Cari Blog Ini

MARTABAT TUJUH

Inilah risalah singkat menjelaskan tentang martabat 7 (tujuh). Karena Martabat 7 (tujuh) itulah tahkiqnya paham Ma’rifat atau sempurna bagi Aulia Allah yang semuanya mempunyai karamah besar dalam sejarah Ahlul Sunnah Waljama’ah.
Adapun yang mula mula menyusun martabat 7 (tujuh) itu ialah SYEIKH AHMAD QUSASI BIN MUHAMMAD AL MADANI WALI KUTUB RABBANI RIJALUL GHAIB yang mahsyur itu. Kemudian diteruskan lagi oleh murid muridnya yang bernama SYEIKH ABDURRAUB, SYEIKH MUHAMMAD SEMAN dan lain lainnya yang semuanya berderajat Wali Kutubburrabani.
Adapun marabat 7 (tuju) itu adalah berdasakan hokum AKLI dan NAKLI, untuk memahami Rahasia kebesaran Nabi kita Muhammad SAW yang sebenar benarnya karena himpunan segala rahasia Allah itu adalah terhimpun pada Wujud diri Nabi kita yang bernama denan Muhammad itu dan kezahiran Nabi kita itu menurut kezahiran manusia biasa denan beribu berbapak dan sebagainya.
Adapun arti martabat itu ialah tingkatan kezahiran rahasia Allah Ta’ala dan bersusun.
Martabat AHDIAH
Martabat WAHDAH
Martabat WAHIDIYAH
Martabat ALAM ARWAH
Martabat ALAM MISAL
Martabat ALAM AJSAM
Martabat ALAM INSAN.
PENJELASAN SATU PERSATU.

1. MARTABAT AHDIAH
Martabat Ahdiah bermakna Keesaan dan hukumnya LAA TA’AIN. Artinya tiada ada sesuatu wujud yang terdahulu adanya, oleh karena itu hanya dinamakan “AL HAQ” artinya Keesaan Kesempurnaan Semata mata.
Seperti Hadis Nabi SAW “ WAKA HALLAHUWALA SYAIUM MA’AHU”
Artinya Adalah Allah itu Maha Esa dan tiada ada lainnya sertanya.
Maka martabat Ahdiah itu bukanlah bermakna bahwa ada sesuatu wujud yang terdahulu adanya dari pada Nur Muhammad atau wujud yang maujud adanya Nur Muhammad, tetapi adalah untuk menolak adanya Iktikad yang menetapkan bahwa ada lagi suatu wujud yang mengujudkan Nur Muhammad. Jadi jelasnya martabat 7 yakni Martabat Ahdiah itu adalah bermakna pengakuan kepada Ke ESAan, Kebesaran dan Kesempurnaan Nur Muhammad itu semata-mata. Oleh karena itu Martabat yang sebenar benarnya adalah 6 (enam) saja. Dan bukan 7 (tujuh), sejalan dengan ayat “FII SIT TATIAIYA MIN SUMMASTAWA’ALAL ‘ARSII” artinya Kesempurnaan kejadian semesta alam adalah didalam 6 (enam) masa.
Kemudian sempurnalah kebesaran Allah pada kejadian ARASY yang Maha …..itu, menurut hadis sahih “bahwa pada masa yang terakhir yakni yang kejadian sempurnalah kejadian Nabi Adam, dengan ditempatkan diatas muka bumi.
Adapun hakikat ARASY yang sebenarnya menurut paham Ma’rifat yang tahkik adalah terkandung pada isyarat isyarat huruf Nabi Adam itu sendiri, ialah Alif dan Dal itu mengisyaratkan kepada “AHMAD” dan “MIM” itu mengisyaratkan pada “MUHAMMAD”.
Oleh karena itu pada hakikatnya kezahiran Nabi Adam itu adalah menjadi Wasilah Ja’ani menjadi jalan bagi kezahiran kebesaran Nabi kita yang bernama Muhammad itu sendiri.
