Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir,  Yang Dzahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS Al Hadiid [57]:3)
 Ya Dzahir  (Yang Maha Nyata) , Ya Bathiin (Yang Maha Ghaib)
 
Allah Yang Maha Nyata,  dapat dilihat tanda-tanda kekuasaanNya.
Allah Yang Maha Ghaib, tidak dapat dilihat dengan mata kepala namun dapat dilihat dengan mata hati (ain bashiroh).
Kata ghaib berasal dari kata 
Ghaba-Yaghibu-Ghaiban-Ghiyaban-Ghiyabatan-wa Mughiban
 yang berarti tidak tampak atau tidak hadir kebalikan dari kata hadhara 
 yang berarti tampak atau hadir.  al-Mu’jam al-Wasith menyebutkan kata 
ghaib berasal dari kata 
al-Ghaibu, yang berarti 
Khilaf as Syahadati, yaitu lawan dari yang terlihat, atau 
Majmu’u Yudroku Bilhissi, yaitu kumpulan dari yang terlihat dengan indera perasa.
Jadi ghaib adalah sesuatu yang tidak tampak secara kasat mata  atau 
sesuatu yang tidak tampak dengan panca indera seperti mata kepala kita.
Mata di kepala kita diciptakan untuk melihat yang dzahir. Mata membutuhkan cahaya yang mengenai sesuatu yang dilihat.
Proses melihat terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah benda 
melewati lensa mata dan menimbulkan bayangan terbalik di retina yang 
berada di belakang otak. Setelah melewati proses kimiawi yang 
ditimbulkan oleh sel-sel kerucut dan batang retina, penglihatan ini pun 
berubah menjadi implus listrik. Implus ini kemudian dikirim melalui 
sambungan di dalam sistem syaraf ke belakang otak. Kemudian otak 
menerjemahkan aliran ini menjadi sebuah penglihatan tiga dimensi yang 
penuh makna.
Jadi sesuatu yang dilihat oleh mata kepala adalah sesuatu yang 
mempunyai bentuk, warna, ukuran, batas atau sesuatu yang diliputi atau 
dipengaruhi dimensi ruang dan waktu yang kemudian diproses oleh akal 
pikiran atau otak.
Akal pikiran atau otak bekerja berdasarkan masukkan dari panca indera
 yakni indra penglihatan (mata), pendengaran (telinga), indra pencium 
(hidung), indra pengecap (lidah), dan indra peraba (kulit).
Sedangkan yang menguasai atau mengendalikan akal pikiran atau otak manusia adalah ruhani.
Diri manusia terdiri dari jasmani dan ruhani. Jasmani (jasad) adalah 
bagian yang dapat tampak dengan panca indera kita disebut juga lahiriah 
sedangkan ruhani adalah bagian yang tidak tampak dengan panca indera 
kita disebut juga bathiniah.
Nilai manusia tidak terletak pada jasmani (jasad) nya, akan tetapi 
terletak pada ruhani yang menggerakkannya. Kerena ruhani inilah, Allah 
memerintahkan pada malaikatnya untuk hormat kepada manusia, karena 
ruhani datangnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Ingatlah diwaktu Tuhanmu berkata 
kepada para malaiakat: ”Aku menciptakan manusia dari tanah, dan setelah 
aku sempurnakan aku tiupkan kedalamnya ruh-Ku, maka hormatlah kalian 
kepadanya“.(QS Shaad [38]: 71-72)
Ruhani (ruhNya) mempunyai panggilan Akal, Hati, Nafsu
Ruh ketika berperasaan seperti sedih, gembira, senang, terhibur, marah atau sebagainya, maka ia dipanggil dengan hati.
Ruh ketika ia berkehendak, berkemauan atau merangsang sama ada 
sesuatu yang berkehendak itu positif atau negatif, baik atau buruk, yang
 dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram, di waktu itu ia 
tidak dipanggil hati tetapi ia dipanggil nafsu.
