Ingatkah kita akan cerita yang sangat
populer, yaitu cerita Ashabul Kahfi?. Sebuah cerita yang Insya Allah
akan terus populer hingga akhir zaman. Cerita Ashabul Kahfi ini, dalam
Al Quran dituangkan dalam surat Al Kahfi.
Sebetulnya terdapat tiga kisah yang
dituangkan dalam Surat Al Kahfi yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah Nabi
Musa AS dan Nabi Khidir AS, serta kisah Dzulqarnain. Penamaan surat
dengan merujuk pada kisah Ashabul Kahfi tentunya bukan merupakan suatu
yang tidak disengaja, tetapi sesuatu yang memang disengaja dan mempunya
makna serta maksud tertentu. Dan kita mempunyai kewajiban untuk
memberikan perhatian pada makna dan pesan dari cerita Ashabul Kahfi.
Sebelum membaca kisah ini marilah kita meminta perlindungan Nya dan
berniat karena Nya.
Secara singkat kisah singkat Ashabul
Kahfi dapat disampaikan sebagai berikut : Ashabul Kahfi adalah nama
sekelompok orang beriman, berjumlah 7 orang dan 1 anjing, yang hidup
pada masa Raja Diqyanus di Romawi, yaitu pada masa beberapa ratus tahun
sebelum diutusnya Nabi Isa AS. Mereka hidup ditengah masyarakat
penyembah patung dengan seorang raja yang dzalim. Jika sang raja
mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang
raja akan sangat marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka
untuk mengikuti kepercayaan sang raja.
Tapi Ashabul Kahfi mempunyai keyakinan
bahwa Allah SWT adalah tuhan semesta alam dan hanya Allah SWT yang patut
disembah. Untuk mempertahankan keimanannya maka mereka melarikan diri,
sehingga mereka sampai di sebuah gua yang kemudian dipakai sebagai
tempat persembunyian. Dengan izin Alloh SWT, mereka kemudian ditidurkan
selama 309 tahun di dalam gua, dan dihidupkan kembali ketika masyarakat
dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman
kepada Alloh SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-'Adzim; jilid:3 ;
hal.67-71).
Cerita Ashabul Kahfi diceritakan dengan
lengkap oleh sahabat Nabi Muhammad SAW, yatu Ali bin Abi Thalib KW
ketika menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan oleh para Pendeta
Yahudi, yang salah satu pertanyaannya adalah mengenai kisah Ahsabul
Kahfi.
Kisah Ali bin Abi Thalib KW menjawab
berbagai pertanyaan para Pendeta Yahudi tersebut, yang didalamnya memuat
kisah Ashabul Kahfi, terdapat dalam kitab Fadho’ilul Khomsah Minas
Shikhohis Sittah yang ditulis oleh As Sayyid Murtadho Al Faruz Aabaad
(jilid II, halaman 291-300). Kisah Ashabul Kahfi dalam kitab tersebut
dikutip dari kitab Qishoshul Anbiya. Dan Allah SWT telah menceritakan
dan menjelaskan kisah ini dalam Al Quran surat Al Kahfi.
“(9). atau kamu mengira bahwa
orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka
termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?. (10). (ingatlah)
tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu
mereka berdoa: "Wahai Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada Kami dari
sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi Kami petunjuk yang Lurus dalam urusan
Kami (ini)". (11). Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam
gua itu, (12). kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui
manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung
berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu). (13). Kami kisahkan kepadamu
(Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah
pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula
untuk mereka petunjuk. (14). dan Kami meneguhkan hati mereka diwaktu
mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, "Tuhan Kami adalah Tuhan
seluruh langit dan bumi; Kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain
Dia, Sesungguhnya Kami kalau demikian telah mengucapkan Perkataan yang
Amat jauh dari kebenaran". (15). kaum Kami ini telah menjadikan selain
Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). mengapa mereka tidak
mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? siapakah
yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah?. (16). dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang
mereka sembah selain Allah, Maka carilah tempat berlindung ke dalam gua
itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan
menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu. (17). dan
kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke
sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah
kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. itu
adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang
diberi petunjuk oleh Allah, Maka dialah yang mendapat petunjuk; dan
Barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan
seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (18). dan
kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan Kami
balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka
mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. dan jika kamu
menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan
melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan
terhadap mereka. (19). Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka
saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di
antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka
menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata
(yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu
berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi
ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat
manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu
untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali
menceritakan halmu kepada seorangpun. (20). Sesungguhnya jika mereka
dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan
batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian
niscaya kamu tidak akan beruntung selama lamanya. (21). Dan demikian
(pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu
mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari
kiamat tidak ada keraguan padanya. ketika orang-orang itu berselisih
tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: "Dirikan sebuah bangunan
di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka".
orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: "Sesungguhnya kami
akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya". (22). nanti (ada
orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang
keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: "(jumlah mereka)
adalah lima orang yang keenam adalah anjing nya", sebagai terkaan
terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: "(jumlah
mereka) tujuh orang, yang ke delapan adalah anjingnya". Katakanlah:
"Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui
(bilangan) mereka kecuali sedikit". karena itu janganlah kamu
(Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir
saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu)
kepada seorangpun di antara mereka. (23). dan jangan sekali-kali kamu
mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok
pagi, (24). kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah". dan ingatlah
kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku
akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada
ini". (25). dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan
ditambah sembilan tahun (lagi). (26). Katakanlah: "Allah lebih
mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah
semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang
penglihatan-Nya dan Alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang
pelindungpun bagi mereka selain dari pada-Nya; dan Dia tidak mengambil
seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan". [Q.S Al Kahfi (18) : 9-26]
Dalam kitab Qishashul Anbiya’ dikisahkan sebagai berikut :
Di kala Sayyidina Umar Ibnul Khattab RA,
menjadi Khalifah, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta
Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: “Hai Umar, anda adalah pemegang
kekuasaan sesudah Muhammad dan shahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak
menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi
jawaban kepada kami, barulah kami mau memahami bahwa Islam merupakan
agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika
anda tidak dapat memberi jawaban, berarti agama Islam itu bathil dan
Muhammad bukan seorang Nabi”.
“Silahkan bertanya tentang apa saja yang
kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar RA. “Jelaskan kepada kami tentang
induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya
pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan kepada
kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya,
apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat
memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan
jin? Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluq yang dapat
berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluq-makhluq itu tidak dilahirkan
dari kandungan ibu atau atau induknya? Beritahukan kepada kami apa yang
dikatakan oleh burung puyuh di saat ia sedang berkicau? Apakah yang
dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok? Apakah yang
dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan
oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh
keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung
pipit pada waktu ia sedang berkicau?”.
Khalifah Umar RA menundukkan kepala
untuk berfikir sejenak, kemudian berkata : “Bagi Umar, jika ia menjawab
‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui
jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan”.
Mendengar jawaban Khalifah Umar RA
seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri
melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata : “Sekarang kami bersaksi
bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah
bathil..!”.
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir,
segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu : “Kalian
tunggu sebentar…! Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib KW.
Setelah bertemu, Salman berkata : “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama
Islam…!” Imam Ali AS, bingung, lalu bertanya : “ada apa ?”.
Salman kemudian menceritakan apa yang
sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali AS, segera
berangkat menuju ke rumah Kholifah Umar RA, berjalan dengan memakai
burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan
Rasulullah SAW. Ketika Khalifah Umar RA melihat Ali bin Abi Thalib KW
datang, ia bangun dari tempat duduk lalu segera memeluknya, sambil
berkata : “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu
kupanggil…!”.
Setelah berhadap-hadapan dengan para
pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Imam Ali bin Abi Thalib
KW, herkata : “Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian
inginkan. Roaulullah SAW,. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap
jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu”.
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu
mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Imam Ali bin
Abi Thalib KW, berkata : “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada
kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab
pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat,
kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman”, “Ya baik…!”
jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,”
kata Imam Ali bin Abi Thalib KW.Mereka mulai bertanya : “Apakah induk
kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”. “Induk kunci itu,
jawab Imam Ali AS, ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah,
baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Alloh, amalnya tidak
akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah”.
Para pendeta Yahudi bertanya lagi :
“Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit ?”. Imam Ali
as, menjawab : “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada
tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah”.
