Suatu malam, San’an bermimpi. Dia
melihat dirinya berada di kota Rum, di wilayah Kerajaan Byzantium,
sedang tunduk kepada suatu berhala. Dia terbangun dengan perasaan
tegang, takut mimpinya merupakan pertanda dari Tuhan atas peristiwa
yang akan terjadi. San’an coba mengenyahkan mimpinya, berkata pada
dirinya bahwa itu tak lebih sekadar mimpi dan tidak punya arti apa-apa.
Tetapi dia menjadi cemas ketika mimpi itu datang kembali dan terus
muncul di dalam tidurnya. Ketika dia tidak lagi dapat mengabaikan mimpi
buruk yang menghantuinya, San’an memutuskan untuk pergi ke Byzantium
agar mengetahui apa yang disimpan Tuhan untuknya.
{jcomments on}
Sewaktu San’an berkemas-kemas, banyak
muridnya yang berkeras menemaninya, sebagaimana kebiasaan kaum Sufi di
kala itu. San’an memperingatkan mereka bahwa perjalanan yang akan
mereka tempuh mungkin tidak akan menyenangkan, tetapi mereka tetap pada
pendiriannya. Maka San’an dan murid-muridnya pun berangkat, berjalan
siang dan malam, tidak peduli akan hujan, dan tak seorang pun yang
mengeluh.
Akhirnya mereka tiba di dekat sebuah
tempat peribadatan di perbatasan kota Rum. Ketika mereka mengamati
tempat itu, Syekh mendengar suara yang menyentuh jiwa, suara yang lebih
lembut dibanding tiupan angin sepoi-sepoi, lebih ringan dari bulu, dan
menyanyikan lagu cinta yang membuat hati dipenuhi hasrat. Syekh
mengikuti suara itu. Dia tiba di sebuah jendela terbuka di lantai kedua
tempat ibadah itu. Di situ tampak seorang gadis Kristen sedang duduk
menyisir rambutnya yang panjang dan berwarna keemasan sambil
menyenandungkan bait-bait kesedihan. Cahaya memantulkan rambutnya,
bibirnya yang merah dan mengkilat merekah seolaholah siap menerima
ciuman, dan lehernya yang putih seperti pualam terlihat dari celah
kerah bajunya. Menciptakan pemandangan yang begitu indah sehingga
bahkan orang sealim San’an pun terpesona. San’an terpaku melihatnya, dia
tidak dapat mengalihkan tatapannya. Hatinya berdebar kencang dan
nafasnya sesak. Dalam sedetik, lebih singkat dari sekejap mata, orang
tua itu jatuh cinta kepada gadis Kristen tersebut. Akhirnya dia terduduk
di tempat, tubuhnya menggigil, dan menangis, “Oh, Tuhanku! Aku ini
terbuat dari apa? Api apa ini; membakar jiwaku, merampasku dari
keberadaanku?”
San’an duduk di dalam api cintanya yang
meluluhkan jiwa dan pikirannya. Dalam sekejap dia telah melupakan
siapa dirinya dan dari mana dia berasal. Tidak ada lagi yang
dipedulikannya kecuali memandang kembali wajah gadis muda tadi. Namun
gadis itu telah meninggalkan jendela dan menghilang tanpa menghiraukan
ratapan dan tangisan sang Syekh.
Murid-murid San’an akhirnya menemukan
gurunya dalam keadaan menderita begitu, kebingungan tidak tahu harus
berbuat apa. Mengira Syekh mungkin baru saja melampaui sebuah tahapan,
mereka coba mengatakannya, tetapi tidak membantu, Syekh tidak mendengar
apa yang mereka katakana dan hanya berdiam menatap jendela kamar si
gadis yang sekarang kosong.