Ruh ketika ia berfikir, mengkaji, menilai, memahami, menimbang dan menyelidik, maka ia dipanggil akal (akal qalbu)
 
Oleh karenanya dikatakan bahwa hati adalah inti dan pusat kendali 
seluruh gerak dan aktivitas . Bersih dan kotornya hati seseorang akan 
segera berdampak pada perilaku dan perbuatannya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Dan ketahuilah
 pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah 
tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. 
Ketahuilah, ia adalah hati” (HR Bukhari 50 , HR Muslim 2966) yang 
maknanya adalah apabila ia baik maka baik pula seluruh amalnya, dan 
apabila ia itu rusak maka rusak pula seluruh perbuatannya”Hati  
mempunyai makna dzahir yakni segumpal darah dan makna bathin seperti 
dalam kalimat “hati yang lapang” atau “hati yang sempit” atau “mata 
hati”
Orang gila disebut sebagai orang yang kehilangan akal walaupun secara
 dzahir mereka tentu masih memiliki akal pikiran atau otak namun mereka 
kehilangan akal qalbu.
Setan mengganggu manusia melalui bisikan ke dalam hati manusia.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dari kejahatan (bisikan) setan yang
 biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia” 
(QS An Naas [114]:4-5)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setan berjalan di tubuh manusia 
pada peredaran darah, aku khawatir setan itu melontarkan kejahatan di 
hati kamu berdua , sehingga timbul prasangka yang buruk.” (HR Bukhari 
dan Muslim)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Setan itu memberikan janji-janji 
kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal 
setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka” (QS
 An Nisaa [4]:120)
Setan akan menguasai manusia melalui sepuluh pintu yakni
1.  Melalui sifat bohong dan angkuh
2.  Melalui sifat bakhil
3.  Melalui sifat takabur
4.  Melalui sifat khianat
5.  Melalui sifat tidak suka menerima ilmu dan nasihat
6.  Melalui sifat hasad
7.  Melalui sifat suka meremehkan orang lain
8.  Melalui sifat ujub atau bangga diri
9.  Melalui sifat suka berangan-angan
10. Melalui sifat buruk sangka
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang 
bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak 
bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sungguh celaka orang yang tidak berilmu. Sungguh celaka orang yang 
beramal tanpa ilmu Sungguh celaka orang yang berilmu tetapi tidak 
beramal Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal tetapi tidak 
menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan.
Urutannya adalah ilmu, amal, akhlak (ihsan)
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu 
menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang 
ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka 
hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih 
maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya 
dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi 
semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka 
semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan 
menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits 
Abdullah bin Mas’ud)Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , 
“Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi 
dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan 
manusia” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam 
bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan 
adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku 
menyiksanya”. (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah 
sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa 
menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari 
kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang
 mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat 
bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan 
masuk neraka“.
Para ulama tasawuf atau kaum sufi mengatakan bahwa hijab itu meliputi
 antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara 
pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya 
orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa 
menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru 
kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya.
 Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya 
sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan 
Allah dengan hatinya (ain bashiroh)
 
Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya.
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada 
Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari 
Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan 
terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, 
sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan 
menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan 
adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati 
sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang 
dinamakan buta mata hati.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat
 (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang 
benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan 
buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali
 (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak 
dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) 
mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka 
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai 
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya 
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam 
dada.” (al Hajj 22 : 46)
Pada hakikatnya ke dalam hati (jiwa) setiap manusia telah diilhamkan 
oleh Allah Azza wa Jalla untuk menimbang antara yang Haq dan Bathil
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10 )
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 )
Dua dimensi jiwa manusia senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi dan berperang.
Kemungkinan jiwa positif manusia menguasai dirinya selalu terbuka, 
seperti yang dialami Habil. Dan jiwa negatifpun tak tertutup kemungkinan
 untuk mengontrol diri manusia, seperti yang terjadi pada Qobil.
Tataplah sosok seorang Mush’ab bin Umair ra yang hidup di masa 
Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam. Ia putera seorang konglomerat 
Makkah. Namanya menjadi buah bibir masyarakat, terutama kaum mudanya. 
