Dalam hikmah tersebut diterangkan tentang bagian-bagian orang yang
sudah termasuk pada maqom fana’, yang karenanya tidak dijelaskan secara
gamblang, tetapi hanya istilahnya saja yang dijelaskan, karena hikmah
ini berhubungan dengan rasa yang ada pada orang yang ahli makrifat, yang
pada umumnya kita sendiri belum pernah merasakannya, maka untuk lebih
memudahkan para murid tasawuf dibuat beberapa istilah yang berkaitan
dengan hal tersebut.
1. isyarat
2. ibaroh
3. maqom fana’ atau jam’i
4. maqom baqo’ atau farqi
2. ibaroh
3. maqom fana’ atau jam’i
4. maqom baqo’ atau farqi
Isyarat.
Pengertian isyarat disini bukan seperti pengertian mengarahkan (menuding) jari telunjuk kepada sesuatu, akan tetapi makna isyarah dalam hikmah ini berati, perkataan atau ucapan yang tidak jelas (kinayah) tentang segala sesuatu yang hanya orang tertentu yang bisa faham.
Pengertian isyarat disini bukan seperti pengertian mengarahkan (menuding) jari telunjuk kepada sesuatu, akan tetapi makna isyarah dalam hikmah ini berati, perkataan atau ucapan yang tidak jelas (kinayah) tentang segala sesuatu yang hanya orang tertentu yang bisa faham.
Ibaroh.
Ibaroh berarti suatu perkataan atau ucapan yang jelas (gamblang) tentang sesuatu hal yang semua orang bisa memahaminya.
Ibaroh berarti suatu perkataan atau ucapan yang jelas (gamblang) tentang sesuatu hal yang semua orang bisa memahaminya.
Jadi isyarat adalah merupakan suatu istilah yang digunakan ahli tasawuf untuk menjelaskan tentang berapa hal, yang diantaranya
a. Asror, yaitu rahasia-rahasia Allah
b. Ilmu Laduni, yaitu ilmu yang langsung dari Allah (tanpa belajar)
c. Mawajid, yaitu rasa cinta dan rindu yang teramat sangat, yang terkadang sampai membuat seseorang kehilangan akalnya dan bahkan sampai tidak sadarkan diri.
d. Dzauq, yaitu rasa yang diterima oleh hati atau bathin. Seperti rasa tenteram karena merasa nikmat (ladzat) dalam berdzikir, shalat, dan lain sebagainya.
a. Asror, yaitu rahasia-rahasia Allah
b. Ilmu Laduni, yaitu ilmu yang langsung dari Allah (tanpa belajar)
c. Mawajid, yaitu rasa cinta dan rindu yang teramat sangat, yang terkadang sampai membuat seseorang kehilangan akalnya dan bahkan sampai tidak sadarkan diri.
d. Dzauq, yaitu rasa yang diterima oleh hati atau bathin. Seperti rasa tenteram karena merasa nikmat (ladzat) dalam berdzikir, shalat, dan lain sebagainya.
Dzauq terbagi menjadi dua
Dzauq Bathinyyah, yaitu semua rasa yang dialami oleh hati atau bathin
Dzauq Dhohiriyyah, yaitu semua rasa yang diterima oleh panca indera, seperti bau wangi, rasa sakit, pedas, asin, pahit, asam dan lain sebagainya.
Dzauq Bathinyyah, yaitu semua rasa yang dialami oleh hati atau bathin
Dzauq Dhohiriyyah, yaitu semua rasa yang diterima oleh panca indera, seperti bau wangi, rasa sakit, pedas, asin, pahit, asam dan lain sebagainya.
Asror, ilmu laduni, mawajid dan dzauq adalah termasuk ‘aurat yang
wajib untuk ditutupi dan tidak boleh diperlihatkan kepada khalayak umum.
Hal ini dapat disamakan dengan ‘aurat dhohir dari tubuh manusia,
semisal orang laki-laki, maka yang wajib ditutupi adalah antara pusar
dan lutut, ssedang bagi wanita adalah seluruh anggota tubuh. Dan karena
asror, ilmu laduni, mawajid, dan dzauq adalah termasuk ‘aurat, maka
untuk menjelasakan perkara ini, para ahli tasawuf menggunakan isyarah
(kinayah).