Didalam tafsir yang ma’I’tisar kebesaran Nabi kita yang bernama Muhammad itu telah berwujud suatu sinar yang sangat menakjubkan pada nabi dan rasul rasul yang terdahulu dan bahkan kebesaran itulah yang telah menjadi MU’JIZAD bagi Nabi nabi terdahulu, maka kebesaran itulah diisyaratkan dengan “ANNUR” didalam AL QUR’AN, dan ANNUR itu bukanlah berma’na cahaya, tetapi berma’na Keluasan, Kesempurnaan yang tiada terbatas dan tiada terhingga,

2. MARTABAT WAHDAH.
Adapun Martabat Wahdah berma’na wujud yang awal yang tiada ada permulaannya dan hukumnya “TA’INUL AWWALU” artinya wujud yang terdahulu adanya dari pada segala wujud yang lainnya, lagi tiada ada permulaannya. Itulah yang dinamakan HAIYUN AWWALU”, HAIYUN AZALI, HAIYUN IZZATI, HAIYUN HAKIKI, yakni bersifat HAIYUN yang sebenar benarnya QADIM yang NAFSIAH, SALBIAH, MA’ANI dan MANAWIAH, ZALAL, ZAMAL, QAHAR, KAMAL, itulah hakikat kebesaran Nabi kita itu yang bernama Muhammad Rasulullah Sallahu’alaihi Wasallam.
Maka Kandungan nama Muhammad itulah yang dinakaman dengan Wahdah. Yang menjadi jumlah dan himpunan “AF’AL, ASMA, SIFAT, adapun Zad hanyalah bagi MA’LUM YA’NI SENDIRINYA.
ILLAH tidak lain, dan dinamakan HAWIYYATUL’ALAMI” artinya Sumber segala kejadian semesta ala mini, dan dinamakan HADRATUS SARIZ artinya kebesaran yang dipandang pada tiap tiap yang maujud pada ala mini, itulah yang diisyaratkan dalam Al Qur’an “NURUN’ALA NURIN” artinya Nur yang sangat dibesarkan pada semesta alamini, yakni Nur yang hidup dan maujud pada tiap yang hidup sekalian ala mini atau Nur yang hidup dan menghidupkan.
Kebesaran hakikat Muhammad itulah yang sebenarnya dipuji dengan kalimah ALHAMDU karena kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD itulah yang diisyaratkan oleh kalimah ALHAMDU itu, yakni ALIF berma’na ALHAQ artinya KEESAAN, KEBESARAN NUR MUHAMMAD tajallinya ROH bagi kita. “LAM LATIFUM” artinya Kesempurnaan Nur Muhammad” tajallinya NAFAS bagi kita, “HA” HAMIDUN artinya Kesempurnaan Berkat Nur Muhammad tajallinya : HATI, AKAL, NAFSU PENGLIHAT, PENDENGAR, PENCIUM, PENGRASA, dan sebagainya bagi kita.
“MIM “ MAJIDUN” artinya Kesempurnaan Safa’at Nur Muhammad tajallinya bagi kita : IMAN, ISLAM, ILMU, HIKMAH, dan sebagainya.
“DAL” DARUSSALAMI” artinya Kesempurnaan Nikmat Nur Muhammad, tajallinya bagi kita : KULIT, BULU, DAGING, URAT, TULANG, OTAK, SUMSUM.
Maka itu adalah tajallinya bagi diri yang bathin, adapun tajalli bagi diri yang zahir adalah “ALIF” bagi kita,
“LAM” dua tangan bagi kita,
“HA” badan bagi kita, “MIM” Pinggang bagi kita dan
“DAL” dua kaki bagi kita.
Itulah yang diesakan dengan “ASYAHADU” yakni :
“ALIF” ALHAQ artinya Yang diEsaka dan yang dibesarkan.
“SYIN SYUHUDUL HAQ “ artinya Yang diakui bersifat Ketuhanan dengan sebenar benarnya.
“”HA” HADIYAN MUHDIYAN ILAL HAQ “ artinya Yang menjadi Petunjuk selain menunjuki kepada jalan/Agama yang Hak.
“DAL” DAIYAN ILAL HAQ artinya Selalu menyerukan atau yang selalu memberi Peringatan kepada Agama yang Hak.
“ALHAMDU” berma’na “ALHAYATU MUHAMMADU” artinya Kesempurnaan Tajalli Nur Muhammad.
Pahamnya ialah “ADAM” adalah nama adapt atau nama syari’at atau nama hakikat, atau nama kebesaran bagi kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD. Dan MUHAMMAD adalah nama keesaan yang menghimpunkan akan nama Adam, dan nama Allah.
Pada bahasa atau ilmu bahasa Arab “ADAM” itu damirnya “HU” dan MUHAMMAD itu damirnya “HU” dan ALLAH itu damirnya “HU”.
