Inilah risalah singkat menjelaskan tentang martabat 7 (tujuh). Karena Martabat 7 (tujuh) itulah tahkiqnya paham Ma’rifat atau sempurna bagi Aulia Allah yang semuanya mempunyai karamah besar dalam sejarah Ahlul Sunnah Waljama’ah.
Adapun yang mula mula menyusun martabat 7 (tujuh) itu ialah SYEIKH 
AHMAD QUSASI BIN MUHAMMAD AL MADANI  WALI KUTUB RABBANI RIJALUL GHAIB 
yang mahsyur itu. Kemudian diteruskan lagi oleh murid muridnya yang 
bernama SYEIKH ABDURRAUB, SYEIKH MUHAMMAD SEMAN dan lain lainnya yang 
semuanya berderajat Wali Kutubburrabani.
Adapun marabat 7 (tuju) 
itu adalah berdasakan hokum AKLI dan NAKLI, untuk memahami Rahasia 
kebesaran Nabi kita Muhammad SAW yang sebenar benarnya karena himpunan 
segala rahasia Allah itu adalah terhimpun pada Wujud diri Nabi kita yang
 bernama denan Muhammad itu dan kezahiran Nabi kita itu menurut 
kezahiran manusia biasa denan beribu berbapak dan sebagainya.
Adapun arti martabat itu ialah tingkatan kezahiran rahasia Allah Ta’ala dan bersusun.
Martabat AHDIAH
Martabat WAHDAH
Martabat WAHIDIYAH
Martabat ALAM ARWAH
Martabat ALAM MISAL
Martabat ALAM AJSAM
Martabat ALAM INSAN.
PENJELASAN SATU PERSATU.
1. MARTABAT AHDIAH
Martabat Ahdiah bermakna Keesaan dan hukumnya LAA TA’AIN. Artinya tiada
 ada sesuatu wujud yang terdahulu adanya, oleh karena itu hanya 
dinamakan “AL HAQ” artinya Keesaan Kesempurnaan Semata mata.
Seperti Hadis Nabi SAW “ WAKA HALLAHUWALA SYAIUM MA’AHU”
Artinya Adalah Allah itu Maha Esa dan tiada ada lainnya sertanya.
Maka martabat Ahdiah itu bukanlah bermakna bahwa ada sesuatu wujud yang
 terdahulu adanya dari pada Nur Muhammad atau wujud yang maujud adanya 
Nur Muhammad, tetapi adalah untuk menolak adanya Iktikad yang menetapkan
 bahwa ada lagi suatu wujud yang mengujudkan Nur Muhammad. Jadi jelasnya
 martabat 7 yakni Martabat Ahdiah itu adalah bermakna pengakuan kepada 
Ke ESAan, Kebesaran dan Kesempurnaan Nur Muhammad itu semata-mata. Oleh 
karena itu Martabat yang sebenar benarnya adalah 6 (enam) saja. Dan 
bukan 7 (tujuh), sejalan dengan ayat “FII SIT TATIAIYA MIN 
SUMMASTAWA’ALAL ‘ARSII” artinya Kesempurnaan kejadian semesta alam 
adalah didalam 6 (enam) masa.
Kemudian sempurnalah kebesaran Allah 
pada kejadian ARASY yang Maha …..itu, menurut hadis sahih “bahwa pada 
masa yang terakhir yakni yang kejadian sempurnalah kejadian Nabi Adam, 
dengan ditempatkan diatas muka bumi.
Adapun hakikat ARASY yang 
sebenarnya menurut paham Ma’rifat yang tahkik adalah terkandung pada 
isyarat isyarat huruf Nabi Adam itu sendiri, ialah Alif dan Dal itu 
mengisyaratkan kepada “AHMAD” dan “MIM” itu mengisyaratkan pada 
“MUHAMMAD”.
Oleh karena itu pada hakikatnya kezahiran Nabi Adam itu 
adalah menjadi Wasilah Ja’ani menjadi jalan bagi kezahiran kebesaran 
Nabi kita yang bernama Muhammad itu sendiri.