Al Fana’ (jam’u)
Para arif billah pasti melewati maqom jam’i. istilah lain dari maqomul jam’i adalah “wahdatul wujud” (manunggaling kawulo gusti). Istilah ini bukan berarti bahwa wujudnya Allah itu bersatu dengan wujudnya atau bercampur dengan wujudnya hamba, tetapi tiu hanyalah merupakan sebuah kiyasan atau istilah dari para sufi, yang mana timbulnya istilah itu setelah adanya pengalaman di dalam mengarungi samudera tasawuf.
Para arif billah pasti melewati maqom jam’i. istilah lain dari maqomul jam’i adalah “wahdatul wujud” (manunggaling kawulo gusti). Istilah ini bukan berarti bahwa wujudnya Allah itu bersatu dengan wujudnya atau bercampur dengan wujudnya hamba, tetapi tiu hanyalah merupakan sebuah kiyasan atau istilah dari para sufi, yang mana timbulnya istilah itu setelah adanya pengalaman di dalam mengarungi samudera tasawuf.
Arti lain dari “manunggaling kawulo gusti” adalah , apabila ada
seorang hamba melihat hamba atu ciptaan Allah yang lain, maka yang ia
lihat bukan wujud ciptaan itu, tetapi yang terlihat adalah Allah. Bahkan
ketika melihat dirinya sendiri pun ia tidak melihatnya, dan yang
terlihat hanya Allah. Semuanya telah sirna, dan yang ada hanya Allah
(dihati). Tidak wujud selain-Nya.
Pada “menyaksikan” itu, segala persoalan hilang dari dirinya karena
dalam ke-esaan murni (al-fardaniyyat al-mahdhah). Dalam kondisi seperti
itu ia terpesona dengan keindahan penyaksian itu, sehingga hilanglah
kesadaran diri dan tidak lagi memiliki kemapuan untuk mengingat
selain-Nya, bahkan tidak mampu untuk melihat diri sendiri. Pada saat
dalam kesaksian seperti inilah sebagian dari para sufi seperti Al Hallaj
dan Abu Yazid Al Busthami mengatakan, “anal haq” (ukulah kebenaran),
“subahaani maa a’dhomi sya’ni” (maha suci aku dan betapa agung
keberadaanku), “maa fil jubbati illa allahu” (tidak ada dalam jubahku
ini kecuali Allah).
Apabila seseorang telah mengalami hal semacam ini, dan kemudian ia
tidak mampu untuk menahan diri dengan cara tidak mengatakan secara
‘ibaroh (jelas), maka hal itu dianggap sebagai suatu pelanggaran. Hal
ini juga pernah dialami Syaikh Lemah Abang ketika dipanggil oleh Sunan
Kudus, “wahai Syaikh Siti Jenar”, dan beliau menjawab, “Syaikh Siti
Jenar tidak ada, yang ada hanya Allah” ketika mengucapkan Itu, Syaikh
Siti Jenar merasakan bahwa wujudnya sudah tidak ada lagi, yang ada
hanyalah Allah semata. Dirinya sudah tidak nampak lagi, yang nampak
hanya Allah semata.
Orang yang telah mencapai maqom fana’ atau jam’i, mereka menyadari
bahwa semua yang dilakukannya adalah tindakan Allah. Syaikh Yusuf Al
A’jami, “ siapa yang berkata pada maqom jam’i, maka yang berkata
bukanlah dirinya, akan tetapi Allah yang berkata melalui lisan
hambaNya”. Dan hal itu juga sesuai dengan hadist firman dalam hadits
qudsi:
“fabii yasma’u wabii yabshuru wabii yanthiqu……..” (maka dengan Aku
(Allah) ia mendengar, dan dengan Aku ia melihat, dan dengan aku pulalah
ia berkata).
Setelah kaum ‘arifin melakukan pendakian mi’raj spiritual ke alam
hakikat, mereka sepakat bahwa yang disaksikan oleh mereka hanyalah Allah
Yang Haq. Tidak ada wujud selainNya. Dan dalam kesaksiannya ini
masing-masing kaum ‘arifin memiliki memiliki dan cara kesaksian yang
berbeda. Ada yang menyaksikan melalui “makrifat” dan “ilmu”, dan ada
yang yang menyaksikan “dzauq” dan “al-hal”. Perumpamaan akan hal ini
adalah seperti orang yang ingin mengetahui hakikat dari api. Ada yang
mengetahui panas api melalui serentetan panjang imu pengetahuan dan
perenungan, hingga meyakini bahwa itu panas, dan ada yang memperoleh
keyakinan bahwa api itu panas karena ia sendiri sudah merasakan terbakar
olehnya.