Sebelum masuk Islam ia dikenal dalam lingkaran pergaulan jet set. Namun,
 suatu hari mereka tak lagi melihat sosoknya. Mereka kaget ketika 
mendengarnya sudah menjadi pribadi lain.
Benar, ia sudah bersentuhan dengan dakwah Rasulullah Shallallahu 
alaihi wasallam dan hidup dalam kemanisan iman dan kedamaian risalahnya.
 Sehingga cobaan beratpun ia terima dengan senyuman dan kesabaran. 
Kehidupan glamour ia lepaskan. Bahkan dialah yang terpilih sebagai juru 
dakwah kepada penduduk Madinah.
Disisi lain , tengoklah pribadi Musailamah Al-Khadzdzab. Setelah 
mengikuti kafilah dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, jiwa 
negatifnya masih menonjol, ketamakan akan kedudukan dan kehormatan 
membawanya pada pengakuan diri sebagai nabi palsu. Akhirnya ia mati 
terbunuh dalam kondisi tak beriman di tangan Wahsyi dalam suatu 
peperangan.
Manusia tentu saja memiliki harapan agar jiwa positifnya bisa 
menguasai dan membimbing dirinya. Sehingga ia bisa berjalan pada 
garis-garis yang benar dan haq. Akan tetapi seringkali harapan ini tak 
kunjung tercapai, bahkan bisa jadi justru kondisi sebaliknya yang 
muncul. Ia terperosok ke dalam kubangan kebatilan.
Disinilah betapa besar peranan lingkungan yang mengelilingi diri 
manusia baik keluarga kawan, tetangga, guru kerabat kerja, bacaan, 
penglihatan, pendengaran, makanan, minuman, ataupun lainnya. Semua itu 
memberikan andil dan pengaruh dalam mewarnai jiwa manusia.
Islam , sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan ke pada manusia 
agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memilih dan menciptakan 
lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan, 
pemeliharaan , tazkiyah atau pembersihan jiwa dan sebagai tindakan 
preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya.
Disamping itu, diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran 
Islam serta peningkatan pengalamnnya. Evaluasi diri dan introspeksi 
harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah
 jiwa. Manakala jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci, 
maka ia termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allah Subhanahu wa
 Ta’ala.
Sebaliknya , apabila jiwanya terkotori oleh berbagai polusi haram dan
 kebatilan, maka ia termasuk orang yang merugi menurut kriteria Allah 
Subhanahu wa Ta’ala
“Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada 
jiwa itu jalan kefasikan dan ketakqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah 
orang yang mesucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang 
mengotorinya”(QS. Asy Syams [91] : 7-10).
Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya 
masing-masing perilaku keseharian manusia, baik dalam hibungannya dengan
 Allah, lingkungan maupun dirinya.
Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai 
Alah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan 
jiwa yang kotor akan melahirkan kemungkaran dan kerusakan, adalah benar 
bahwa Allah tidak melihat penampilan lahir seseorang, tetapi yang 
dilihat adalah hatinya, sebagaimana disebutkan dalam satu hadits. Tetapi
 ini dimaksudkan sebagai penekanan akan pentingnya peranan niat bagi 
sebuah amal, bukan untuk menafikan amal lahiriah.
Sebuah amal ibadah akan diterima Allah manakala ada kesejajaran 
antara perilau lahiriah dan batiniah, disamping sesuai dengan tuntunan 
Din. Lebih dari itu, secara lahiriah, manusia bisa saja tampak beribadah
 kepada Allah. Dengan khusyu’ ia melakukan ruku’ dan sujud kepada-Nya. 
Namun jiwanya belum tunduk ruku dan sujud kepada Allah Yang Maha Besar 
dan Perkasa , kepada tuntunan dan ajaran-Nya.
Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak 
gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas. 
Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah 
gedung, disana banyak hal yang harus dikerahkan dan dikorbakan. 
Sedangkan pengotoran jiwa, seperti amal buruk lainnya, adalah semisal 
merobohkan bangunan, ia lebih mudah dan gampang serta tak banyak 
menguras tenaga.
“Jalan menuju surga di rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan 
jalan menuju neraka ditaburi dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian 
sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
Tazkiyah jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam
 era informatika dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana 
kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Mansusia seakan tak 
berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.