Pada ma’na Syari’at “HU” itu berma’na Dia Seorang Laki-laki, dan pada
Ma’na Hakikat adalah jumlah yang banyak rupa wujudnya, tetapi pada ma’na Hakikat “HU” itu adalah “Esa” tiada berbilang bilang. Itulah isyarat Al Qur’an “HUWAL HAYYUN QAOYYUM” yang HAIYUN awal tiada ada permulaannya “WAHUWAL’ALI YIL’AZIM” yang bersifat denga sifat sifat kesempurnaan lagi maha besar.
“HUAR RAHMANURRAHIM” yang bersifat rahman dan rahim.
“HUWARABBUL ‘ABSIL KARIM” yang memiliki Arasy yang Maha Mulia, Arasy itu ada nama kemuliaan Diri Nabi Kita itu yang sebenar benarnya, tetapi juga menjadi nama Majazi bagi sesuatu tempat, atau suatu alam Ghaib yang dimuliakan adanya, sama halnya seperti JIBRIL, MIKAIL, IZRAFIL, ISMA’IL, NUHAIL, SURAIL.
Menurut tafsir yang me’I’tibar semuanya dengan bahasa Suryani atau bahasa Arab di zaman Pura, yang bernama ABDULLAH maka yang … ABDULLAH itu adalah Nabi kita yang bernama MUHAMMAD itu sendiri.
Maka oleh karena itu didalam ayat “ISRA’” Nabi kita itu bernama ABDULLAH menunjukkan nama MUHAMMAD itu adalah juga Penghulu sekalian malaikat dan kebesaran nama MUHAMMAD itulah yang sebenar benarnya yang diisyaratkan oleh Al Quran dengan huruf huruf yang tidak dapat ditentukan atau dihinggakan namanya, karena bersangatan luas kandungannya mulai dari ALIF, LAM sampai NUR ada 29 tempat. Jadi semuanya nama-nama yang mulia, dilangit dan dibumi itu adalah nama kemuliaan dan kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD itu semata-mata, dan menjadi nama Majazi pada tiap tiap Wujud yang dimuliakan pada ala mini.
Itulah isyarat Al Qur’an “WAHUAL LAZI PISSAMA ILLAHUW WAFIL ANDHI ILLAHUN” dan dialah yang sebenar benarnya memiliki sifat sifat Ketuhanan yakni sifat kesempurnaan yang ada dilangit dan sifat sifat kesempurnaan yang ada di bumi, dan ayat “LAHUL ASMA’UL HUSNA” artinya hanyalah dia yang sebenar benarnya memiliki nama nama yang mulia dan yang terpuji yang telah maujud pada semesta alam ini.
Tetapi karena adab Syari’at dihukumkan yang haram haram yang najis najis seperti Anjing dan Babi dan sebagainya yang tidak layak kecuali bagi MALUM pada majelis mengajar dan belajar, yang boleh membicarakan masalah tersebut diatas. Yang ke 3 (tiga) berkata ASYSYEH BURHANUDDIN ARRUMI pernah berkata yang maksudnya “bahwa hakikat kebesaran Nur Muhammad itu menghimpunkan 4 (empat) macam alam, dan hakikat alam itu hanya 4 (empat) macam saja himpunannya ialah :
Alam HASUT ialah alam yang terhampar langit dan bumi dan segala isinya dan bagi kita HASUT itu ialah seluruh jasad, Kulit, Daging, Otak, Sumsum, Urat, Tulang.
Alam MALAKUT ialah alam ghaib bagi malaikat malaikat, dan bagi kita malaku itu ialah Hati, Akal, Nafsu, Nafas, Penglihat, Pendengar, Pencium, Pengrasa dan sebagainya.
Alam JABARUT ialah alam ghaib bagi Arasy, Kursi, Lum Mahpus, Syurga, Neraga dan sebagainya dan bagi kita Alam Jabarut itu ialah Roh, Ilmu, Hikmah, Fadilat, Hasanah dan sebagainya, dari pada segala sifat yang mulia dan terpuji.