Didalam tafsir yang 
ma’I’tisar kebesaran Nabi kita yang bernama Muhammad itu telah berwujud 
suatu sinar yang sangat menakjubkan pada nabi dan rasul rasul yang 
terdahulu dan bahkan kebesaran itulah yang telah menjadi MU’JIZAD bagi 
Nabi nabi terdahulu, maka kebesaran itulah diisyaratkan dengan “ANNUR” 
didalam AL QUR’AN, dan ANNUR itu bukanlah berma’na cahaya, tetapi 
berma’na Keluasan, Kesempurnaan yang tiada terbatas dan tiada terhingga,
2. MARTABAT WAHDAH.
Adapun Martabat Wahdah berma’na wujud yang awal yang tiada ada 
permulaannya dan hukumnya “TA’INUL AWWALU” artinya wujud yang terdahulu 
adanya dari pada segala wujud yang lainnya, lagi tiada ada permulaannya.
 Itulah yang dinamakan HAIYUN AWWALU”, HAIYUN AZALI, HAIYUN IZZATI, 
HAIYUN HAKIKI, yakni bersifat HAIYUN yang sebenar benarnya QADIM yang 
NAFSIAH, SALBIAH, MA’ANI dan MANAWIAH, ZALAL, ZAMAL, QAHAR, KAMAL, 
itulah hakikat kebesaran Nabi kita itu yang bernama Muhammad Rasulullah 
Sallahu’alaihi Wasallam.
Maka Kandungan nama Muhammad itulah yang 
dinakaman dengan Wahdah. Yang menjadi jumlah dan himpunan “AF’AL, ASMA, 
SIFAT, adapun Zad hanyalah bagi MA’LUM YA’NI SENDIRINYA.
ILLAH 
tidak lain, dan dinamakan HAWIYYATUL’ALAMI” artinya Sumber segala 
kejadian semesta ala mini, dan dinamakan HADRATUS SARIZ artinya 
kebesaran yang dipandang pada tiap tiap yang maujud pada ala mini, 
itulah yang diisyaratkan dalam Al Qur’an “NURUN’ALA NURIN” artinya Nur 
yang sangat dibesarkan pada semesta alamini, yakni Nur yang hidup dan 
maujud pada tiap yang hidup sekalian ala mini atau Nur yang hidup dan 
menghidupkan.
Kebesaran hakikat Muhammad itulah yang sebenarnya 
dipuji dengan kalimah ALHAMDU karena kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD 
itulah yang diisyaratkan oleh kalimah ALHAMDU itu, yakni ALIF berma’na 
ALHAQ artinya KEESAAN, KEBESARAN NUR MUHAMMAD tajallinya ROH bagi kita. 
“LAM LATIFUM” artinya Kesempurnaan Nur Muhammad” tajallinya NAFAS bagi 
kita, “HA” HAMIDUN artinya Kesempurnaan Berkat Nur Muhammad tajallinya :
 HATI, AKAL, NAFSU PENGLIHAT, PENDENGAR, PENCIUM, PENGRASA, dan 
sebagainya bagi kita.
“MIM “ MAJIDUN” artinya Kesempurnaan Safa’at Nur Muhammad tajallinya bagi kita : IMAN, ISLAM, ILMU, HIKMAH, dan sebagainya.
“DAL” DARUSSALAMI” artinya Kesempurnaan Nikmat Nur Muhammad, tajallinya
 bagi kita : KULIT, BULU, DAGING, URAT, TULANG, OTAK, SUMSUM.
Maka itu adalah tajallinya bagi diri yang bathin, adapun tajalli bagi diri yang zahir adalah “ALIF” bagi kita,
“LAM” dua tangan bagi kita,
“HA” badan bagi kita, “MIM” Pinggang bagi kita dan
“DAL” dua kaki bagi kita.
Itulah yang diesakan dengan “ASYAHADU” yakni :
“ALIF” ALHAQ artinya Yang diEsaka dan yang dibesarkan.