Para pendeta Yahudi itu saling pandang
di antara mereka, sambil berkata : “Orang itu benar juga”. Mereka
bertanya lagi : “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan
yang dapat berjalan bersama penghuninya?”. “Kuburan itu ialah ikan hiu
(hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta” jawab Imam Ali AS. “Nabi
Yunus AS. dibawa keliling ketujuh samudera”.
Pendeta-pendeta itu meneruskan
pertanyaannya lagi : “Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat
memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia
dan bukan jin ?”. Imam Ali AS, menjawab : “Makhluq itu ialah semut Nabi
Sulaiman AS putera Nabi Dawud AS. Semut itu berkata kepada kaumnya :
“Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak
diinjak-injak oleh Sulaiman AS dan pasukannya”.
Para pendeta Yahudi itu meneruskan
pertanyaannya : “Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang
berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara
makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya
?”. Imam Ali AS, menjawab : “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam.
Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh AS. Keempat, Domba Nabi Ibrahim
AS. Kelima, Tongkat Nabi Musa AS (yang menjelma menjadi seekor ular)”.
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi
itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan
oleh Imam Ali AS, lalu mengatakan : “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan
selain AllAh dan Muhammad adalah Rasulullah…!”.
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun
berdiri sambil berkata kepada Imam Ali bin Abi Tholib KW, : “Hai Ali,
hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman
dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal
lagi yang ingin kutanyakan kepada anda”.
“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan”
sahut Imam Ali AS. “Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang
pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan
kembali oleh Allah. Bagaimana cerita tentang mereka itu?” tanya pendeta
tadi. Ali bin Ali Thalib KW, menjawab : “Hai pendeta Yahudi, mereka itu
ialah para penghuni gua. cerita tentang mereka itu sudah dijelaskan oleh
Allah SWT, kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah
mereka itu”.
Pendeta Yahudi itu menyahut : “Aku sudah
banyak mendengar tentang Al-Qur’an kalian itu…! Jika engkau memang
benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama Ashabul Kahfi, nama ayah-ayah
mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama
gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai
akhir.!”.
Imam Ali bin Abi Thalib KW, kemudian
merapikan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya
dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu Imam Ali bin Abi Thalib
KW, berkata : “Hai saudara-saudara Yahudi. Muhammad Rasulullah SAW,
kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri
Romawi, di sebuah kota bernama “Aphesus” atau disebut juga dengan nama
“Tharsus”. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus
(Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi
Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki).
Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai
seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita
kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama “Diqyanius”. Dia
seorang raja kafir yang amat sombong dan dzalim. Dia datang menyerbu
negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai
kota Aphesus. Akhirnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu
dibangunlah sebuah Istana”.
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang
bertanya itu berdiri, terus bertanya : “Jika engkau benar-benar tahu,
coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan
ruangan-ruangannya ?”. Imam Ali bin Abi Thalib KW menerangkan : “Hai
saudara-saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah,
terbuat dari batu marmer. Panjangnya satu farsakh (kl 8 km) dan lebarnya
pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya
terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga
semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada
rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan
dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat
lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah
baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu
dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari
emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya
tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para
hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah
kursi terbuat dari emas, untuk duduk para petinggi dan penguasa-penguasa
tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota
di atas kepala”.
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan
berdiri lagi sambil berkata : “Jika engkau benar-benar tahu, coba
terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat ?”. “Hai
saudara-saudara Yahudi”, kata Imam Ali bin Abi Thalib KW menerangkan,
“mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah,
dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana
bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50
orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai
selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat
dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki
yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas.
Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga
mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk
dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak
mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan
mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga
orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di
sebelah kiri”.
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi,
lalu berkata : “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan
nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu ?”. Imam Ali bin
Abi Thalib KW, menjawab : “Kekasihku Muhammad Rasulullah SAW,
menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan
raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina dan Mikhaslimina.
Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing
bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Tiap hari setelah raja duduk
dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa,
masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa
piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala
perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa
seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara
isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari
bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia
mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari bunga itu habis
dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi
mengeluarkan suara isyarat hingga burung itu terbang lalu hinggap di
atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya,
burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni
yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya.
Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi dan burung itu lalu
terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua
sayap yang harum semerbak di atas kepala raja. Demikianlah raja itu
berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu
ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing
kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah
sang raja merasa dirinya sangat kuat dan sehat, ia mulai sombong,
durhaka dan dzalim. Dia mengaku diri sebagai “Tuhan” dan tidak mau lagi
mengakui adanya Allah SWT.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang
terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya,
diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa
yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan
segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa menerima kemauan
raja. Dalam waktu yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu,
sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah
Alloh SWT.
Pada suatu hari dalam perayaan ulang
tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di
atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa
ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, yang
ingin melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan
bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang
dipakainya jatuh dari kepalanya. Kemudian raja itu sendiri jatuh
terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri
di sebelah kanan, seorang yang pintar bernama Tamlikha, memperhatikan
keadaan sang raja dengan seksama. Ia berpikir, lalu berkata di dalam
hati : “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut
pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air
kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat tuhan”.
Enam orang pembantu raja itu tiap hari
selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara
bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan
lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan
minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum.
Teman-temannya bertanya : “Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan
dan tidak mau minum ?” “Teman-teman…” sahut Tamlikha, “hatiku sedang
dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin
minum, juga tidak ingin tidur”.
Teman-temannya bertanya: “Apakah yang
merisaukan hatimu, hai Tamlikha ?”, “Sejak lama aku memikirkan soal
langit” ujar Tamlikha menjelaskan. Aku lalu bertanya pada diriku sendiri
: “siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa
aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang
menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di
langit? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang
bertaburan?”. Kemudian kupikirkan juga bumi ini: “Siapakah yang
membentang dan menghamparkannya di cakrawala? Siapakah yang menahannya
dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak
miring?”. Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri : “Siapakah
yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang
memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada
yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius“.
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut
dihadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata : “Hai Tamlikha
dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam
hatimu. Oleh karena itu, sebaiknya engkau tunjukkan jalan keluar bagi
kita semua?” “Saudara-saudara…” kata Tamlikha, “baik aku maupun kalian
tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim
itu, menuju kepada Raja pencipta langit dan bumi..” “Kami setuju dengan
pendapatmu…” sahut teman-temannya. Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak
pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang
sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantung bajunya,
lalu ia berangkat dengan berkuda bersama-sama dengan lima orang
temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari
kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya : “Saudara-saudara, kita
sekarang sudah bebas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang
turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan
Allah SWT akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar”.
Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7
farsakh, sampai kaki mereka bengkak dan berdarah karena tidak biasa
berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala
menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya : “Hai
penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?”, “Aku
mempunyai semua yang kalian inginkan” sahut penggembala itu. “Tetapi
kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian
pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku mengenai keadaan
kalian?”. “Ah.., susahnya orang ini..” jawab mereka “Kami sudah memeluk
suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika
kami mengatakan yang sebenarnya?” “Ya..” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu
menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita
mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan
sambil menciumi kaki mereka, ia berkata : “Dalam hatiku sekarang terasa
sesuatu seperti yang ada didalam hati kalian. Kalian berhenti sajal
dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada
pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian”.
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti
menunggu. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan
kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan
kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.
Waktu cerita Imam Ali AS, sampai di
situ, salah satu pendeta Yahudi bergegas berdiri dan bertanya lagi,
sambil berkata : “Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan
apakah warna anjing itu dan siapakah namanya ?”. “Hai saudara saudar
Yahudi…” kata Imam Ali bin Abi Thalib KW, memberitahukan, “kekasihku
Muhammad Rasulullah SAW, menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu
berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian
itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya
: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia
kita? Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja
dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan
teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan
mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali : “Hai orang-orang,
mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan
selain Allah, tak ada yang menyekutuka-Nya. Biarlah aku menjaga kalian
dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada
Allah SWT”. Anjing itu akhirnya dibiarkan mengikuti mereka. Mereka pergi
mengikuti ajakan penggembala untuk naik ke sebuah bukit, lalu
bersama-sama mereka mendekati sebuah gua.