Menjelang malam, Syekh semakin
menderita karena dia menyadari bahwa dia harus menunggu hingga pagi
agar bisa melihat kembali cintanya. Agaknya gelapnya malam memberinya
racun cinta yang kuat, yang menambah kerinduannya, dan hatinya terluka
lebih dalam. Dia meratap dan merangkak di atas tanah. Dia mencakari
tanah dan meremasnya dengan tangan gemetar, membasahinya dengan
airmata."Tak pernah kualami malam yang begitu panjang," rintihnya.
“Malam-malam penuh derita pernah kualami, tetapi tidak ada yang serupa
seperti malam ini. Tidak pernah ada yang membuatku begini sedih, dan
tidak pernah aku merindu seperti malam ini. Aku merasa seperti lilin
yang kehilangan malam. Cahayaku akan dipadamkan oleh sinar mentari, dan
aku tidak akan bertahan hidup lebih lama untuk menyampaikan kisah
tentang malam yang mengerikan ini. Tidak ada lagi kesabaran yang
kupunya untuk melewati kegelapan-juga tidak ada lagi pikiran untuk
meyakinkanku tentang alasan datangnya fajar. Tubuhku remuk di bawah
beban cinta ini. Di mana lenganku, setidaknya aku bisa mengubur diri di
tanah kotor ini agar aku tidak harus menanggung perpisahan ini; atau
di mana kakiku, agar aku dapat membawa diriku kepada cintaku! Andai aku
memiliki teman yang simpatinya dapat membebaskanku! Oh, aku tidak
punya apa-apa lagi. Telah kuberikan segalanya ke dalam cinta yang
menerjang merampas mengempaskan ini.!”
Murid-murid San’an berkumpul
mengelilingi Syekhnya yang tengah menderita, mereka ikut merintih
bersamanya sepanjang malam. Bukan karena mereka mengerti, tetapi karena
mereka sedih dan bingung atas apa yang terjadi pada gurunya.
Begitulah, San’an mabuk kepayang kepada
gadis Kristen yang melayani rumah ibadah tersebut. Kegilaan menimpa
San’an sehingga dia lupa akan masa lalunya. Seakan-akan dia tahu dunia
akan berakhir, yang dipedulikannya hanyalah sepasang mata biru memikat
yang seolah mengikutinya ke mana pun dia pergi.
Pada malam kedua, San’an menjadi sangat
resah. Murid-murid nya kembali berkumpul mengelilinginya,
mengkhawatirkan keadaan San’an. Mereka berpikir bahwa mungkin mereka
dapat berbicara dengan San’an untuk mengeluarkan San’an dari obsesinya.
Masing-masing maju mendekati San’an dengan saran dan anjuran.
“Kenapa tidak engkau lupakan saja gadis itu? Lakukanlah penyucian diri untuk membersihkan jiwamu, dan kita semua bisa pulang.”
“Penyucian diriku
sudah kulakukan dengan darah dan hatiku yang terluka. Jangan bicara
tentang penyucian diri denganku, kau tidak tahu apa-apa tentang hati
yang bersimbah darah Karena cinta!”
“Jika engkau bertobat atas dosa-dosamu, Tuhan akan memaafkanmu, karena engkau telah menjadi Syekh selama bertahun-tahun.”
“Apa yang kusesali adalah ke-syekh-anku, dan tidak ada lagi yang lain selain itu.”
“Engkau penuntun
kami menuju Cahaya, orang yang mengetahui jalan menuju Tuhan. Jika
engkau berdoa kepada-Nya, Dia pasti akan mendengarmu dan memaafkanmu.”
“Aku berdoa untuk jelita yang memabukkan itu. Semua-mua doaku telah terikat terpikat kepadanya.”
“Apa engkau tidak menyesali cinta beginian, yang telah sepenuhnya membutakanmu?”
“Aku sungguh-sungguh menyesal, namun hanya menyesali satu hal-bahwa mengapa aku tidak jatuh cinta dari dulunya.”
“Tidakkah engkau
peduli akan apa yang dipikirkan orang lain? Apa yang akan dikatakan
orang bila mereka mendengar Syekh mereka yang alim telah tersesat?”