“SYIN SYUHUDUL HAQ “ artinya Yang diakui bersifat Ketuhanan dengan sebenar benarnya.
“”HA” HADIYAN MUHDIYAN ILAL HAQ “ artinya Yang menjadi Petunjuk selain menunjuki kepada jalan/Agama yang Hak.
“DAL” DAIYAN ILAL HAQ artinya Selalu menyerukan atau yang selalu memberi Peringatan kepada Agama yang Hak.
“ALHAMDU” berma’na “ALHAYATU MUHAMMADU” artinya Kesempurnaan Tajalli Nur Muhammad.
Pahamnya ialah “ADAM” adalah nama adapt atau nama syari’at atau nama 
hakikat, atau nama kebesaran bagi kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD. Dan
 MUHAMMAD adalah nama keesaan yang menghimpunkan akan nama Adam, dan 
nama Allah.
Pada bahasa atau ilmu bahasa Arab “ADAM” itu damirnya “HU” dan MUHAMMAD itu damirnya “HU” dan ALLAH itu damirnya “HU”.
Pada ma’na Syari’at “HU” itu berma’na Dia Seorang Laki-laki, dan pada
Ma’na Hakikat adalah jumlah yang banyak rupa wujudnya, tetapi pada 
ma’na Hakikat “HU” itu adalah “Esa” tiada berbilang bilang. Itulah 
isyarat Al Qur’an “HUWAL HAYYUN QAOYYUM” yang HAIYUN awal tiada ada 
permulaannya “WAHUWAL’ALI YIL’AZIM” yang bersifat denga sifat sifat 
kesempurnaan lagi maha besar.
“HUAR RAHMANURRAHIM” yang bersifat rahman dan rahim.
“HUWARABBUL ‘ABSIL KARIM” yang memiliki Arasy yang Maha Mulia, Arasy 
itu ada nama kemuliaan Diri Nabi Kita itu yang sebenar benarnya, tetapi 
juga menjadi nama Majazi bagi sesuatu tempat, atau suatu alam Ghaib yang
 dimuliakan adanya, sama halnya seperti JIBRIL, MIKAIL, IZRAFIL, 
ISMA’IL, NUHAIL, SURAIL.
Menurut tafsir yang me’I’tibar semuanya 
dengan bahasa Suryani atau bahasa Arab di zaman Pura, yang bernama 
ABDULLAH maka yang … ABDULLAH itu adalah Nabi kita yang bernama MUHAMMAD
 itu sendiri.
Maka oleh karena itu didalam ayat “ISRA’” Nabi kita 
itu bernama ABDULLAH menunjukkan nama MUHAMMAD itu adalah juga Penghulu 
sekalian malaikat dan kebesaran nama MUHAMMAD itulah yang sebenar 
benarnya yang diisyaratkan oleh Al Quran dengan huruf huruf yang tidak 
dapat ditentukan atau dihinggakan namanya, karena bersangatan luas 
kandungannya mulai dari ALIF, LAM sampai NUR ada 29 tempat. Jadi 
semuanya nama-nama yang mulia, dilangit dan dibumi itu adalah nama 
kemuliaan dan kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD itu semata-mata, dan 
menjadi nama Majazi pada tiap tiap Wujud yang dimuliakan pada ala mini.
Itulah isyarat Al Qur’an “WAHUAL LAZI PISSAMA ILLAHUW WAFIL ANDHI 
ILLAHUN” dan dialah yang sebenar benarnya memiliki sifat sifat Ketuhanan
 yakni sifat kesempurnaan yang ada dilangit dan sifat sifat kesempurnaan
 yang ada di bumi, dan ayat “LAHUL ASMA’UL HUSNA” artinya hanyalah dia 
yang sebenar benarnya memiliki nama nama yang mulia dan yang terpuji 
yang telah maujud pada semesta alam ini.
Tetapi karena adab 
Syari’at dihukumkan yang haram haram yang najis najis seperti Anjing dan
 Babi dan sebagainya yang tidak layak kecuali bagi MALUM pada majelis 
mengajar dan belajar, yang boleh membicarakan masalah tersebut diatas. 