Alam LAHUT ialah alam ghaibbagi kebesaran Nur Muhammad dan bagi kita alam Lahut itu ialah Bathin tempat Rahasia, Iman, Islam, Tauhid dan Ma’rifat, maka ke 4 (empat) macam alam itu adalah semuanya wujud kesempurnaan tajalli Nur Muhammad, dan 4 (empat) macam alam itu lagi terhimpun kepada kebenaran wujud diri Rasulullah yang bernama INSANUL KAMIL. Dan menjadi berkah dan FAIDURRABBANI yakni kelebihan yang harus bagi tiap tiap Mu’min yang ahli Tahkik, karena mereka itu adalah “WADA SYATUL AMBIYA” yakni mewarisi kebenaran bathin nabi nabi dan rasul rasul dan mu’min yang tahkik itulah yang dinamakan Aulia Allah, tetapi mu’min itu tiada mengetahui bahwa dirinya adalah Aulia yang sebenarnya.
Pendapat AL HALAD dan IBNU ARABI bahwa kedua walikutub itu pernah berkata yang maksudnya bahwa Muhammad itu ada dua rupa, yakni ada dua rupa dia atau ada dua Ma’na :
Muhammad yang berma’na QADIM AZALI, itulah diri Muhammad yang pertama, yang tidak ada AL MAUTU/mati padanya selama lamanya, jelasnya bahwa Muhammad diri yang pertama kita itu. Tulah yang awal NAFAS yang akhir SALBIAH, yang zahir MA’ANI dan yang bathin MA’NAWIYAH.
Muhammad yang berma’na Abdullah Insanul Kamil itulah diri Muhammad yang kedua, nama yang harus baginya, bersifat manusia biasa yang berlaku padanya “SUNNATU INSANIAH, KULLU NAFSIN ZA IKATUL MAUT”
Dalam pada waktu itu wajib kita meng’itikadkan bahwa jasad nabi kita itu adalah QADIM IDHOFI, yaitu tidak rusak selama lamanya dikandung bumi. Seperti hadis sahih AL BUKHARI/ riwayat BUKHARI : “ INNALLAHA AZZA WAJALLA HARRAMA’ALAL ARDHI AIYA KULLA AZSADAL AMBIYA” artinya Bahwasanya Allah Ta’ala yang maha tinggi telah mengharamkan akan bumi, bahwa bumi itu bisa menghancurkan akan jasad para nabi nabi. Maka tahkiknya paham kedua walikutub itu, supaya kita jangan terlihat dengan paham Nasrani, dengan Yahudi dan sebagainya. Maka kita tetapkan dahulu paham kita ialah :
Bahwa pada hukum adab, Nabi kita Muhammad yang Muhammad itu adalah manusia biasa seperti kita, hanyalah dilebihkan ia dengan kerasulan.
Bahwa tiap tiap manusia itu sendirinya baik pada hukum akal dan pada hukum nakli, ada mempunyai dua macam diri yakni diri pertama atau diri hakiki ialah Rohani, dan diri yang kedua yaitu diri Majazi ialah Jasmani, dan diri yang kedua atau diri jasmani itu karena kemuliaan bagi Rasulullah dinamakan INSANUL KAMIL.
Bahwa diri Hakiki yang berma’na Rohani itulah yang bernama Muhammad. Itulah yang Qadim Azali, Qadim Izzati, Qadim Hakiki, itulah ma’na yang dirahasiakan yang menjadi keesaan segala sifat kesempurnaan yang 99 (sembilan puluh sembilan) itu. Jalannya kebesaran wujud Roh Nabi kita itulah yang diisyaratkan oleh kalimah “HUALLAH” jadi ma’na Muhammad itu Tahkiknya adalah “AINUL HAYATI” yakni wujud sifat yang hidup dan yang menghidupkan. Maka itulah yang diisyaratkan dengan kalimah “LA ILAHA ILLALLAH” dan yang dibenarkan dengan kalimah “ALLAHU AKBAR” dan yang dipuji dengan “SUBBHANALLAH WALHAMDULILLAH dan sebagainya lagi. Itulah yang dipuji dengan “ALHAQ QULHAQ” oleh seluruh malaikat malaikat MUKARRABIN menurut tafsir yang me’itibar.