Sebenarnya Islam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains 
dan tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak 
bertentangan dan merusak lima hal prinsip (ad – dkaruriyat al khams); 
Din , jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada 
paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan 
dengan perkembangan dan kemajuan zaman.
Pengalaman tuntunan dan akhlak Islami, meski tanpa pemerkosaan dalam 
penafsirannya, tidak pernah bertentangan dengan alam sekitar. Lantaran 
keduanya lahir dari satu sumber, Allah Subhanahu wa Ta’ala, Pencipta 
alam semesta dan segala isinya.
Salah faham terhadap konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada langgam kehidupan manusia.maka
 yang tampak adalah bukit hingar bingar dan menonjolnya sarana 
pengotoran jiwa manusia. Akhirnya, nilai nilai positif dan kebenaran 
seringkali tampak transparan dan terdengar sayup-sayup. Benarlah apa 
yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi 
wasallam
“Orang yang sabar dalam berpegang dengan Din-nya semisal orang yang memegang bara api”.
Mereka acapkali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan Din-nya.
 Sehingga mereka merasa asing dalam keramaian. Namun demikian, tidaklah 
berarti mereka boleh bersikap pesimis dalam hidup. Bahkan sebaliknya, 
mereka harus merasa optimis. Sebab dalam situasi seperti ini, merekalah 
sebenarnya orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islam.
“Islam mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam 
keterasingan pula sebagaimana mulanya. Maka berbahagialah orang – orang 
yang terasing”. (Al Hadist).
Dalam fenomena seperti ini, tak tahu entah dimana posisi kita. Yang 
jelas, manusia senantiasa dianjurkan oleh Allah agar meningkatkan 
kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan Allah tak pernah menolak
 setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada jalan-Nya.
Bahkan lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Ia akan menjemputnya dengan berlari.
Sungguh Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Kita 
berharap, semoga kita termasuk orang-orang yang mau mendengar 
panggilan-Nya yang memiliki jiwa muthmainnah, jiwa yang tenang. Sehingga
 kita akhirnya berhak meraih panggilan kasih sayang –Nya.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang 
puas dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan 
masuklah ke dalam surga-Ku”.(QS.Al Fajr [89] : 27-30)
Penduduk surga kelak, ketika dosa telah tiada, ketika hijab dibuka, 
mereka akan melihat Allah dengan mata kepala namun langsung menghujam ke
 dalam hati sehingga terlihat bukan dalam suatu bentuk atau ukuran 
karena tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya
Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H)
 berkata: “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, 
jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, 
anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun 
anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, 
telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah 
penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti 
makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya 
mengatakan : “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan 
sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan
 dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana 
Dia?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.
Al-Imâm al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah
 seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Hanafi, berkata:
وَالله تَعَالَى يُرَى فِي الآخِرَة، ويَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ 
فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوْسِهِمْ بِلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيّة، 
وَلاَ يَكُوْنُ بَينَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة
“Allah di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan 
melihat-Nya ketika mereka di surga dengan mata kepala mereka 
masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai 
bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah 
(artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar 
surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun 
samping kiri)” (al-Fiqh al-Akbar karya al-Imâm Abu Hanifah dengan 
penjelasannya karya Mulla Ali al-Qari, h. 136-137 )
Al-Imâm asy-Syaikh Abu ath-Thayyib Sahl ibn Muhammad asy-Syafi’i (w 404 H), seorang mufti wilayah Nisafur pada masanya berkata:
سمعت الشيخ أبا الطيب الصعلوكي يقول: “ُتضامّون” بضم أوله وتشديد الميم 
يريد لا تجتمعون لرؤيته- تعالى- في جهة ولا ينضم بعضكم إلى بعض فإنه لا يرى
 في جهة”
“Saya telah mendengar asy-Syaikh Abu at-Thayyib as-Sha’luki berkata 
dalam menerangkan hadits tentang Ru’yatullâh (melihat Allah bagi 
orang-orang mukmin). Dalam hadits tersebut terdapat kata “Lâ Tudlammûn”,
 al-Imâm as-Sha’luki mengartikannya bahwa kelak orang-orang mukmin di 
surga akan melihat Allah tanpa tempat dan tanpa arah, mereka ketika itu 
tidak saling berdesakan satu sama lainnya. Orang-orang mukmin tersebut 
berada di dalam surga, namun Allah tidak dikatakan di dalam atau di luar
 surga. Karena Allah bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah”. 
