Dalam Futhuh al Ghaib, Syekh Abdul
Qadir al Jailani menulis syair berikut :
Jika takdir membantumu atau kala menuntunmu
kepada Syekh yang jujur dan ahli hakikat
maka bergurulah dengan rela dan ikutilah kehendaknya
Tinggalkan apa yang sebelumnya engkau lakukan
Sebab menentang berarti melawan
Dalam kisah Khidir yang mulia terdapat cakupan
Dengan membunuh seorang anak dan Musa mendebatnya
Tatkala
cahaya subuh telah menyingkap kegelapan malam
Dan
seseorang dapat menghunus pedangnya
Maka Musa
pun meminta maaf
Demikian
keindahan di dalam ilmu kaum sufi
Sebagian kita mungkin sudah sering mendengar tuduhan
yang dilontarkan oleh orang-orang yang mengaku paling “islami” bahwa tasawuf
adalah ilmu diluar islam, pembuat bid’ah, syirik dan lain sebagainya dan karena
yang menyampaikan pendapat ini orang berlatar belakang pendidikan agama yang
lumayan (baca: syariat), alumni arab Saudi atau mesir dengan sekian banyak
title sehingga masyarakat awam dengan mudah langsung percaya. Sebagian mereka
tidak tahu bahwa Arab Saudi bukan lagi menjadi tempat berkumpulkan berbagai
macam mazhab akan tetapi telah menjadi corong bagi mazhab tunggal yang baru
muncul di abad ke 17 yaitu mazhab wahabi.
Saya tidak membahas tentang tuduhan-tuduhan tersebut
dan saya rasa itu tidak ada menfaatnya sama sekali. Kesempatan ini saya ingin
menyampaikan informasi akan pentingnya belajar tasawuf/thariqat agar kita bisa
merasakan nikmatnya beragama.
Belajar tasawuf ada dua jenis, yaitu secara Teori dan
Praktek. Secara teori telah diajarkan di pasantren, IAIN bahkan anda bisa
menjadi seorang profesor tasawuf tanpa anda harus mempraktekkan zikir dan
dibimbing oleh mursyid. Namanya juga teori tentu yang didapatkan hanya teori
saja.
Belajar tasawuf sebenarnya harus mempunyai pembimbing
rohani, bukan saja mengajarkan anda tapi juga membimbing anda agar sampai
kehadirat-Nya karena inti tasawuf adalah bagaimana seorang bisa berhampiran
dengan Allah SWT. Tentang hal ini Abu Ali ats Tsaqafi berkata, “Seandainya
seseorang mempelajari semua jenis ilmu dan berguru kepada banyak ulama, maka
dia tidak sampai ke tingkat para sufi kecuali dengan melakukan latihan-latihan
spiritual bersama seorang Syeikh yang memiliki akhlak yang luhur dan dapat
memberinya nasehat-nasehat. Dan barang siapa yang tidak mengambil akhlaknya
dari seorang Syeikh yang memerintah dan melarangnya, serta memperlihatkan cacat-cacat
dalam amalnya dan penyakit-penyakit dalam jiwanya, maka dia tidak boleh diikuti
dalam memperbaiki muamalah”.
Jadi tasawuf adalah ilmu praktek dan tentu saja
membutuhkan pembimbing yang ahli dibidangnya, tanpa adanya pembimbing rohani
maka segala praktek yang dilakukan sudah pasti akan disesatkan setan. Abu Yazid
Al-Bisthami berkata, “Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru,
maka wajib syetan gurunya.”
Apabila jalan kaum sufi dapat dicapai dengan pemahaman
tanpa bimbingan seorang Syekh, niscaya orang seperti Imam Al-Ghazali dan Syekh
Izzuddin ibn Abdussalam tidak perlu berguru kepada seorang Syekh. Sebelum
memasuki dunia tasawuf, keduanya pernah berkata, “Setiap orang yang mengatakan
bahwa adalah jalan memperoleh ilmu selain apa yang ada pada kami, maka dia
telah berbuat kebohongan kepada Allah.”. Zaman sekarang kita juga sering
mendengar pendapat seperti itu, tidak mengakui ilmu selain yang mereka pelajari
(syariat) dan menganggap orang-orang yang mempunyai kemampuan bathin, ilmu laduni
dan lain sebagainya sebagai pembohong.
Akan tetapi, setelah Imam Al-Ghazali dan Syekh
Izzuddin ibn Abdussalam yang tadinya hanya belajar syariat kemudian memasuki
dunia tasawuf keduanya berkata, “Sungguh kami telah menyia-nyiakan umur
kami dalam kesia-siaan dan hijab (tabir penghalang antara hamba dan Tuhan).”
Orang yang bisa menemukan kebenaran bukanlah orang
yang banyak membaca buku karena terkadang semakin banyak yang dipelajari justru
tanpa sadar menjadi Hijab antara kita dengan Allah. Hanya kerendahan hati dan
sikap mau belajar dan mencari yang menyebabkan seseorang menemukan Allah SWT,
sebagai mana ucapan rendah hati Musa kepada Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu,
agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu?” (QS. Al Kahfi, 66). Juga pengakuan Ahmad ibn Hanbal bahwa
Abu Hamzah al Baghdadi lebih utama darinya dan pengakuan Ahmad ibn Suraij bahwa
Abu Qasim Junaid lebih utama darinya.
