmu ini, harus lengkap dengan
ilmu-ilmu yang lain. Pengertian yang dikatakan “ Ahlinya “ ialah
orang-orang yang memiliki kecerdasan dan intelenjia untuk dapat memahami
permasalahannya, dan ada kegairahan untuk mendalami masalah kebatinan.
Tentu saja mereka sudah harus mengerti mana yang baik dan mana yang
buruk, meskipun pengertian mereka secara “ ijmali” (global = jumlah).
Sebagai seorang muslim, mereka tentu mengerti dan mengucapkan dua
kalimah syahadat, sholat, puasa dan sebagainya yang mereka laksanakan.
Apabila ada “ Ala Qadri ‘Uqulihim” (menurut
ukuran kecerdasannya) ternyata tidak mungkin diberikan, maka jelas
sekali akan membawa bahaya bagi si penuntut. Kecerdasan itu tentu saja
dilihat dari segi usia atau umur yang menurut ilmu jiwa bahwa kecerdasan
manusia sesuai dengan peningkatan umurnya. Dan tidak mungkin juga
diberikan kepada seseorang meskipun cukup usia, tetapi sikapnya terlihat
ciri-ciri kebodohan atau bebal. Hal ini tergantung dengan pengamatan
seorang guru terhadap murid-muridnya. Kalau sekiranya kita gunakan
pendapat yang pertama, dimana harus mendalami syariat, ilmu fiqih, dan
lain-lain secara mendalam, apakah hal tersebut dapat dilakukan?
Sedangkan waktu untuk mencurahkan perhatian terhadap hal tersebut
memerlukan waktu yang panjang, bagaimana jika habis umur?.
0 komentar:
Posting Komentar