(Pernyataan al-Imâm as-Sha’luki ini dikutip pula oleh al-Hâfizh Ibn 
Hajar al-Asqalani dan kitab Fath al-Bâri dan disepakatinya)
Begitupula pada hari kiamat kelak, Allah akan menghisab seluruh 
hamba-Nya dari bangsa manusia dan jin dengan memperdengarkan kalamNya 
yang bukan huruf, suara atau bahasa. KalamNya yang tidak diliputi atau 
dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu.
Allah akan memperdengarkan Kalam-Nya kepada setiap orang dari mereka 
namun tidak melalui telinga yang diproses oleh akal pikiran atau otak 
sehingga tidak memerlukan penterjemah (proses penterjemahan / pemahaman 
 dari apa yang didengar)  namun langsung menghujam ke hati  sehingga 
mereka yang jumlahnya banyak dalam waktu yang amat cepat akan memahami 
dari kalam Allah tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang segala apa yang 
telah mereka kerjakan, segala apa yang mereka katakan, dan segala apa 
yang mereka yakini ketika mereka hidup di dunia.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Pada hari ini tiap-tiap jiwa 
diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan 
pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya” (QS Al Mu’min 
[40]:17)
Rasulullah bersabda: “Setiap orang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya 
kepadanya(menghisabnya) pada hari kiamat, tidak ada penterjemah antara 
dia denganAllah”. (HR. al-Bukhari)
Allah Azza wa Jalla telah berfirman bahwa kalam Allah yang kekal 
(Kalam Allah al-Dzati) yang bukan suara, bukan huruf-huruf  dapat sampai
 kepada ciptaanNya  dalam tiga cara yakni
1. Perantaraan wahyu
2. Di balik tabir
3. Wahyu perantaraan malaikat Jibril
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan tidak mungkin bagi seorang 
manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan 
perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang 
utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang 
Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (QS As 
Syuura [42]:51)
Lafaz atau bacaan Al Qur’an  (al-Lafzh al-Munazzal)  berasal dari 
Allah Azza wa Jalla yang merupakan ungkapan (ibarah) dari pada sifat 
kalam Allah yang kekal  (Kalam Allah al-Dzati) yang bukan suara, bukan 
huruf-huruf yang disampaikan perantaraan malaikat Jibril  alaihi sallam 
dan pada umumnya disampaikan tidak diperdengarkan oleh malaikat Jibril 
melainkan langsung ke dalam hati manusia sehingga langsung dapat 
dipahami bukan proses panca indera atau akal pikiran atau pemahaman 
manusia.
Allah memerintahkan Malaikat Jibril mengambil apa yang tercatat di 
Lauhul Mahfuz untuk diturunkan kepada nabi-nabiNya. Maka Malaikat Jibril
 menurunkan seperti mana yang diperintahkan oleh Allah kepada nabi-nabi 
yang diberikan kitab.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan 
semesta alam dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril alaihi salam) 
ke dalam hatimu (Muhammad shallallahu alaihi wasallam) agar kamu menjadi
 salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan 
bahasa Arab yang jelas (QS Asy Syu’araa [26]:192-195)
“Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur’an) ke dalam hatimu 
(Muhammad shallallahu alaihi wasallam)  dengan seizin Allah; membenarkan
 apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita 
gembira bagi orang-orang yang beriman. (QS Al Baqarah [2]:97)
Kalam Allah yang kekal (Kalam Allah al-Dzati) yang bukan suara, bukan
 huruf-huruf  dapat sampai kepada ciptaanNya di balik tabir dalam arti 
seorang dapat menerima dan memahami kalam Allah akan tetapi dia tidak 
dapat melihat-Nya  sebagaimana  yang dialami oleh Nabi Musa alaihis 
salam di bukit Thursina ataupun Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu 
alaihi wasallam pada peristiwa Mi’raj ketika menerima perintah sholat 5 
waktu.