“Apa yang dikatakan
orang lain tentang aku tidak lagi menjadi masalah untukku. Kenapa aku
harus mempedulikan anggapan mereka terhadapku? Aku terbebas dari hal
itu, sekarang.”
“Tidakkah engkau
peduli pada sahabat-sahabatmu-terhadap kami dan murid-muridmu yang
lain? Tidakkah engkau menyadari, hati kami terluka melihat engkau
begini?”
“Yang kupedulikan hanyalah melihat kekasihku bahagia. Bagiku, yang lain sudah tiada.”
“Ayolah, mari kita kembali ke Makkah dan Ka’bahnya. Kita lupakan perjalanan ini serta apa yang terjadi di sini.”
“Makkahku
satu-satunya adalah tempat ini, dan Ka’bahnya adalah jelita di tepi
jendela itu. Di sinilah tempat orang mabuk cinta dan bukan di sana.”
“Setidaknya,
sadarlah akan firdaus. Engkau sudah tua dan tidak punya banyak waktu
tersisa. Jika engkau berharap bisa masuk Surga, tinggalkan kesia-sian
ini.”
“Surga apa yang lebih indah dibandingkan paras malaikat kekasihku? Untuk apa Firdaus jikalau aku memiliki yang satu ini?”
“Tidakkah engkau
malu di hadapan Yang Mahakuasa? Selama bertahun-tahun Dia telah menjadi
penghidupanmu satu-satunya. Bagaimana engkau bisa mengkhianati-Nya
sekarang?”
“Bagaimana aku dapat melarikan diri dari jebakan yang Tuhan sendiri ciptakan untukku?”
“Oh, syekh yang
luhur, ini permintaan kami yang terakhir. Demi Allah, kembalilah kepada
keyakinanmu dan jangan abaikan kami, murid-muridmu ini.”
“Jangan memintaku
begitu. Aku tenggelam di dalam hujjah, dan untuk orang yang telah
menyingkirkan keyakinan dan memilih fitnah, tidak ada jalan untuk
kembali.”
Ketika mereka gagal member saran,
mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah tempat yang tidak jauh
dari situ, untuk berjaga-jaga siapa tahu San’an berubah pikiran.
Satu-satunya cara agar mereka dapat menahan kepedihan karena kehilangan
guru mereka, adalah dengan berharap bahwa semuanya akan segera seperti
sedia kala.
Siang berganti malam, masih belum ada
perubahan. San’an berdiam diri di seberang peribadatan itu, di mana
segerombola anjing liar biasanya berkumpul. Tempat itu berada di
pinggir jalan yang biasa di lalui si jelita bila hendak ke kota.
Berharap gadis itu akan memperhatikannya, San’an duduk dengan sabar,
menatap gadis itu dengan penuh kerinduan setiap kali gadis itu lewat.
Namun sang gadis tidak pernah melihatnya, terus berjalan menuju kota,
seakan tidak pernah menyadari keberadaan San’an sama sekali.
Karena tidak mengetahui nama kekasihnya, Syekh memberinya nama Sinar Mentari (‘Ayn Syams).
Dia membuat puisi dengan nama itu, kemudian menyanyikannya dengan nada
sumbang sedih. Dia telah termangsa oleh cintanya sehingga tidak
menghiraukan makan dan minum. Jika ada orang melemparkan sisa-sisa
makanan untuk anjing liar, dia akan ikut ambil bagian; bila tidak, dia
kelaparan bahkan tanpa menyadarinya.
Pada akhirnya, gadis itu melihat
seorang lelaki tua aneh yang sedang duduk di atas debu. Karena ingin
tahu, si gadis bertanya, “Kenapa engkau tinggal di sini bersama anjing?
Apa engkau tidak memiliki rumah atau saudara?”