Yang ke 3 (tiga) berkata ASYSYEH BURHANUDDIN ARRUMI pernah berkata yang 
maksudnya “bahwa hakikat kebesaran Nur Muhammad itu menghimpunkan 4 
(empat) macam alam, dan hakikat alam itu hanya 4 (empat) macam saja 
himpunannya ialah :
Alam HASUT ialah alam yang terhampar langit dan 
bumi dan segala isinya dan bagi kita HASUT itu ialah seluruh jasad, 
Kulit, Daging, Otak, Sumsum, Urat, Tulang.
Alam MALAKUT ialah 
alam ghaib bagi malaikat malaikat, dan bagi kita malaku itu ialah Hati, 
Akal, Nafsu, Nafas, Penglihat, Pendengar, Pencium, Pengrasa dan 
sebagainya.
Alam JABARUT ialah alam ghaib bagi Arasy, Kursi, Lum 
Mahpus, Syurga, Neraga dan sebagainya dan bagi kita Alam Jabarut itu 
ialah Roh, Ilmu, Hikmah, Fadilat, Hasanah dan sebagainya, dari pada 
segala sifat yang mulia dan terpuji.
Alam LAHUT ialah alam 
ghaibbagi kebesaran Nur Muhammad dan bagi kita alam Lahut itu ialah 
Bathin tempat Rahasia, Iman, Islam, Tauhid dan Ma’rifat, maka ke 4 
(empat) macam alam itu adalah semuanya wujud kesempurnaan tajalli Nur 
Muhammad, dan 4 (empat) macam alam itu lagi terhimpun kepada kebenaran 
wujud diri Rasulullah yang bernama INSANUL KAMIL. Dan menjadi berkah dan
 FAIDURRABBANI yakni kelebihan yang harus bagi tiap tiap Mu’min yang 
ahli Tahkik, karena mereka itu adalah “WADA SYATUL AMBIYA” yakni 
mewarisi kebenaran bathin nabi nabi dan rasul rasul dan mu’min yang 
tahkik itulah yang dinamakan Aulia Allah, tetapi mu’min itu tiada 
mengetahui bahwa dirinya adalah Aulia yang sebenarnya.
Pendapat AL 
HALAD dan IBNU ARABI bahwa kedua walikutub itu pernah berkata yang 
maksudnya bahwa Muhammad itu ada dua rupa, yakni ada dua rupa dia atau 
ada dua Ma’na :
Muhammad yang berma’na QADIM AZALI, itulah diri 
Muhammad yang pertama, yang tidak ada AL MAUTU/mati padanya selama 
lamanya, jelasnya bahwa Muhammad diri yang pertama kita itu. Tulah yang 
awal NAFAS yang akhir SALBIAH, yang zahir MA’ANI dan yang bathin 
MA’NAWIYAH.
Muhammad yang berma’na Abdullah Insanul Kamil itulah 
diri Muhammad yang kedua, nama yang harus baginya, bersifat manusia 
biasa yang berlaku padanya “SUNNATU INSANIAH, KULLU NAFSIN ZA IKATUL 
MAUT”
Dalam pada waktu itu wajib kita meng’itikadkan bahwa jasad 
nabi kita itu adalah QADIM IDHOFI, yaitu tidak rusak selama lamanya 
dikandung bumi. Seperti hadis sahih AL BUKHARI/ riwayat BUKHARI : “ 
INNALLAHA AZZA WAJALLA HARRAMA’ALAL ARDHI AIYA KULLA AZSADAL AMBIYA” 
artinya Bahwasanya Allah Ta’ala yang maha tinggi telah mengharamkan akan
 bumi, bahwa bumi itu bisa menghancurkan akan jasad para nabi nabi. Maka
 tahkiknya paham kedua walikutub itu, supaya kita jangan terlihat dengan
 paham Nasrani, dengan Yahudi dan sebagainya. Maka kita tetapkan dahulu 
paham kita ialah :
Bahwa pada hukum adab, Nabi kita Muhammad yang
 Muhammad itu adalah manusia biasa seperti kita, hanyalah dilebihkan ia 
dengan kerasulan.