Kalam Allah lainnya sampai kepada  Rasulullah shallallahu alaihi 
wasallam perantaraan wahyu langsung ke dalam hatinya dan tidak melalui 
malaikat Jibril sehingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam 
menyampaikan kepada umatnya dengan lafaznya sendiri seperti  hadits 
Rasulullah maupun perkataan Rasulullah yang dinisbatkan kepada Allah 
yang disebut dengan hadits Qudsi.
Kalam Allah lainnya sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi 
wasallam perantaraan wahyu langsung ke dalam hatinya  sebagaimana 
riwayat berikut
****** awal kutipan *****
Ketika diantara wanita itu terdapat Juwairiyah, putri kepala Qabilah 
Bani Musthaliq, maka Rasul shallallahu alaihi wassalam tidak tega 
menjadikan putri Raja Qabilah itu sebagai budak. Rasul shallallahu 
alaihi wassalam  memerintahkan agar menahan Juwairiyah untuk tidak 
diperbudak, maka ayahnya datang untuk memohon pada Rasul shallallahu 
alaihi wassalam agar putrinya dibebaskan, ia membawa uang dan dua ekor 
unta untuk menebus putrinya, namun ditengah jalan ia ragu, dan 
membatalkan dua ekor untanya dan ditinggal di tengah jalan lalu 
menghadap Rasul  shallallahu alaihi wassalam
Ketika sampai pada Rasul shallallahu alaihi wassalam maka ia berkata :
 wahai Muhammad, aku ingin menebus putriku dengan uang ini, maka Rasul 
shallallahu alaihi wasallam bersabda : kau kemanakan dua ekor unta yang 
sudah kau niatkan juga untuk menebusnya?, maka Harits (ayah Juwairiyah) 
kaget, maka ia bersyahadat dan masuk islam.
****** akhir kutipan ******
Kalam yang terdiri dari suara dan huruf itu pasti diciptakan, Mengapa? Karena suara dan huruf memiliki awal atau permulaan.
Contoh dalam “Bismillah”, misalnya “i” ada setelah datang “b”, 
sehingga ketika anda mengatakan Bismillah, suara “i” hanya menjadi ada 
setelah ketidak adaan “b”
Begitupula perkataan “saya” menjadi ada setelah sebelumnya tiada, 
artinya bahwa perkataan “saya” perlu akan pencipta. Tidak ada sesuatu 
bisa ada tanpa ada yang mencipta, semua muslim percaya hal ini.
Sedangkan kalam Allah bersifat qadim, tanpa permulaan , tanpa ada 
yang mencipta,  bukan makhluk  sementara pergantian huruf-huruf dan 
suara adalah makhluk, sesuatu yang baharu (huduts / hadits) yang 
memiliki permulaan; tidak Qadim.
Penduduk surga bergembira ketika menyaksikan Allah yang merupakan kenikmatan kekal abadi.
Begitupula kaum muslim yang meraih maqom (derajat) disisiNya , 
bertemu dan bersama Allah,   menyaksikan Allah dengan hatinya (ain 
bashiroh) sehingga menjadi kekasih Allah atau wali Allah maka tidak ada 
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali 
Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) 
mereka bersedih hati” (QS Yunus [10]:62)
Cara memperjalankan diri kepada Allah hingga sampai (wushul) kepada 
Allah, meraih maqom (derajat) disisiNya sehingga bertemu Allah dan 
menyaksikan Allah dengan hati adalah dengan dzikrullah
Dalam suatu riwayat. ”Qoola A’liyy bin Abi Thalib: Qultu yaa 
Rasulullah ayyun thariiqatin aqrabu ilallahi? Faqoola Rasullulahi: 
dzikrullahi”. artinya; “Ali Bin Abi Thalib berkata; “aku bertanya kepada
 Rasullulah, jalan/metode(Thariqot) apakah yang bisa mendekatkan diri 
kepada Allah? “Rasullulah menjawab; “dzikrulah.”
