Salamun Alaikum,Alhamdulillah artikel ini bisa saya muat dengan izin Allah,sudah lama pengen curhat tapi selalu saja ada halangannya.FANA adalah Titik penting seorang salikin yang sedang berjalan
menuju Allah SWT.Sebuah keadaan
dimana ke-diri-an (kehambaan) seseorang telah “tiada”. Dalam situasi demikian
bagi salikin yang bersangkutan tidak ada lagi yang hidup kecuali Allah SWT, dan sirnalah semua yang tampak.
Yang dimaksud dengan fanâ’ (hilang)
di sini bukan fana’ ? al-jism atau fana’ secara lahiriah. Tapi fana’ secara
maknawiah, yaitu fana’ atau hilang dari wilayah akidah. Fana’ ?llah dengan
baqâ’ billâh. Fana’ ?llah konsep dasarnya adalah La ilaha Illa Allah. Semua hal
hanya untuk diri-Nya dan tidak untuk yang lainnya. Sebagai bukti konkret orang
yang telah fanâ’ adalah ia senantiasa meyakini konsep la hawla wa laquwwata
illa billah al ‘aliyy al adzîm. Tak ada kekuatan diri, tak ada kemampuan diri,
kecuali kekuatan dan kemampuan diri Allah SWT. Pada diri Rasulullah SAW kondisi
fana tampak pada periode Mekkah. Semua ketakwaan beliau dan berbagai mukjizat
yang terjadi selama periode Mekkah merupakan bukti kuat akan hal itu.
Seorang sâlikîn yang tengah fana’
tampak jelas dalam sifat kesehariannya. Berbagai emosi dan reaksi negatif yang
biasa bersemayam dalam diri telah berubah menjadi sebaliknya. Tenang, kuat, dan
sabar ketika menghadapi gelombang kehidupan merupakan bukti kuat bahwa
seseorang telah fana. Bahkan, ketika dicaci-maki oleh banyak orang pun ia tidak
serta merta balas memaki atau membenci. Karena, baginya yang penting Allah SWT
tidak murka dan membencinya. Konsentrasinya hanya pada Sang Khalik. Semua yang
dilakukannya senantiasa berangkat dari kesadaran kehambaan yang harus
senantiasa memiliki catatan baik di sisi Allah SWT.
Dalam keseharian, orang yang fana’
sepertinya tampak masa bodoh dan asyik dengan dirinya sendiri. Berbagai hal di
luar dirinya hanya mendapat sedikit perhatian dan sedikit memberi dampak
padanya. Bahkan ketika ia tengah dalam keadaan serba berkekurangan, ia tetap
bergeming. Ia tetap bersyukur dan senantiasa mengucap alhamdulillâh.
Fana’ bagi seseorang yang belum
berkeluarga barangkali tidak menjadi masalah. Tapi lain halnya bila ia telah menikah
atau bahkan harus menanggung jawabi orang seisi rumah. Karena sikap
kesehariannya terkesan santai dan tidak peduli, sudah barang tentu membuat
khawatir banyak orang. Meski, sesungguhnya fana yang benar adalah fanâ’yang
tetap pada kesadaran kemanusiaannya, dan tetap sadar pada tanggung jawab
sosialnya.
Seseorang yang masih termasuk dalam
kategori seorang salikîn, fana-nya masih kerap tidak stabil. Ia sering fana’
hanya untuk hal-hal yang enak baginya, tapi tidak fana’ ketika menghadapi hal
buruk yang tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Karena itu, agarfana’ yang
terjadi pada seorang salikin adalah fana’ yang benar menurut agama dan fanâ’nya
stabil, dibutuhkan bimbingan seorang Mursyid. Tidak hanya fana’ ketika dalam
kesenangan, tapi juga mampu fana’ dalam kesulitan. Karena fana’ dalam bimbingan
seorang Mursyid adalah fana’ yang terstruktur, yakni dengan ilmu dan amal yang
disebut jalan mutawasith pertengahan). Sehingga yang terjadi adalah fana’ yang
tidak membuat orang disekelilingnya menjadi gelisah dan marah. Karena ia tetap
hidup normal dan menjalankan kewajiban sosialnya dengan baik, namun
orientasinya tetap pada hati nurani.