Bahwa tiap tiap manusia itu sendirinya baik pada 
hukum akal dan pada hukum nakli, ada mempunyai dua macam diri yakni diri
 pertama atau diri hakiki ialah Rohani, dan diri yang kedua yaitu diri 
Majazi ialah Jasmani, dan diri yang kedua atau diri jasmani itu karena 
kemuliaan bagi Rasulullah dinamakan INSANUL KAMIL.
Bahwa diri Hakiki
 yang berma’na Rohani itulah yang bernama Muhammad. Itulah yang Qadim 
Azali, Qadim Izzati, Qadim Hakiki, itulah ma’na yang dirahasiakan yang 
menjadi keesaan segala sifat kesempurnaan yang 99 (sembilan puluh 
sembilan) itu. Jalannya kebesaran wujud Roh Nabi kita itulah yang 
diisyaratkan oleh kalimah “HUALLAH” jadi ma’na Muhammad itu Tahkiknya 
adalah “AINUL HAYATI” yakni wujud sifat yang hidup dan yang 
menghidupkan. Maka itulah yang diisyaratkan dengan kalimah “LA ILAHA 
ILLALLAH” dan yang dibenarkan dengan kalimah “ALLAHU AKBAR” dan yang 
dipuji dengan “SUBBHANALLAH WALHAMDULILLAH dan sebagainya lagi. Itulah 
yang dipuji dengan “ALHAQ QULHAQ” oleh seluruh malaikat malaikat 
MUKARRABIN menurut tafsir yang me’itibar.
Bahwa diri Majazi yang 
berma’na Jasmani, itulah yang bernama Insanul Kamil. Itulah Muhammad 
majazi, yakni Muhammad yang kedua yang menempuh ALMAUTU pada adab, 
tetapi jasad Nabi itu adalah Qadim Idhofi. Jasad Nabi kita itulah 
diisyaratkan oleh ayat AL QUR’AN “PADABA RAKALLHU AHNAUL KHORIKIM: 
artinya Maha Sempurnalah Sifat Allah pada Kezahiran Wujud yang sebaik 
baik rupa kejadian itu”. Dan diisyaratkan Hadis Qudsi “ ZAHIRU RABBI WAL
 BATHINU ABDI” artinya Kezahiran sifat kesempurnaan Allah itu adalah 
maujud pada hakikat kesempurnaan seorang hamba yang bernama Muhammad 
Rasulullah itu. Yakni maujud dengan rupa Insanul Kamil, maka rupa wujud 
Insanul Kamil itulah yang diisyaratkan oleh AL QUR’AN dengan “AMPUSAKUM”
 artinya Wujud Diri Kamu Sendiri, yakni “WAFI AMPUSIKUM APALA TUBSIRUN” 
artinya Dan yang diri kami berupa wujud insane itu apakah tidak kamu 
pikirkan. Yakni yang menjadi diri hakiki atau diri pertama pada insan 
itu.
Pada hakikatnya adalah kebenaran dan kesempurnaan Roh Nabi 
kita yang bernama Muhammad itu semata mata, dan diri kedua itupun tidak 
lain karena itulah dinamakan insane yakni yang kedua, atau rupa Muhammad
 yang nyata, yang nasut, maka kebenaran Roh Nabi kita yang bernama 
Muhammad itulah yang diisyaratkan oleh Al Qur’an “ALLAHU NURUSSMA 
WATIWAL ARDHI” artinya Kebenaran Nur Allah itu ialah Maujud di langit 
dan dibumi. Dan ayat seterusnya “NURUN ‘ALA NURIN” artinya Nur yang 
hidup dan yang menghidupkan atas tiap tiap wujud yang hidup pada alam 
ini, itulah isyarat perkataan 4 (empat sahabat besar itu ialah yang 
berbunyi demikian :
Berkata Saidina Abu Bakar Siddik r.a.