Bahwa diri Majazi yang berma’na Jasmani, itulah yang bernama Insanul Kamil. Itulah Muhammad majazi, yakni Muhammad yang kedua yang menempuh ALMAUTU pada adab, tetapi jasad Nabi itu adalah Qadim Idhofi. Jasad Nabi kita itulah diisyaratkan oleh ayat AL QUR’AN “PADABA RAKALLHU AHNAUL KHORIKIM: artinya Maha Sempurnalah Sifat Allah pada Kezahiran Wujud yang sebaik baik rupa kejadian itu”. Dan diisyaratkan Hadis Qudsi “ ZAHIRU RABBI WAL BATHINU ABDI” artinya Kezahiran sifat kesempurnaan Allah itu adalah maujud pada hakikat kesempurnaan seorang hamba yang bernama Muhammad Rasulullah itu. Yakni maujud dengan rupa Insanul Kamil, maka rupa wujud Insanul Kamil itulah yang diisyaratkan oleh AL QUR’AN dengan “AMPUSAKUM” artinya Wujud Diri Kamu Sendiri, yakni “WAFI AMPUSIKUM APALA TUBSIRUN” artinya Dan yang diri kami berupa wujud insane itu apakah tidak kamu pikirkan. Yakni yang menjadi diri hakiki atau diri pertama pada insan itu.
Pada hakikatnya adalah kebenaran dan kesempurnaan Roh Nabi kita yang bernama Muhammad itu semata mata, dan diri kedua itupun tidak lain karena itulah dinamakan insane yakni yang kedua, atau rupa Muhammad yang nyata, yang nasut, maka kebenaran Roh Nabi kita yang bernama Muhammad itulah yang diisyaratkan oleh Al Qur’an “ALLAHU NURUSSMA WATIWAL ARDHI” artinya Kebenaran Nur Allah itu ialah Maujud di langit dan dibumi. Dan ayat seterusnya “NURUN ‘ALA NURIN” artinya Nur yang hidup dan yang menghidupkan atas tiap tiap wujud yang hidup pada alam ini, itulah isyarat perkataan 4 (empat sahabat besar itu ialah yang berbunyi demikian :
Berkata Saidina Abu Bakar Siddik r.a.
ﻮﻤﺎﺮﺍﻳﺖ ﺷﻳﺎﺀﺍﻶ ﻮﺮﺍﻳﺖﺍﷲ
Artinya : Tidak aku lihat pada wujud sesuatu dan hanyalah aku lihat kebenaran Allah semata mata dahulunya.
Kata Umar Ibnu Khattab r.a :
“MAA RAAITU SYAIAN ILLA WARAAITULLAHU MA’AHU”
artinya Tidak aku lihat pada wujud sesuatu dan hanyalah aku lihat kebenaran Allah Ta’ala semata-mata kemudiannya.
Kata Usman Ibnu Affan r.a :
ﻮﻤﺎﺮﺍﻴﺕ ﺘﺒﻳﺎ ﺍﻶ ﻮﺮﺍﻴﺕ ﺍﷲ ﻤﻌﻪ
Artinya : Tidak aku lihat pada wujud sesuatuhanyalah aku lihat kebesaran Allah Ta’ala semata-mata besertanya.
Kata Ali Ibnu Abi Talib r.a :
ﻮﻤﺎﺮﺍﻴﺕ ﺷﻴﺎﺀﺍﻶ ﻮﺮﺍﻴﺕ ﺍﷲ ﻓﻴﻪ
Artinya : Tidak Aku lihat pada wujud sesuatu hanyalah aku lihat kebesaran Allah Ta’ala semata-mata maujud padanya.
Itulah isyarat ayat Al Qur’an “WAKULIL HAMDULILLAH SAYURIIKUM AAYAA TIHI FA’A HIRU NAHA” artinya Dan ucapkanlah puji bagi Allah karena sangat nampak bagi kamu pada wujud diri kami itu sendiri, akan tanda tanda kebesaran Allah Ta’ala, supaya kamu dapat mengenalnya
Dari itu dengan sabda Nabi Muhammad SAW “MAM TALABAL MAULA BICHAIRI NAFSIHI PAKAD DALLA DALALAM BA’IDA” artinya Barang siapa mengenal Allah Ta’ala diluar dari pada mengenal hakikat dirinya sendiri., maka sesungguhnya adalah ia sesat yang bersangat sesat. Karena hakikat diri yang sebenarnya, baik rohani dan jasmani tidak lain melainkan adalah wujud kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD itu semata-mata. Maka apa apa nama segala yang maujud pada alam ini, baik pada alam yang nyata dan alam yang ghaib adalah semuanya nama Majazi bagi kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD.