Saking girangnya disapa si Sinar
Mentari, Syekh menjawab, “Aku tidak kenal rumah atau saudara. Apa yang
kukenal adalah bahwa aku telah jatuh cinta padamu, dan akan tinggal di
sini hingga engkau melihatku pantas untuk cintamu.”
Sinar Mentari tertawa mendengarnya dan
mencemoohnya dengan jijik. “Apa kau tidak malu pada dirimu sendiri? Kau
pantas untuk jadi kakekku. Orang seusiamu hanya pantas masuk kubur.
Gadis semuda dan secantik diriku layak mendapatkan pemuda yang tampan.”
“Cinta tidak mengenal usia. Tidak
peduli muda atau tua, cinta berpengaruh sama. Aku adalah abdimu, dan
akan melakukan apa pun yang engkau katakan, jelitaku.”
Sang guru membicarakan cinta dan
deritanya dengan begitu penuh perasaan sehingga perlahan-lahan sang
gadis mempercayai ketulusannya. Sesungguhnya, gadis itu sadar, San’an
akan melakukan apa pun keinginannya. Maka gadis itu berkata, “Jika apa
yang kau katakana benar, maka engkau harus meninggalkan keyakinanmu dan
berpindah ke dalam agama kami. Engkau harus membakar Kitab Suci dan
meninggalkan seluruh kewajibanmu dari agamu. Engkau harus meminum
anggur dan menanggalkan jubah ke=Syekh-anmu.”
San’an menjawab tuntunan yang
mengejutkan tersebut dengan tenang. “Cinta menciptakan banyak tantangan
bagi seorang pencinta. Ujiannya kejam dan bersimbah darah, tetapi
hasilnya manis dan menyenangkan. Pencinta sejati tidak kenal agama,
karena cinta itu sendiri merupakan keyakinannya. Dia tidak mengenal
status, karena tidak ada tempat yang lebih tinggi dibandingkan menjadi
bagian dari cinta.”
Ketika para pendeta dan anggota gereja
Byzantium mendengar seorang guru Sufi telah setuju meninggalkan
agamanya, mereka segera berpesta. Mereka menyelenggarakan acara di mana
Syekh melemparkan Alquran ke dalam api, di mana Syekh menanggalkan
jubahnya dan mengenakan sabuk gereja. Lalu Syekh meminum anggur dan
membungkuk tunduk kepada si jelita pujaan hatinya. San’an bersukacita
dengan yang lainnya, sambil bernyanyi, “Aku menjadi bukan apa-apa untuk
cinta. Aku telah menjadi aib di dalam cinta. Tak seorang pun melihat
apa yang dapat kulihat dengan mata cinta.”
Sementara umat Kristen bergembira,
murid-murid Syekh meratap. Hati mereka retak dan hancur, karena guru
mereka tidak melihat mereka menderita ataupun mendengar rintihan
mereka.
San’an telah tunduk sepenuhnya pada
perintah kekasihnya-tanpa peduli bahwa itu melanggar semua yang dulu
dipertahankannya. Dan itu pun masih belum cukup; dia masih ingin
membuktikan cintanya dengan memenuhi keinginan gadis dalam setiap
tindakannya. Maka San’an pun bertanya, “Apa lagi yang dapat kulakukan
untukmu?”
Gadis itu mendongak dan tertawa,
“Engkau harus menyediakan uang untukku. Aku ingin perhiasan, emas dan
koin perak. Jika engkau tidak memilikinya jangan buang waktumu, orang
tua, pergilah dari pandanganku.”
Syekh menjawab bahwa dia tidak memiliki
tujuan lain kecuali tempat ibadah tersebut, karena keberadaannya telah
tersesat di dalam diri si gadis. Bahwa dia tidak memiliki apa-apa
kecuali hatinya, dan itu pun sudah dia berikan kepada sang gadis. Bahwa
dia tidak dapat hidup tanpa sang gadis-dia tidak tahan jauh dengannya.
Dia akan melakukan apa saja yang diinginkan gadis, asal bisa
bersamanya.