ﻮﻤﺎﺮﺍﻳﺖ ﺷﻳﺎﺀﺍﻶ ﻮﺮﺍﻳﺖﺍﷲ
Artinya : Tidak aku lihat pada wujud sesuatu dan hanyalah aku lihat kebenaran Allah semata mata dahulunya.
Kata Umar Ibnu Khattab r.a :
“MAA RAAITU SYAIAN ILLA WARAAITULLAHU MA’AHU”
artinya Tidak aku lihat pada wujud sesuatu dan hanyalah aku lihat kebenaran Allah Ta’ala semata-mata kemudiannya.
Kata Usman Ibnu Affan r.a :
ﻮﻤﺎﺮﺍﻴﺕ ﺘﺒﻳﺎ ﺍﻶ ﻮﺮﺍﻴﺕ ﺍﷲ ﻤﻌﻪ
Artinya : Tidak aku lihat pada wujud sesuatuhanyalah aku lihat kebesaran Allah Ta’ala semata-mata besertanya.
Kata Ali Ibnu Abi Talib r.a :
ﻮﻤﺎﺮﺍﻴﺕ ﺷﻴﺎﺀﺍﻶ ﻮﺮﺍﻴﺕ ﺍﷲ ﻓﻴﻪ
Artinya : Tidak Aku lihat pada wujud sesuatu hanyalah aku lihat kebesaran Allah Ta’ala semata-mata maujud padanya.
Itulah isyarat ayat Al Qur’an “WAKULIL HAMDULILLAH SAYURIIKUM AAYAA 
TIHI FA’A HIRU NAHA” artinya Dan ucapkanlah puji bagi Allah karena 
sangat nampak bagi kamu pada wujud diri kami itu sendiri, akan tanda 
tanda kebesaran Allah Ta’ala, supaya kamu dapat mengenalnya
Dari itu
 dengan sabda Nabi Muhammad SAW “MAM TALABAL MAULA BICHAIRI NAFSIHI 
PAKAD DALLA DALALAM BA’IDA” artinya Barang siapa mengenal Allah Ta’ala 
diluar dari pada mengenal hakikat dirinya sendiri., maka sesungguhnya 
adalah ia sesat yang bersangat sesat. Karena hakikat diri yang 
sebenarnya, baik rohani dan jasmani tidak lain melainkan adalah wujud 
kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD itu semata-mata. Maka apa apa nama 
segala yang maujud pada alam ini, baik pada alam yang nyata dan alam 
yang ghaib adalah semuanya nama Majazi bagi kesempurnaan tajalli NUR 
MUHAMMAD.
Adapun ma’na Syahadat yang tahkikut tahkik “ASYHADUALLA
 ILAHA ILLALLAH” naik saksi aku bahwasanya Rohku dan Jasadku tidak lain,
 melainkan wujud kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD semata-mata. “WA 
ASYHADUANNA MUHAMMADARRASULULLAH” dan naik saksi Aku bahwa hanya 
MUHAMMAD RASULULLAH itu tiada lain, melainkan wujud kebenaran tajalli 
NUR MUHAMMAD yang sebenar benarnya.
Maka kesempurnaan musyahadah,
 murakabah, dan mukapahah, yakni keesaan pada diri adalah pada keluar 
masuknya nafas, karena pahak tahkik, tidak ada lagi “LAA” tetapi hanya 
“ILLAH” yakni tidak lain “NAFSI” ILLAHU” tidak lain DIRIKU. Melainkan 
wujud kebesaran NUR MUHAMMAD semata mata.
ZIKIR ZIKIR TAJALLI YANG HANYA DIBACA DIDALAM HATI SAJA
Sekali atau tiga kali, dan nafas ditarik dengan “HUU” kemudian ditahan dan lidah dilekukkan dilalangitan ialah.
INNI BIHAKKI MUHAMMADIN ALHAQ QULHAQ, artinya “YAHU” sesungguhnya 
diriku adalah kebesaran wujud NUR MUHAMMAD yang sebenar benarnya.