Zaman dahulu, proses fana’ dilalui
lewat berbagai proses yang terkadang sulit diterima oleh akal, seperti khalwat
di gua hingga ditidurkan selama ratusan tahun. Namun tentu saja hal itu bisa
terjadi karena situasi dan kondisi zamannya memang berbeda dengan sekarang.
Maka, proses pembelajaran dan laku olah spiritualnya pun berbeda. Contohnya, di
zaman sekarang banyak orang lebih mengutamakan syariatnya daripada tauhidnya.
Sehingga, akhirnya keislamannya pun hanya di permukaan, tidak menyentuh
keislaman yang mendalam-Islam yang sesungguhnya.
Tantangan lain, kalau dulu orang
melakukan khalwat dengan jalan menyendiri di tempat-tempat sepi macam di gua,
maka sekarang orang dituntut untuk bisa khalwat dan ‘uzlah di tengah-tengah
masyarakat ramai. Artinya, hati kita tetap terpaut dengan Allah SWT meski ?sik
jasmaniah kita sibuk dengan kegiatan kemasyarakatan, bekerja mencari nafkah, dan
kesibukan mengurus keluarga.
Harus disadari betul bahwa yang
khalwat itu adalah khalwat hati bukan jasad. Dan kesadaranpun harus
terusdijaga, bahwa pengamalan ma’rifah, pengamalan hakikat, dan pengamalan
aqidah merupakan bagian dari perjalanan kita menuju Allah SWT, dan kemampuan
kita melakukan khalwat juga merupakan anugerah-Nya. Maka, semua itu harus
dikembalikan kepada Allah SWT. Jadi, yang khalwat itu benar-benar bukan
jasadnya, melainkan hati dan pikirannya. Hati harus senantiasa menghadirkan
Allah SWT, belajar pada setiap keadaan, dan belajar pada setiap persoalan,
serta mengembalikan semua yang terjadi pada Allah SWT. Bahkan, bagi seorang
mursyid pun khalwat juga merupakan anugerah. Tidak ada seorang pun yang bisa
khalwat kalau bukan karena mendapat anugerah-Nya.
Kata Syaikh Abd al-Qâdir
al-Jailanî, banyak orang yang tersesat oleh jin dan iblis ketika berkhalwat.
Hal itu bisa terjadi karena minimnya ilmu pengetahuan dan tidak mendapat
bimbingan dari seorang Mursyid. Syaikh Abd al-Qâdir al-Jailanî demikian khusyuk
dan bergeming ketika tengah ber-khalwat meski digoda oleh iblis. Hanya Allah,
Allah dan Allah yang memenuhi ruang batin beliau. Keyakinan bahwa bukan ilmu
yang ada padanya yang memberinya kekuatan, namun Allah SWT lah yang memberinya
kekuatan dan kemampuan. Akhirnya, beliau pun selamat dan berhasil menyelesaikan
khalwat-nya dengan baik.
Di zaman yang serba sibuk sekarang
ini, kita tidak perlu melakukan khalwat munfarid atau khalwat di suatu tempat
yang sepi. Kita justru dituntut mampu melakukan khalwat hakiki (di dalam hati).
Hati senantiasa memandang kepada Allah SWT meski ?sik jasmaniah sibuk menjalani
hidup keseharian.
Khalifah
di Muka Bumi
Hakikatnya, manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Namun, tidak
sembarang orang bisa disebut khalifah. Yang bisa benar-benar di katakan
khalifah adalah mereka yang sudah “sampai” (secara iman-hati-piki-ran) kepada
Allah SWT. Sedangkan mereka yang belum sampai belum pantas menyandang khalifah,
karena berarti ia belum punya bekal sebagaimana Nabi Adam AS yang diberi bekal
oleh Allah SWT nama-nama di bumi dan di langit. “Barang siapa yang
ma’rifatullâh maka tidak ada sesuatu apa pun yang tersembunyi di langit maupun
di bumi.” Artinya, ia paham dengan basyirah al-qalbi maupun ladunni. Bahkan,
bila ada sesuatu yang tersembunyi sekalipun dia paham, apa yang belum
terjadipun dia tahu karena ia diberitahu oleh Allah SWT. Itulah ilmu ladunni.
Ada pula orang yang disebut Âlim
al-Rabbânî, yaitu orang yang ‘alim (paham-ahli) dengan Tuhannya, bukan ulama
lahiriah. Seorang ulama lahiriah biasanya hanya mampu membaca kitab, sedangkan
seorang professor biasanya hanya fasih berwacana tentang agama maupun tasawuf
(ia tidak mengamalkan secara mendalam). Berbeda dengan orang yang Âlim
al-Rabbânî, yang diberi ilmu ladunni oleh Allah SWT, yang setiap saat
membutuhkan ilmu dengan mudah ia memperolehnya, namun sembari tetap
mengembalikan semua ilmunya kepada Allah SWT. Orang semacam itu tidak pernah
kehabisan jawaban. Semakin banyak orang bertanya padanya, makin mudah ia menjawabnya.
Orang yang Âlim al-Rabbânî juga
orang yang sosoknya low pro?le (rendah hati). Ia tidak akan mengumbar kata-kata
kalau tidak ada yang bertanya. Kecuali pada waktu-waktu tertentu ketika ia
menjalankan rutinitas tugasnya sebagai ulama. Seperti Rasulullah SAW yang tidak
akan mengeluarkan (ilmunya) bila tidak ditanya oleh umatnya. kecuali ketika
beliau harus menyampaikan wahyu. Makanya, semua asbâb al-nuzûl dan asbâb
al-wurûd Al-Quran dan Al-Hadis itu merupakan hasil pertanyaan dari para
sahabat. Begitu juga orang yang dekat dengan Allah SWT. Ia akan diberikan ilham
yang sifatnya setingkat dengan wahyu, dan ?rman Allah akan jelas dan gamblang
apabila penjelasannya didasari oleh ilham. Cara Allah memelihara Al-Quran tidak
sebatas penjilidan. Karena, penjilidan bisa dilakukan oleh siapa saja. Tapi
pemahaman Al-Quran hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bersih hatinya
dan diangkat oleh Allah SWT. Sebagaimana janji Allah SWT, “Kami yang menurunkan
Al-Quran dan kami yang memelihara.” Maka Allah SWT menurunkan orang-orang yang
diisi hatinya dengan ilham untuk mengurai Al-Quran yang sesungguhnya bukan
semena-mena dalam bentuk ta’wil.
Ilham
dan Wahyu
Turunnya ilham itu sama seperti wahyu. Terkadang mudah dan nikmat, terkadang
diterima dengan rasasakit di kepala, dan lain sebagainya. Wahyu dengan ilham
tidak berbeda jauh. Bedanya kalau ilham itu tidak boleh ditulis karena akan
mengganggu, sebagaimana Rasulullah SAW yang tidak pernah menyuruh sahabat untuk
menulis hadis, meski bila para sahabat menulis pun tidak apa-apa, karena bukan
merupakan sebuah larangan keras.
Setiap salikin dianjurkan untuk
menimba ilmu dari yang “hidup” , artinya ia menimba ilmu dari seorang mursyid.
Sebagaimana Abu Yazid menyatakan, “Hai kamu,
mengambil ilmu dari mayit ilal mayit. Kamu ambil ilmu dari buku (benda mati),
kemudian diajarkan ke orang dan orang itu juga mati, maka ilmunya tidak akan
berkembang dan tidak ada berkahnya.” Karena
yang benar adalah mengambil ilmu dari yang “hidup” yang tidak pernah mati.
Banyak ulama yang belajar dengan, katanya. Katanya kitab ini, dan katanya kitab
itu. Dan, bagi siapa saja yang mengajarkan ilmu dan dia merasa bisa
mengajar-berarti dia hamba, dan hamba itu mati. Lain halnya seorang Mursyid, yang
tidak pernah merasa memberi sesuatu (ilmu), dan tidak pilih kasih pada
murid-muridnya. Semua sâlikîn diperlakukan sama dan mendapat perhatian serta
kasih sayang yang sama darinya.
Apakah Kesimpulan Hakekat FANA sebenarnya?Fana bukan hilang atau lenyap,justru FANA adalah kesadaran Intelektual Tinggi,sehingga penglihatan mata orang yang FANA adalah TAJAM.
0 komentar:
Posting Komentar