Imam al-Ghazali juag mencari seorang Syekh yang
menunjukkannya ke jalan tasawuf, padahal ia adalah Hujjatul Islam. Begitu juga,
Syekh Izzuddin ibn Abdussalam berkata, “Aku tidak mengetahui Islam sempurna
kecuali setelah aku bergabung dengan Syekh Abu Hasan Asy Syadzili”. Abdul Wahab
Asy Sya’rani berkata, “Apabila kedua ulama besar ini, yakni
al-Ghazali dan Syekh Izzuddin ibn Abdussalam, padahal keduanya adalah orang
yang memiliki ilmu pengetahuan luas tentang syariat, maka orang selain mereka
lebih membutuhkan lagi.”
Dalam hal ini al Qur’an memberikan petunjuk kepada kita
semua untuk mencari orang-orang yang telah di beri petunjuk oleh Allah SWT
sebagaimana firman Allah: “Sebenarnya al Qur’an itu adalah ayat-ayat nyata
di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu” (QS. Al ankabut : 49). “Dan
ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku” (QS. Lukman: 15)
dan firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah
dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar”. (QS. Taubah: 119).
Diperkuat oleh hadist, “Jadilah kamu bersama Allah, apabila tidak bersama
Allah jadilah kalian bersama orang yang sudah bersama Allah, maka sesungguhnya
orang itu bisa membawamu kepada Allah” (HR. Abu Daud).
Dengan demikian, memiliki seorang pembimbing (mursyid)
adalah suatu keharusan. Para sahabat sendiri mengambil ilmu dan amalan mereka
dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengambil ilmu dan amalannya dari Jibril.
Dan para tabi’in mengambil ilmu dan amalan dari para sahabat.
Setiap sahabat mempunyai para pengikut yang khusus.
Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan al A’raj, misalnya, adalah pengikut Abu Hurairah.
Sementara Thawus, Wahhab dan Mujahid, adalah pengikut Ibnu Abas. Demikian
seterusnya. Pengambilan ilmu dan amalan ini sangat jelas, sebagaimana
disebutkan dalam riwayat-riwayat mereka.
Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak segera
mencari Guru Pembimbing yang siap menuntun dan membimbing kita mencapai
kebenaran hakiki. Carilah Guru yang benar-benar kamil mukamil, khalis mukhlisin
sehingga dia bukan hanya berbicara tentang teori ketuhanan akan tetapi dengan
keikhlasannya mampu membimbing anda kehadirat Allah SWT. Kalau anda bertanya
siapakah Guru Mursyid yang kamil mukamil tersebut, saya tidak bisa menjawab
karena kawatir jawaban saya akan menyinggung perasaan yang lain. Bagi setiap
pengamal tasawuf mereka meyakini Guru mereka memiliki kemampuan untuk
membimbing mereka dan tidak terkecuali Guru saya.
Abu Athailah As Sakandari dalam Latha’if al
Minan, berkata, “Engkau tidak akan kekurangan mursyid yang dapat
menunjukkanmu ke jalan Allah. Tapi yang sulit bagimu adalah mewujudkan
kesungguhan dalam mencari mereka”.
Seorang penyair sufi berkata :
Rahasia
Allah didapat dengan pencarian yang benar
Betapa
banyak hal menakjubkan yang telah diperlihatkan kepada para pelakunya.
Ali al Khawas berkata dalam syairnya,
Jangan menempuh jalan yang tidak engkau kenal tanpa
penunjuk jalan,
Sehingga
engkau terjerumus dalam jurang-jurangnya.
Penunjuk jalan (Mursyid) akan dapat mengantarkan salik sampai
ke pantai yang aman dan menjauhkan dari gangguan-gangguan selama di perjalanan.
Sebab, penunjuk jalan (mursyid) sebelumnya telah melewati jalan itu dibawah
bimbingan seseorang (mursyid sebelumnya) yang telah mengetahui seluk beluk
jalan tersebut, mengetahui tempat-tempat berbahaya dan tempat-tempat yang aman
dan terus menemaninya sampai akhirnya dia sampai di tempat yang dituju.
Kemudian orang tersebut memberikan izin untuk membimbing orang lain.
Menutup tulisan ini saya mengutip Syair dari Ibnu
Al-Banna yang menjelaskan tentang kedudukan kaum sufi yang telah melakukan
perjalanan menuju Allah dan setelah sampai disana mememberikan kabar kepada
orang lain untuk menuju kesana dengan selamat.
Kaum sufi
tidak lain sedang melakukan perjalanan
Ke hadirat
Tuhan Yang Maha Benar
Maka mereka
membutuhkan penunjuk jalan
Yang
benar-benar mengenal seluk beluk jalan itu
Dia telah
melalui jalan itu, lalu dia kembali
Untuk
mengabarkan apa yang telah didapat.
0 komentar:
Posting Komentar