“Syarat pernikahanku,” kata gadis itu
penuh pertimbangan, “adalah sengkau harus mengurus babiku selama satu
tahun. Bila dalam jangka waktu itu engkau memenuhi keinginanku dengan
memuaskan, aku akan jadi isterimu.”
Dengan senang hati San’an tinggal di
kandang babi, dan dengan penuh perhatian dan kasih sayang dia merawat
hewan-hewan yang tidak disukai kaum Muslim itu. Melihat gurunya tinggal
di kandang babi, adalah hal yang terlalu memalukan bagi murid-murid
San’an. Mereka mendatangi Syekh dan memohon, “Apa yang harus kami
lakukan sekarang? Apakah engkau menginginkan kami pindah agama juga?
Kami akan tinggal denganmu jika engkau mau.”
San’an berkata bahwa dia tidak
menginginkan apa-apa dari mereka, dan mereka sebaiknya menempuh jalan
mereka sendiri. Jika ada yang bertanya tentang mereka, dia akan
mengatakan yang sebenarnya. Sekarang mereka harus pergi dan
membiarkannya memelihara babi, karena dia tidak punya waktu untuk
mereka.
Sambil menangis murid-murid Syekh
kembali ke Makkah. Di sana mereka segera memisahkan diri karena takut
harus menjelaskan kepada murid-murid lain mengenai apa yang telah
terjadi di Rum. Namun ada satu orang yang tidak dapat mereka hindari.
Orang itu adalah sahabat mereka, yang sedang mengembara ketika Syekh
beserta mereka pergi ke Rum. Ketika dia pulang dan tidak menemukan
gurunya, dia menanyakannya kepada mereka. Mereka terpaksa menceritakan
semuanya.
Ketika mereka selesai, orang itu
menjerit, dan berteriak dengan marah, “Murid macam apa kalian ini? Jika
kalian mencintai sang guru, kalian harus membuktikannya. Kalian
seharusnya malu pada diri kalian sendiri! Jika guru kalian membuang
jubah Sufinya dan mengenakan sabuk pendeta, kalian seharusnya melakukan
hal yang sama. Jika beliau tinggal di kandang babi, kalian seharusnya
ikut bersamanya. Itulah tuntutan cinta-tidak peduli dibilang memalukan
atau tidak waras. Beraninya kalian menghakimi Syekh kita berbuat salah!
Apa yang memberi kalian kekuasaan untuk menasihatinya agar
meninggalkan cintanya?”
Karena malu oleh temannya, murid-murid
itu merendahkan kepala dengan penuh kesedihan. Dengan penyesalan
mendalam, mereka memasuki tempat pengasingan diri di rumah murid yang
setia tadi, mereka tidak makan maupun minum.
Pada hari ke-40, murid yang setia, yang
telah menangis siang dan malam dalam dukacita untuk gurunya,
mendapatkan sebuah penglihatan. Telah muncul awan debu dari tempat
ibadah yang melayang-layang antara Syekh dan Tuhan. Tiba-tiba, awan
debu itu menghilang, lalu Syekh diselimuti oleh cahaya. Kemudian
terdengar suara kekal berkata, “Orang harus dibakar api Cinta agar
layak menemui Kekasih Abadi. Nama dan jabatan tidak memiliki nilai di
dalam Kesaksian Cinta. Sebelum dia dapat melihat Kebenaran, debu
eksistensi harus dibersihkan dari cermin jiwa. Hanya setelahnya dia
dapat melihat refleksi Kebenaran Kekasih di dalam cermin.”
Sang murid berlari menemui teman-temannya, dan menceritakan penglihatannya. Tanpa membuang waktu mereka segera kembali ke Rum.
Di luar kota, mereka menemukan Syekh
yang sedang bersujud di tanah, menyembah Tuhan. Dia telah melampaui
mesjid dan gereja, terbebas dari Islam maupun Kristen, terlepas dari
perlekatannya pada status atau kealiman, dia telah bebas dari diri,
bersatu dengan Kekasih Sejati. Syekh tampak diam, meski matanya
bersinar, sarat dengan rahasia kebahagiaan yang hanya diketahui oleh
Sang Kekasih dan pencinta. Murid-murid berkumpul mengelilingi gurunya.