Saat menyaksikan itulah segala persoalan (syak) menjadi hilang dari
diri mereka, karena tenggelam dalam keesaan murni (al-fardaniyat
al-mahdhah). Mereka terpesona dengan keindahan penyaksian itu,
kehilangan kesadaran diri, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk
mengingat selainNya. Hingga terlontar ucapan-ucapan mutasyabihat.
Imam Ghazali dalam kitabnya, “Misykat al Anwar”, memberikan komentar
mengenai hal itu, bahwa semestinya para perindu Allah itu “asyiqin”
tidak mengungkapkannya di saat kondisi ekstase “fana’”, karena
kessaksian yang dialaminya bukanlah kesatuan “ittihad” yang hakiki,
melainkan hanya “ittihad” seperti yang dinyanyikan oleh orang yang rindu
berat,
“Akulah yang mencintai dan yang aku cintai,
kami ini ini dua ruh yang bersemayam dalam satu raga.”
kami ini ini dua ruh yang bersemayam dalam satu raga.”
Atau ibarat orang yang melihat minuman anggur dalam gelas, dan
mengira bahwa warna anggur itu adalah hiasan dari gelas itu sendiri.
Sebagaimana dalam untaian syair:
“Gelas bening dan anggurpun bening,
Keduanya serupa dan menyatu.
Sekan anggur tanpa gelas,
Dan gelas pun tanpa anggur.”
Keduanya serupa dan menyatu.
Sekan anggur tanpa gelas,
Dan gelas pun tanpa anggur.”
Ungkapan tersebut tentu berbeda, “bahwa anggur adalah gelas”, dan
“anggur seakan-akan gelas. “Bila kondisi ‘ittihad’ ini memuncak, maka
disebut dengan “fana’ al fana’” seseorang yang mengalami kefana’an,
tidak saja saja merasakan kehilangan dirinya, bahkan rasa kehilangan
dirinya itu telah hilang dalam kesadarannya. Tidak menyadari bahwa
dirinya tenggelam dalam kefana’an, dan juga tidak menyadari akan
kefanaan dirinya. Sebab bila masih menyadari akan kefanaan dirinya,
berarti masih dalam kondisi sadar. Para ‘arifin yang tenggelam dalam
kefanaan ini dalam bahasa majaz disebut “ittihad”, dan dalam bahasa
hakikat disebut “tauhid.” (misykat al-anwar).
Orang yang benar-benar mencapai maqom fana’ atau “wahdatul wujud”,
akan merasakan bahwa dirinya sudah tidak ada. Juga tidak mengetahui
bahwa dirinya sudah sampai maqom apa, maqom fana’kah? Atau maqom yang
lainnya, seperti ‘Abid, Murid, ‘Arif. Dan juga ketika ketika menerima
tajalliNya, apakah tajalli af’al, tajalli sifat, tajalli dzat. Dalam
perjalanan ibadahnya semisal, shalat, puasa, dzikir, dan amal ibadah
lainnya, tidak merasakan bahwa dirinya sudah melakukannya, yang
melakukan adalah hanya Allah. Hal ini sebagaimana makna yang tersirat
dalam kalimat “laa haula walaa quwwata illa billah.” Seperti mayit yang
berada di tangan orang yang memandikannya.
Dan bahwa apa yang disebut sebagai kehilangan dirinya dalam Tuhan (fana’), yang dipandang sebagai tujuan para sufi, sesungguhnya adalah merupakan tahap awal dari perjalanan yang sesungguhnya. (Al-Ghazali)
Dan bahwa apa yang disebut sebagai kehilangan dirinya dalam Tuhan (fana’), yang dipandang sebagai tujuan para sufi, sesungguhnya adalah merupakan tahap awal dari perjalanan yang sesungguhnya. (Al-Ghazali)
Al Baqo’ (farqi).
Setelah melewati maqom jam’i atau maqom fana’ seseorang akan memasuki maqom farqi atau disebut juga maqom baqo’. Orang yang sudah mencapai maqom ini akan kembali normal. Apabila ia melihat Allah maka ia juga dapat melihat mahluk begitu juga sebaliknya, ketika ia melihat mahluk maka ia juga dapat menyaksikan “musyaahadah” Allah didalam hatinya.