INNI BIHAKKI ZATUL BUKTI KHALISUL MUTLAK, artinya bahwa sesungguhnya 
diriku adalah wujud kebesaran NUR MUHAMMAD semata-mata yang Maha Suci 
lagi Esa tiada ada yang lainnya besertanya.
LAA MAUJUDUN ILLA NURUL HAK KUL HAK, artinya Tiada lain wujudku melainkan wujud kebenaran NUR MUHAMMAD yang sebesar besarnya.
Maka pilihlah yang mana dalam yang tiga ini yang dirasa mudah, dan tatkala keluar nafas bacalah dalam hati “ALLAHU AKBAR”.
.....xxxxx...........
Sebenarnya ramai orang awam termasuk para ulamak zahir menentang dan 
tidak bersetuju dengan ilmu mertabat tujoh ini. Namun di kalangan ahli 
hakikat dan makrifat perkara ini adalah sesuatu yang dapat di alami 
sendiri untuk mengesahkannya secara haqqul yaqin. Oleh itu, jangan 
salahkan ulamak-ulamak hebat kita yang dulu seperti Sh. Nafis al-Banjari
 atau Sh. Abdul Samad al-Palembangi atau Sh. Abdul Rauf al-Singkili , 
Sh. Hamzah al-Fansuri dan lain-lain , hanya kerana berdasarkan ilmu itu 
"tidak ada" pada zaman Rasulullah s.a.w  dan sahabat r.a mahupun tabiin 
(rah.). Ini kerana ilmu ini adalah hasil dari keyakinan yang mendalam 
dan para sahabat r.a dan tabiin (rah) dapat mencapainya secara jalan 
kasyaf  terus tanpa belajar. Itulah kekuatan cahaya Rasulullah s.a.w 
sehingga para sahabat r.a dari segi taraf melebihi makam wali qutb . 
Bagaimana kalau saya katakan bahawa ilmu ini adalah ilmu epistemologi ( 
asal usul kejadian kita) - ia bukan  ilmu yang baru , tetapi huraian 
lebih perinci. Para sahabat r.a pastinya merupakan golongan yang 
"mengenal diri dan mengenal Allah dengan sebenar-benar kenal " . Itu 
sebab mereka dapat berzuhud serta menjadi hamba Allah yang sejati.Kita 
hari ini kurang mendapat cahaya itu dan oleh itu harus belajar dari 
perincian dan huraian mereka yang sudah menempuh jalan ini. Mertabat 
tujoh adalah sebuah penafsiran terhadap makna "enam masa" ayat Quran 
iaitu surah Al- ‘Araf  7 :54:
"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah 
Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa lalu Ia 
bersemayam di atas Arasy; Ia melindungi malam dengan siang yang 
mengiringinya dengan deras (silih berganti) dan (Ia pula yang 
menciptakan) matahari dan bulan serta bintang-bintang, (semuanya) tunduk
 kepada perintahNya. Ingatlah, kepada Allah jualah tertentu urusan 
menciptakan (sekalian makhluk) dan urusan pemerintahan. Maha Suci Allah 
yang mencipta dan mentadbirkan sekalian alam."
Dan seterusnya ayat-ayat berikut tentang "enam masa" itu : 10:3 , 11:7, 25:59 , 32:4, 50:38 dan 57:4 ( 7 ayat semuanya!).
Dalam tareqat Chistiyyah huraian tentang "enam masa" itu dipanggil 
Tanazzulat Sittah atau Mertabat Enam , tetapi tak mengapa jika huraian 
yang lebih perinci menjadikannya 7 sebagaimana juga ada tareqat yang 
menghuraikan Lathaif ada 5 ada pula yang menghuraikannya kepada 7.  