Syekh bergabung dengan mereka kembali. Bersama-sama mereka kembali ke
Makkah.
Sementara itu, gadis yang di beri nama
Sinar Mentari oleh San’an memperoleh mimpi yang luar biasa. Di dalam
mimpinya Tuhan menampakkan diri sebagai matahari. Gadis terjerembab di
atas tanah dan menangis, “Oh, Tuhanku, betapa dungu aku yang belum
mengenalmu. Tunjukkan jalan menuju-Mu, karena sekarang aku mengenalmu.
Tunjukkan jalan menuju-Mu, karena sekarang aku telah melihat
Kecantikan-Mu, aku tidak lagi dapat hidup tanpa-Mu. Aku juga tidak
dapat berhenti sedetik pun hingga aku menyatu dengan-MU."
Gadis itu tidak sadarkan diri, kemudian
menangis selama berjam-jam. Akhirnya sebuah panggilan datang dari
Surga: “Pergilah kepada Syekh. Dialah yang akan menunjukkanmu jalan.”
Dia bergegas keluar tanpa sempat
mengenakan alas kaki. Ketika dia menemukan San’an telah berangkat ke
Makkah, gadis itu berlari keluar kota, menuju gurun mencari kafilah
sang guru. Tetapi sudah terlambat, kafilah itu telah pergi berjam-jam
sebelumnya. Gadis tanpa alas kaki itu terus berlari siang dan malam,
tanpa air maupun makanan. Sepanjang jalan airmatanya jatuh menderas
membasahi pasir yang kerontang. Dia menjerit sedih den pedih, memanggil
sang guru dengan penuh cintah dan sayang.
Tangisnya sampai juga kepada hati
Syekh. Dalam hatinya Syekh paham bahwa sang gadis telah meninggalkan
semua yang dimilikinya untuk mencari Kekasihnya. San’an memberitahukan
murid-muridnya berita tersebut, dan mengirim mereka untuk mencarinya.
Mereka menemukan gadis itu dalam keadaan yang menyedihkan, terbaring di
atas pasir karena kehausan dan kelelahan, sambil memanggil-manggil
Syekh.
Di hadapan Syekh gadis itu menyembah
kaki Syekh, dan memohon: “Guru besar, aku terbakar oleh cinta. Aku
rindu ingin melihat Kekasihku, meski mataku tidak melihat apa-apa
kecuali kegelapan. Bantu aku untuk melihat-Nya, karena aku tidak bisa
bertahan tanpa Tuhanku.” Syekh menggenggam tangan si gadis dengan
lembut, dan menatap ke dalam matanya seolah melihat langsung ke dalam
jiwanya, menuntun jiwanya menuju Tuhan melalui jiwa Syekh. Sang gadis
terisak, “Oh, Cinta, aku tidak tahan untuk berpisah lagi. Selamat
tinggal guru besar dari segala usia!” Dengan berucap begitu Sinar
Mentari menyerahkan jiwanya kepada Kekasihnya dan kemudian meninggal
dunia.
San’an berdiri, tidak bergerak untuk
beberapa jenak. Murid-muridnya khawatir gurunya akan gila lagi. Namun
akhirnya San’an mengangkat kepala dan menerawang jauh kearah gurun
sambil berkata: “Beruntunglah mereka yang telah menyelesaikan
perjalanannya dan menyatu dengan Tuhan-lah mereka hidup.”
San’an menghela nafas dan menambahkan,
“Dan malanglah bagi mereka yang ditakdirkan untuk menuntun yang lainnya
menuju Tujuan-karena mereka harus mengabaikan penyatuan dan terikat
demi kesenangan dan kehendak-Nya!”