Setelah melewati maqom jam’i atau maqom fana’ seseorang akan memasuki maqom farqi atau disebut juga maqom baqo’. Orang yang sudah mencapai maqom ini akan kembali normal. Apabila ia melihat Allah maka ia juga dapat melihat mahluk begitu juga sebaliknya, ketika ia melihat mahluk maka ia juga dapat menyaksikan “musyaahadah” Allah didalam hatinya.
Dalam maqom inilah orang-orang melihat Allah dengan mata hatinya
“arbab al-bashaa’ir” ketika melihat sesuatu mereka menyaksikan Allah
bersamanya. Sebagaimana yang telah dikatakan para ‘arifin, “tidak ada
sesuatupun yang aku lihat, kecuali sebelumnya aku telah melihat Allah
sebelumnya”, sebagaimana yang diisyaratkan dalam firmanNya:
سَنُرِيهِمۡ ءَايَـٰتِنَا فِى ٱلۡأَفَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِہِمۡ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّۗ
“Kami akan memperlihatkan kapada mereka di ufuk-ufuk dan didalam jiwa
mereka sendiri bahwa Allah itu haq.” {Q.S. Al-Fushilat : 53}
Lebih jelasnya untuk lebih mudah dimengerti, seperti kisah yang
tersirat dalam hadits ifqi (para pembuat berita dusta) panjang yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. ketika beliau beliau tertinggal oleh
rombongannya, hingga kemudian ditemukan oleh Sofwan bin Mu’athol yang
sedang mencari sesuatu miliknya yang hilang, dalam keadaan sedang
tertidur. Ketika Sofwan mengetahui bahwa orang yang tertidur itu adalah
wanita istri Rosulullah saw. Ia menjadi kaget dan mengucap istirja’
(Inna Lillahi Wa inna ilahi roji’un). ‘Aisyah ra seketika terbangun
ketika melihat lelaki itu dan segera menutupi wajahnya dengan cadarnya.
Kemudian Sofwan merundukkan ontanya dan menyuruh ‘Aisyah ra. Menaikinya
tanpa berkata sepatah katapun, hanya dengan isyarat. Setelah Sofwan
melanjutkan perjalanannya dengan menuntun ontanya yang kini telah
dinaiki ‘Aisyah ra. Hingga akhirnya dapat menyusul rombongan bala
tentaranya.
Sejak saat itu kemudian tersebar berita dusta (gosip) yang
dihembuskan oleh ahli fitnah, yang mula-mula dihembuskan oleh Abdullah
bin Ubay bin Sawul, yang menuduh bahwa ‘Aisyah telah berbuat tidak
terpuji. Hingga sesampainya tiba di Madinah, beliau jatuh sakit selama
sebulan. Keadaannya menjadi makin tertekan ketika menyadari ada sedikit
perubahan sikap Rosulullah, yang pada waktu itu juga sedang gelisah
menunggu datangnya wahyu dari Allah yang berkaitan dengan masalah itu.
Cerita tidak kami tulis secara detail disini. Singkat cerita, ‘Aisyah
ra. Meminta kepada orang tuanya seraya berkata, “jawablah Rosulullah
oleh kalian berdua!.” Akan tetapi kedua orang tuanya menjawab, “Demi
Allah, kami tidak mengetahui apa yang akan kami katakan.” Mendengar itu,
‘Aisyah ra. Berkata, “Sesungguhnya aku, Demi Allah telah mengetahui
bahwa engkau telah mendengar berita tersebut sehingga engkau terpengaruh
olehnya dan mau mempercayainya. Seandainya saja aku katakan kepadamu
bahwa aku tidak bersalah, sehingga engkau terpengaruh dan mau
mempercayaiku. Dan seandainya aku mengaku padamu, bahwa aku telah
melakukan suatu perkara, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tidak
bersalah, niscaya engkau (Nabi) percaya kepadaku. Demi Allah aku tidak
menemukan suatu perumpamaan yang kukatakan kepada engkau kecuali
sebagaimana ayah Yusuf ketika mengatakan:
فَصَبۡرٌ۬ جَمِيلٌ۬ۖ وَٱللَّهُ ٱلۡمُسۡتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ
“maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah
yang dimohon pertolonganNya terhadap apa yang kalian ceritakan” (Q.S.