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah
itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata : “Apakah nama
bukit itu dan apakah nama gua itu?” Imam Ali as, menjelaskan : “bukit
itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga
dengan nama Kheram”.
Imam Ali AS, melanjutkan ceritanya,
secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur
mata air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang
tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk
berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak mengikuti mereka,
berjaga-jaga sambil menjulurkan kedua kaki depannya untuk
menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah SWT, memerintahkan Malaikat
Maut supaya mencabut nyawa mereka dan kepada masing-masing orang dari
mereka, Allah SWT menugaskan dua Malaikat untuk bertugas membolak-balik
tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah SWT, lalu memerintahkan matahari
supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari
arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai
meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru
saja selesai berpesta dan ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia
mendapatkan jawaban bahwa mereka telah melarikan diri. Raja Diqyanius
sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat
menelusuri jejak enam orang pembantunya yang melarikan diri. Ia naik ke
atas bukit kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya
yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia meyakini
bahwa mereka adalah pembantunya yang melarikan diri dan memastikan
mereka benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata :
“Kalau aku ingin menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang
lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka
sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera
datang ke mari”. Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka
diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan serabuk
(bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para
pengikutnya : “Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau
benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan
mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu”.
Dalam gua yang tertutup rapat itu,
mereka tinggal selama 309 tahun. Setelah waktu yang sangat lama tersebut
berlalu, Allah SWT mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari
mulai memancarkan sinarnya, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari
tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya :
“Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata
air”.
Setelah mereka berada di luar gua,
tiba-tiba mereka melihat mata air itu sudah mengering kembali dan
pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Kemudian Allah SWT
membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya, “Siapakah
diantara kita yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang
untuk mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya
berhati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan
lemak babi”.
Tamlikha kemudian berkata, “Hai
saudara-saudaraku, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan.
Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku
in”. Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke
kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum
pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahuinya.
Setibanya ia dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar
di angkasa bertuliskan, “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh
Allah”.
Tamlikha berhenti sejenak memandang
bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri,
“Mungkin aku ini masih tidur”. Setelah agak lama memandang dan mengamati
bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak
orang sedang membaca Kitab Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang
belum pernah ia kenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada
seorang penjual roti, “Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?”,
“Aphesus” sahut penjual roti itu.
“Siapakah nama raja kalian?” tanya
Tamlikha, “Abdurrahman” jawab penjual roti. “Kalau yang kau katakan itu
benar” kata Tamlikha, “apa yang kualami sungguh aneh sekali. Ambillah
uang ini dan berilah makanan kepadaku..” Melihat uang itu, penjual roti
terheran-heran, karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman dulu,
yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu
kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib KW, “Hai
Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa
nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru”. Imam Ali AS,
menjelaskan, “Kekasihku Muhammad Rasulullah SAW, menceritakan kepadaku,
bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah
tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru”.
Imam Ali As kemudian melanjutkan
ceritanya : Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha, “Aduhai, alangkah
beruntungnya aku..! Rupanya engkau baru menemukan harta karun..?
Berikan sisa uang itu kepadaku..! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan
kepada raja..?”. “Aku tidak menemukan harta karun” jawab Tamlikha, “Uang
ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma
seharga tiga dirham, aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang
semuanya menyembah Diqyanius…!”.
Penjual roti itu marah, lalu berkata,
“Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela
menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku…? Lagi pula engkau telah
menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan,
padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam..! Apakah
dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku..?”.
Tamlikha lalu ditangkap, kemudian dibawa
pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berpikir
dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa
Tamlikha, “Bagaimana cerita tentang orang ini…?”.
“Dia menemukan harta karun..” jawab
orang-orang yang membawanya. Kepada Tamlikha, raja berkata, “Engkau tak
perlu khawatir..! Nabi Isa AS, memerintahkan supaya kami hanya memungut
seperlima saja dari harta karun itu, serahkanlah yang seperlima itu
kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat…”. Tamlikha menjawab,
“Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun…! Aku adalah
penduduk kota ini…!”. Raja bertanya sambil keheran-heranan, “Engkau
penduduk kota ini…?”, “Ya.. Benar” sahut Tamlikha, “Adakah orang yang
kau kenal ?” tanya raja lagi. “Ya.. ada,” jawab Tamlikha. “Coba sebutkan
siapa namanya…?” tutur raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih
1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau
oleh orang lain yang hadir mendengarkan saat itu. Mereka berkata, “Ah…,
semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang.
Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini ?”, “Ya.. tuanku..”
jawab Tamlikha, “Utuslah seorang menyertai aku!”.
Raja kemudian memerintahkan beberapa
orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke
sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha
berkata kepada orang yang mengantarkan, “Inilah rumahku..!”
Pintu rumah itu lalu diketuk dan
keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di
bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi
mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya
kepada orang-orang yang datang, “Kalian ada perlu apa ?”.” Kami utusan
raja yang menyertai Tamlikha, Orang muda ini mengaku rumah ini adalah
rumahnya…!”.
Orang tua itu marah, memandang kepada
Tamlikha dan sambil mengamati dia bertanya, “Siapa namamu?”, “Aku
Tamlikha anak Filistin…!”, Orang tua itu lalu berkata, “Coba ulangi
lagi…!” Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk
lutut di depan kaki Tamlikha sambil berkata, “Ini adalah datukku..!
Demi Allah, dia adalah salah seorang di antara orang-orang yang
melarikan diri dari Diqyanius raja durhaka”, kemudian diteruskannya
dengan suara haru, “dia lari berlindung kepada yang Maha Perkasa,
Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa AS, dahulu telah memberitahukan
kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup
kembali…!”.
Peristiwa yang terjadi di rumah orang
tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja
segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah
orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda.
Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak
beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya,
“Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?”.
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu,
bahwa semua temannya masih berada di dalam gua. Pada masa itu kota
Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam
dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu
bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,”
demikian Imam Ali AS, melanjutkan ceritanya.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih
berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada
dua orang bangsawan dan para pengikut mereka, “Aku khawatir kalau sampai
teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata.
Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh
karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan
menemui dan memberitahu mereka”.
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha
masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya
berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha
mereka berkata, “Puji dan syukur bagi Alloh yang telah menyelamatkan
dirimu dari Diqyanius”.
Tamlikha mengelak, “Ada urusan apa
dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di
sini?”, “Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja” jawab mereka.
“Tidak…!” sangkal Tamlikha, “Kalian sudah tinggal di sini selama 309
tahun..! Diqyanius sudah lama meninggal dunia..! Generasi demi generasi
sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada
Allah yang Maha Agung..! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan
kalian…!”.
Teman-teman Tamlikha menyahut, “Hai
Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang
menggemparkan seluruh jagad?”, “Lantas apa yang kalian inginkan?”
Tamlikha balik bertanya, “Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan
berbuat seperti itu juga” jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan
ke atas, kemudian berdoa, “Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau
perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami
sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang
lain…!”.
Alloh SWT mengabulkan permohonan mereka,
lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka.
Kemudian Alloh SWT melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang
bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar
selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak
dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat
itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya
kekuasaan Alloh SWT. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa
yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang
diperlihatkan Allah SWT kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu
berkata, “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku..! akan ku dirikan
sebuah tempat ibadah di pintu gua itu”. Sedang bangsawan yang beragama
Nasrani berkata pula, “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku..! Akan
ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu”. dua orang bangsawan itu
bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan
Nasrani dikalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam.
Sampai di Imam Ali bin Abi Thalib KW
berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada
pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, “Itulah, hai Yahudi, apa yang
telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak
bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa
yang tercantum dalam Taurat kalian ?”.
Pendeta Yahudi itu menjawab, “Ya Abal
Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf
pun..! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi,
sebab aku telah bersaksi, Bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau
orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini…!”.
Demikianlah cerita tentang para
penghuni gua (Ash-habul Kahfi), nukilan dari kitab Qishosul Anbiya yang
tercantum dalam kitab “Fadho’ilul Khomsah” Minas Shihohis Sittah,
tulisan As Sayyid Murtadho Al Faruz Aabaad.
Semoga kisah ini bisa membukakan pintu hidayah dan mengokohkan keimanan kita. Amin.
Segala Puji Bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam.