Syaikh Abdul Qadir al-Jailani  di dalam kitab sir al-asrar  
menguraikan makna sufi dan tasawufnya tersebut bahwa inti dari tasawuf, 
sesuai dari huruf-hurufnya.
Huruf pertama adalah “ta” yang berarti taubah.
Pintu taubat adalah selalu merasa khawatir tentang kedudukan dirinya 
di sisi Allah. Pengertian taubat di sini meliputi dua macam taubat yakni
 taubat lahir dan taubat batin. Yang dimaksud dengan taubat lahir adalah
 menyesuaikan perbuatan dan perkataannya dengan ketaatan kepada Allah 
dan Nabi-Nya. Sedangkan taubat batin sama artinya dengan tashfiyah 
al-qalb, penyucian hati dari sifat-sifat yang tercela, untuk kemudian 
diganti dengan sifat-sifat yang terpuji. Inti dari taubat adalah 
mengerahkan hati sepenuhnya untuk sampai kepada tujuan utamanya, yakni 
Allah al-Haq.
Huruf kedua adalah “shad” yang berarti “shafa” yang berarti bersih dan bening.
Makna shafa’ disini juga meliputi dua macam shafa’, yakni shafa’ 
al-qalb dan shafa as-sirr. Maksud dari shafa’ al-qalb adalah 
membersihkan hati dari sifat-sifat manusiawi yang kotor dan kenikmatan 
dunia, seperti banyak makan dan minum, banyak tidur, banyak bicara yang 
tidak berguna, cinta harta, dan lain lain. Untuk membersihkan hati dari 
yang demikian itu, caranya adalah dengan memperbanyak dzikir kepada 
Allah dengan suara jahr (keras) sampai pada tingkatan takut. Sesuai 
dengan firman Allah:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ 
قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا
 وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (سورة الأنفال: ٢)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka 
yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila 
dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka 
(karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal, (QS. al-Anfaal: 2)
Sedangkan maksud dari shafa as-sirr adalah mencintai Allah dan 
menjauhi segala sesuatu selain Allah swt dengan cara senantiasa 
melantunkan asma’ Allah melalui lisannya secara sirr. Apabila keduanya 
telah dilaksanakan dengan sempurna maka, sempurnalah maqam huruf ‘shad’ 
ini.
Huruf ketiga adalah ‘waw’ yang bermakna wilayah.
Yaitu keadaan suci dan hening yang ada pada jiwa kekasih Allah. 
Keadaan ini tergantung pada kesucian seseorang yang tercermin dalam QS. 
Yunus ayat 62 dan 64:
أَلآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونَ (سورة يونس: ٦٢)
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada 
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” 
(QS. Yunus:62)
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلأَخِرَةِ 
لاَتَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (سورة 
يونس: ٦٤)
Artinya: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan 
(dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat 
(janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” 
(QS. Yunus :64)
Orang yang sampai pada tahapan ini, mendapatkan kesadaran dan cinta 
sepenuhnya dari Allah, sehingga akhlaknya adalah akhlakNya. Dan segala 
tindak tanduknya bersesuaian dengan kehendakNya. Sebagaimana dalam 
hadits qudsi, Allah berkata: “…Jika Aku sudah mencintainya, Aku menjadi 
penglihatan, pendengaran, tangan, dan penolong baginya…”
Huruf yang terakhir adalah ‘fa’ yang melambangkan fana’ di dalam kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan segala macam sifat-sifat manusia dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah. Terlepas diri dari makhluk dan kedirianya serta sesuai dengan kehendak-Nya. Jika sudah demikian, maka ke-fana’-an manusia akan abadi (baqa’) bersama Tuhannya dan keridhaan-Nya.
Huruf yang terakhir adalah ‘fa’ yang melambangkan fana’ di dalam kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan segala macam sifat-sifat manusia dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah. Terlepas diri dari makhluk dan kedirianya serta sesuai dengan kehendak-Nya. Jika sudah demikian, maka ke-fana’-an manusia akan abadi (baqa’) bersama Tuhannya dan keridhaan-Nya.
Pengertian fana’ al-Jailani ini, jika disandingkan dengan pandangan 
Ibrahim Madkur ketika mengomentari istilah fana’-nya para sufi falsafi, 
sangat identik dengan pandangan mereka. Menurut Ibrahim Madkur, pada 
dasarnya teori fana yang didengungkan oleh para sufi akhirnya hendak 
menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam 
sekitar, terhapusnya seorang hamba dalam kebesaran Tuhan, sirnanya 
seorang hamba terhadap wujud dirinya dan kekal di dalam wujud Tuhannya 
setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa. Untuk 
menjelaskan keabadian seorang hamba, al-Jailani lebih hati-hati agar 
tidak disalah pahami. Menurutnya, keabadian manusia, disebabkan amal 
shalihnya, sebagaimana yang disinggung oleh Allah dalam firmanNya:
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فِلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ 
يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ 
وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَكْرُ 
أُوْلَئِكَ هُوَ يَبُورُ (سورة فاطر: ١٠)
Artinya: “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah 
kemuliaan itu semuanya.Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik 
dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (QS. Fathir:10)
Meskipun al-Jailani tidak mensistematisasikan tasawufnya dalam bentuk
 maqamat-maqamat atau ahwal-ahwal secara berurutan seperti kebanyakan 
sufi, namun ketika melihat dari ulasan al-Jailani tentang pengertian 
tasawuf secara harfiah, telah mengarahkan perjalanan ruhani seseorang 
dalam untuk melewati tahap-tahap tertentu, mulai dari taubat dengan 
macam-macamnya, pembersihan hati dengan macam-macamnya, yang berakhir 
pada tingkatan fana’.
Jika dikatakan bahwa memilih hidup sufi berarti memilih hidup dengan 
menjauhi dunia, maka sekali-kali al-Jailani tidak pernah mempunyai sikap
 hidup mengasingkan diri –dalam arti membenci dunia- meski ia menolak 
untuk menikmati keinginan-keinginannya yang menenggelamkan dan 
mengasyikkan hati, sehingga membuat lupa kepada penciptanya. Mengenai 
permasalahan ini al-Jailani berkata:
“Kuasai dunia, jangan dikuasai olehnya. Milikilah dunia, jangan 
dimiliki dunia. Setirlah dunia, jangan diperbudak olehnya. Ceraikanlah 
dunia, jangan kamu diceraikan olehnya. Jangan kamu dibinasakan olehnya. 
Tasarufkanlah dunia, karena sabda Nabi: Sebaik-baik harta adalah harta 
hamba yang saleh.”
Al-Jailani mengibaratkan dunia bagai sungai besar yang deras airnya, 
setiap harinya bertambah. Dan perumpamaan nafsu hewani manusia juga 
tidak ubahnya seperti sungai itu, yang tamak akan segala kenikmatan 
duniawi. Ia memandang kehidupan yang sejati adalah kehidupan di kemudian
 hari, yaitu akhirat. Sesuai dengan sabda Nabi: “Tidak ada kehidupan 
selain kehidupan akhirat nanti.” Dan, “Dunia adalah penjara bagi 
orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir.”
Dunia dipandang olehnya sebagai proses kontinuitas kehidupan akhirat 
yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Sufisme dalam pandangan al-Jailani 
merupakan sufisme yang progresif, aktif dan positif, tidak meninggalkan 
gelanggang dunia sebagai mazra’ah al-akhirah. Ia memandang dunia dalam 
keseimbangan akhirat. Sebagaimana firmanNya:
وَابْتَغِ فِيمَآءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ ولاَتَنْسَ 
نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن َمَآأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ 
وَلاَتَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ 
الْمُفْسِدِينَ (سورة القصص: ٧٧)
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah 
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan 
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang 
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu 
berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai 
orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. 28:77)
Konsepsi sufistik al-Jailani adalah konsepsi sufistik yang murni, 
dilandasi oleh ketentuan syari’at Ilahi. Ia melarang seseorang mencebur 
dalam dunia sufi sebelum orang itu matang dan kuat syariatnya. Sebab, 
hubungan syari’at di antara thariqah, ma’rifah, dan haqiqah adalah 
sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. “Syari’at laksana 
batang pohon, thariqah adalah cabang-cabangnya, ma’rifah adalah daunnya 
sedangkan haqiqah adalah buahnya” Jadi untuk memetik buahnya seorang 
sufi harus melalui tahap pengamalan syari’at dengan istiqamah.


subhanallah
BalasHapus