Adapun ma’na Syahadat yang tahkikut tahkik “ASYHADUALLA ILAHA ILLALLAH” naik saksi aku bahwasanya Rohku dan Jasadku tidak lain, melainkan wujud kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD semata-mata. “WA ASYHADUANNA MUHAMMADARRASULULLAH” dan naik saksi Aku bahwa hanya MUHAMMAD RASULULLAH itu tiada lain, melainkan wujud kebenaran tajalli NUR MUHAMMAD yang sebenar benarnya.
Maka kesempurnaan musyahadah, murakabah, dan mukapahah, yakni keesaan pada diri adalah pada keluar masuknya nafas, karena pahak tahkik, tidak ada lagi “LAA” tetapi hanya “ILLAH” yakni tidak lain “NAFSI” ILLAHU” tidak lain DIRIKU. Melainkan wujud kebesaran NUR MUHAMMAD semata mata.
ZIKIR ZIKIR TAJALLI YANG HANYA DIBACA DIDALAM HATI SAJA
Sekali atau tiga kali, dan nafas ditarik dengan “HUU” kemudian ditahan dan lidah dilekukkan dilalangitan ialah.
INNI BIHAKKI MUHAMMADIN ALHAQ QULHAQ, artinya “YAHU” sesungguhnya diriku adalah kebesaran wujud NUR MUHAMMAD yang sebenar benarnya.
INNI BIHAKKI ZATUL BUKTI KHALISUL MUTLAK, artinya bahwa sesungguhnya diriku adalah wujud kebesaran NUR MUHAMMAD semata-mata yang Maha Suci lagi Esa tiada ada yang lainnya besertanya.
LAA MAUJUDUN ILLA NURUL HAK KUL HAK, artinya Tiada lain wujudku melainkan wujud kebenaran NUR MUHAMMAD yang sebesar besarnya.
Maka pilihlah yang mana dalam yang tiga ini yang dirasa mudah, dan tatkala keluar nafas bacalah dalam hati “ALLAHU AKBAR”.
.....xxxxx...........
Sebenarnya ramai orang awam termasuk para ulamak zahir menentang dan tidak bersetuju dengan ilmu mertabat tujoh ini. Namun di kalangan ahli hakikat dan makrifat perkara ini adalah sesuatu yang dapat di alami sendiri untuk mengesahkannya secara haqqul yaqin. Oleh itu, jangan salahkan ulamak-ulamak hebat kita yang dulu seperti Sh. Nafis al-Banjari atau Sh. Abdul Samad al-Palembangi atau Sh. Abdul Rauf al-Singkili , Sh. Hamzah al-Fansuri dan lain-lain , hanya kerana berdasarkan ilmu itu "tidak ada" pada zaman Rasulullah s.a.w dan sahabat r.a mahupun tabiin (rah.). Ini kerana ilmu ini adalah hasil dari keyakinan yang mendalam dan para sahabat r.a dan tabiin (rah) dapat mencapainya secara jalan kasyaf terus tanpa belajar. Itulah kekuatan cahaya Rasulullah s.a.w sehingga para sahabat r.a dari segi taraf melebihi makam wali qutb . Bagaimana kalau saya katakan bahawa ilmu ini adalah ilmu epistemologi ( asal usul kejadian kita) - ia bukan ilmu yang baru , tetapi huraian lebih perinci. Para sahabat r.a pastinya merupakan golongan yang "mengenal diri dan mengenal Allah dengan sebenar-benar kenal " . Itu sebab mereka dapat berzuhud serta menjadi hamba Allah yang sejati.Kita hari ini kurang mendapat cahaya itu dan oleh itu harus belajar dari perincian dan huraian mereka yang sudah menempuh jalan ini. Mertabat tujoh adalah sebuah penafsiran terhadap makna "enam masa" ayat Quran iaitu surah Al- ‘Araf 7 :54:
"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa lalu Ia bersemayam di atas Arasy; Ia melindungi malam dengan siang yang mengiringinya dengan deras (silih berganti) dan (Ia pula yang menciptakan) matahari dan bulan serta bintang-bintang, (semuanya) tunduk kepada perintahNya. Ingatlah, kepada Allah jualah tertentu urusan menciptakan (sekalian makhluk) dan urusan pemerintahan. Maha Suci Allah yang mencipta dan mentadbirkan sekalian alam."
Dan seterusnya ayat-ayat berikut tentang "enam masa" itu : 10:3 , 11:7, 25:59 , 32:4, 50:38 dan 57:4 ( 7 ayat semuanya!).
Dalam tareqat Chistiyyah huraian tentang "enam masa" itu dipanggil Tanazzulat Sittah atau Mertabat Enam , tetapi tak mengapa jika huraian yang lebih perinci menjadikannya 7 sebagaimana juga ada tareqat yang menghuraikan Lathaif ada 5 ada pula yang menghuraikannya kepada 7. Jadi, mereka yang "menentang" malah memperkecilkan ilmu mertabat 7 ini sebenarnya meremehkan ayat -ayat Quran ini. Malah sebahagian tareqat juga menjadikan ilmu mertabat 7 ini sebagai huraian kepada surah al-Ikhlas ( 4 ayat ) tetapi dihurai secara 7 alam , daripada alam keDiaan (HU Ahad) kepada alam insan ("ahad" juga, tetapi bermaksud tunggal /unggul seperti yang dibuktikan dengan cap jari dan DNA).
3 alam/martabat yang awal iaitu ahadiyah, wahdiyah dan wahidiyah merupakan martabat alam qadim dan tidak boleh difikirkan secara rasional. Malah setahu saya seseorang manusia hanya paling boleh mengalami peristiwa "ke belakang" dengan kebenaran Allah (biiznillah) sampai ke alam "alastu birobbikum" saja dan tidak boleh ke belakang lagi (contohnya ke alam Nur Muhammad) .
Mereka yang membenci atau tak suka ilmu mertabat tujoh tak apa. Mereka mungkin hanya dapat mentauhidkan Allah secara af'alNya , atau secara asma'Nya , tetapi tidak dapat mentauhidkansecara ZatNya - sebab ilmu mertabat tujoh bermula dengan La'taayun dalam alam Ahadiyah ( Qulhu wallahu AHAD) - alam keEsaan , di mana "hanya Dia yang wujud". Senang cerita, jika kita tak tahu jalan pergi (untuk sampai ke alam ini) tak mungkin kita tahu jalan pulang (untuk kembali kepada Dia -Zatul Haq). Itu sebabnya belajar ilmu Mertabat Tujoh itu amat penting ! Kalau tak tahu "innalillah" bagaimana nak "wainna ilaihi raji'un" ? Lain dengan orang dulu yang dapat ilmu ini secara makrifat , langsung dari cahaya Rasulullah s.a.w dan cahaya para sahabat r.a, sedang kebanyakan kita terperangkap dalam ilmu syariat dan tidak "terbuka" untuk masuk ke ilmu tareqat , hakikat dan makrifat.
Masalahnya , kita hendak "bertaraqqi" kepada Allah bukan "esok" bila kita sudah meninggal dunia atau bila di hari Akhirat (selepas Kiamat) tetapi setiap kali bersolat. Malah bagi yang berkemampuan pada bila-bila masa yang diperintahkan . Kalau tak tahu jalan pergi, bagaimana nak tahu jalan pulang? Bukankah angka 7 itu sudah memberi satu gambaran bahawa kita harus "merentasi" tujoh petala langit (untuk sampai ke Singgahsana Arsy) dan mungkin tujoh petala bumi juga untuk mengenal jenis makhluk yang merupakan musoh-musoh orang yang beriman , walaupun ada juga tempat rahsia para waliyullah dan qutb di bawah bumi. ?
Bagi mereka yang telah sampai ke alam Ahadiyyah dan mengesahkan kewujudannya, maka fahamlah dia hakikat dan jalan cerita "Wihdatul Wujud". Semua alam-alam itu bukan tidak ada lagi atau hanya yang tinggal alam ajsam dan alam insan , tidak! Alam-alam itu menyelubungi alam insan atau alam materi ini ! Kalau tak mahu belajar ilmu mertabat tujoh, tak dapatlah memahami jalan cerita mengapa tawaf tujoh kali atau mengapa harus sa'i tujoh kali . Dan mengapa pula bukan Kaabah itu sebenarnya yang kita tawafi , sebab jika begitu Kaabah itulah berhala kita. Jadi, penting atau tidak belajar ilmu mertabat tujoh itu? Jangan fikir, sahabat r.a tak belajar pun ! Mereka belajar ilmu hakikat-makrifat 13 tahun ! Ilmu itu terus mereka dapat, sedang kita baru nak bertatih!
Bukankah ilmu Mertabat Tujoh itu sebenar-benar ilmu Epistemologi dalam beragama?

Semoga bermanFafaat.

Ditulis Oleh : Unknown // 19.29
Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar

 
Diberdayakan oleh Blogger.