Yusuf 18)
Kemudian ‘Aisyah ra. Beranjak dari tempatnya dan langsung merebahkan
diri di peraduannya. Sejak saat itu Rosulullah tidak lagi menetapi
majlisnya hingga turun kepada beliau firman Allah Q.S An-Nur : 11-21,
yang menyatakan kesucian ‘Aisyah ra. Wahyu itu membuat Rosulullah sangat
senang. Dengan muka berseri-seri beliau sehera menyampaikan kabar
gembira itu kepada ‘Aisyah ra. Maka ‘Aisyah ra. segera ditegur ibunya,
“berdirilah, dan berterimakasihlah kepada Rosulullah.” Dan ‘Aisyah ra.
berkata, “Tidak. Demi Allah, aku tidak akan berterima kasih kepada
selain Allah yang telah menurunkan wahyu tentang kebersihanku.” (ketika
mengucap ini, ‘Aisyah ra. dalam kondisi fana’)
Kemudian Abu Bakar ra. menyuruh ‘Aisyah ra. untuk bersyukur kepada Rosulullah, karen dengan lantaran beliaulah wahyu itu diturunkan dan ditujukan kepada ‘Aisyah ra.
Dalam hadits tersebut terkandung makna, bahwa disaat ‘Aisyah ra. mengatakan, “Tidak, Demi Allah, aku tidak akan berterima kasih kepada selain Allah yang telah menurunkan wahyu tentang kebersihanku.” Beliau berada maqom fana’, karena diwaktu mendapat cobaan itu beliau hanya memohon kepada Allah, sampai akhirnya wushul kepada Allah dan beliau lihat hanya Allah semata, sedangkan Rosulullah yang hadir kala itu tidak tampak oleh beliau.
Lain halnya dengan Abu Bakar ra., disamping beliau melihat Allah, Rosulullah juga terlihat oleh beliau. Yang mana hal ini menandakan, bahwa Abu Bakar ra. telah berada dalam maqom baqo’. Dan hal itu sesuai dengan sabda Rosulullah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:
Kemudian Abu Bakar ra. menyuruh ‘Aisyah ra. untuk bersyukur kepada Rosulullah, karen dengan lantaran beliaulah wahyu itu diturunkan dan ditujukan kepada ‘Aisyah ra.
Dalam hadits tersebut terkandung makna, bahwa disaat ‘Aisyah ra. mengatakan, “Tidak, Demi Allah, aku tidak akan berterima kasih kepada selain Allah yang telah menurunkan wahyu tentang kebersihanku.” Beliau berada maqom fana’, karena diwaktu mendapat cobaan itu beliau hanya memohon kepada Allah, sampai akhirnya wushul kepada Allah dan beliau lihat hanya Allah semata, sedangkan Rosulullah yang hadir kala itu tidak tampak oleh beliau.
Lain halnya dengan Abu Bakar ra., disamping beliau melihat Allah, Rosulullah juga terlihat oleh beliau. Yang mana hal ini menandakan, bahwa Abu Bakar ra. telah berada dalam maqom baqo’. Dan hal itu sesuai dengan sabda Rosulullah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:
من لم يشكر الناس لم يشكرالله
“Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia (makhluq), maka ia tidak bisa bersyukur kepada Allah ta’ala”
Orang yang telah mencapai maqom baqo’, adalah orang yang telah bisa
mencapai maqom makrifat yang hakiki. Orang yang telah mencapai maqom
baqo’, dan sebelumnya didahului kondisi fana’, disebutu dengan “firoq
ba’dal jam’i”. sedangkan orang yang telah mencapai maqom baqo’ tanpa
pernah sama sekali fana’, disebut “firoq qoblal jam’i”. pada yang
disebutu terakhir, terkadang seseorang masih tergolong “ahlul hijab”.
(Iqodhul Himam).
Orang yang berada pada maqom “firoq qoblal jam’i” , kebenaran
ucapannya masih harus sesuai dan didasari Al-Qur’an, Al Hadits dan
pendapat-pendapat para ulama’, karena perkataannya masih dimungkinkan
salah dan benar. Dan perkataan orang yang berada pada maqom “firoq
ba’dal jam’i, bisa dipastikan apa yang dikatakannya adalah benar. Karena
apa yang mereka katakan adalah merupakan suatu pengalaman nyata melalui
“dzauq”, seperti perumpaan api di awal tulisan ini.
Wallahu A’lamu Bishshowab.
Semoga Allah memberikan kepada kita semua istiqomah dan ikhlas dalam mengabdikan diri kepadaNya.
0 komentar:
Posting Komentar