Jadi, mereka yang "menentang" malah memperkecilkan ilmu mertabat 7 ini 
sebenarnya meremehkan ayat -ayat Quran ini. Malah sebahagian tareqat 
juga menjadikan ilmu mertabat 7 ini sebagai huraian kepada surah 
al-Ikhlas ( 4 ayat ) tetapi dihurai secara 7 alam , daripada alam 
keDiaan (HU Ahad) kepada alam insan ("ahad" juga, tetapi bermaksud 
tunggal /unggul seperti yang dibuktikan dengan cap jari dan DNA). 
3 alam/martabat yang awal iaitu ahadiyah, wahdiyah dan wahidiyah 
merupakan martabat alam qadim dan tidak boleh difikirkan secara 
rasional. Malah setahu saya seseorang manusia hanya paling boleh 
mengalami peristiwa "ke belakang" dengan kebenaran Allah (biiznillah) 
sampai ke alam "alastu birobbikum" saja dan tidak boleh ke belakang lagi
 (contohnya ke alam Nur Muhammad) .
Mereka yang membenci atau tak
 suka ilmu mertabat tujoh tak apa. Mereka mungkin hanya dapat 
mentauhidkan Allah secara af'alNya , atau secara asma'Nya , tetapi tidak
 dapat mentauhidkansecara ZatNya - sebab ilmu mertabat tujoh bermula 
dengan La'taayun  dalam alam Ahadiyah ( Qulhu wallahu AHAD) - alam 
keEsaan , di mana "hanya Dia yang wujud". Senang cerita, jika kita tak 
tahu jalan pergi (untuk sampai ke alam ini) tak mungkin kita tahu jalan 
pulang (untuk kembali kepada Dia -Zatul Haq). Itu sebabnya belajar ilmu 
Mertabat Tujoh itu amat penting ! Kalau tak tahu "innalillah" bagaimana 
nak "wainna ilaihi raji'un" ? Lain dengan orang dulu yang dapat ilmu ini
 secara makrifat , langsung dari cahaya Rasulullah s.a.w dan cahaya para
 sahabat r.a, sedang kebanyakan kita terperangkap dalam ilmu syariat dan
 tidak "terbuka" untuk masuk ke ilmu tareqat , hakikat dan makrifat.
Masalahnya , kita hendak "bertaraqqi" kepada Allah bukan "esok" bila 
kita sudah meninggal dunia atau bila di hari Akhirat (selepas Kiamat) 
tetapi setiap kali bersolat. Malah bagi yang berkemampuan pada bila-bila
 masa yang diperintahkan . Kalau tak tahu jalan pergi, bagaimana nak 
tahu jalan pulang? Bukankah angka 7 itu sudah memberi satu gambaran 
bahawa kita harus "merentasi" tujoh petala langit (untuk sampai ke 
Singgahsana Arsy) dan mungkin tujoh petala bumi juga untuk mengenal 
jenis makhluk yang merupakan musoh-musoh orang yang beriman , walaupun 
ada juga tempat rahsia para waliyullah dan qutb di bawah bumi. ?
Bagi mereka yang telah sampai ke alam Ahadiyyah dan mengesahkan 
kewujudannya, maka fahamlah dia hakikat dan jalan cerita "Wihdatul 
Wujud". Semua alam-alam itu bukan tidak ada lagi atau hanya yang tinggal
 alam ajsam dan alam insan , tidak! Alam-alam itu menyelubungi alam 
insan atau alam materi ini ! Kalau tak mahu belajar ilmu mertabat tujoh,
 tak dapatlah memahami jalan cerita mengapa tawaf tujoh kali atau 
mengapa harus sa'i tujoh kali . Dan mengapa pula bukan Kaabah itu 
sebenarnya yang kita tawafi , sebab jika begitu Kaabah itulah berhala 
kita. Jadi, penting atau tidak belajar ilmu mertabat tujoh itu? Jangan 
fikir, sahabat  r.a tak belajar pun ! Mereka belajar ilmu 
hakikat-makrifat 13 tahun ! Ilmu itu  terus mereka dapat, sedang kita 
baru nak bertatih!
Bukankah ilmu Mertabat Tujoh itu sebenar-benar  ilmu Epistemologi dalam beragama?
Semoga bermanFafaat.