Firman Allah ta’ala yang artinya “Ingatlah, hanya dengan dzikir kepada Allah-lah hati menjadi tentram”. (QS ar-Ra‘d [13] : 28)
Sholat adalah dzikrullah yang utama
Firman Allah ta’ala , “waladzikrullaahi akbaru”, “Dan sesungguhnya 
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari 
ibadat-ibadat yang lain)” (QS al Ankabut : [29] : 45)
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda, bahwa 
“Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin”, “sholat itu adalah mi’rajnya 
orang-orang mukmin“. Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang 
terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah.
Dalam sebuah hadist Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 
“Sesungguhnya kalian apabila sholat maka sesungguhnya ia sedang 
bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti 
bagaimana bermunajat dengan Tuhan”
Firman Allah ta’ala  yang artinya“Sesungguhnya sholat itu memang 
berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan 
berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali 
kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).
Dari Anas Ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “….kesenanganku dijadikan dalam shalat”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sangat menikmati ibadah, 
bahkan beliau pernah berdiri dalam sholat malam sampai kedua kakinya 
bengkak. ‘Aisyah pernah bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, 
mengapa engkau lakukan hal ini, bukankah Allah telah memberikan ampunan 
kepadamu atas dosa-dosa yang telah berlalu dan yang akan datang?” Beliau
 menjawab: “afala akuuna ‘abadan syakuuraa” , “Tidak bolehkah aku 
menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sembahlah Allah 
dengan senang hati. Jika kamu tidak mampu, maka hal yang terbaik bagimu 
adalah bersikap sabar menghadapi nasib yang tidak kamu sukai.“
Puasa juga termasuk dzikrullah sarana bertemu dengan Allah sehingga menyaksikan Allah dengan hati.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).
Ulama tasawuf Syaikh Ibnu Athoillah menceritakan bahwa orang yang 
tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya adalah orang yang ikut 
mengatur bersama Allah.
Orang yang ikut mengatur bersama Allah adalah seperti anak yang pergi
 bersama ayahnya. Keduanya berjalan di malam hari.Karena menyayangi 
anaknya, sang ayah senantiasa mengawasi dan memperhatikannya tanpa 
diketahui sang anak.Anak itu 
tidak bisa melihat ayahnya karena malam yang teramat gelap. Ia 
meresahkan keadaan dirinya dan tidak tahu apa yang harus 
diperbuat.Ketika cahaya bulan menyinari dan ia melihat ayahnya dekat 
kepadanya, keresahannya sirna. Ia tahu ayahnya begitu dekat dengannya. 
Kini ia merasa tidak perlu ikut mengurus dirinya karena segala sesuatu 
telah diperhatikan oleh ayahnya.  Seperti itulah orang mengatur untuk 
dirinya. Ia melakukannya karena berada dalam kegelapan – terputus dari 
Allah. Ia tidak merasakan kedekatan Allah. Andaikata bulan tauhid atau 
mentari makrifat menyinarinya, tentu ia melihat Tuhan begitu dekat, 
sehingga ia malu untuk mengatur dirinya dan merasa cukup dengan 
pengaturan Allah.
Syaikh Ibnu Athoillah lebih lanjut menjelaskan
****** awal kutipan *****
Perumpamaan orang yang mengatur bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan 
orang yang tidak ikut mengatur adalah seperti dua budak milik seorang 
majikan.
Budak yang satu sibuk dengan perintah majikan serta tidak memikirkan 
masalah pakaian dan makanan. Seluruh perhatiannya terpusat pada upaya 
untuk mengabdi kepada majikannya sehingga lupa memerhatikan kepentingan 
dirinya.Sebaliknya, budak yang kedua, selalu memerhatikan kebutuhan 
dirinya. Setiap kali sang majikan mencarinya, ia sedang mencuci baju, 
memperbaiki keretanya dan menghias pakaiannya.
Tentu saja budak yang pertama lebih layak mendapat perhatian sang 
majikan daripada budak kedua yang sibuk dengan kepentingan dirinya dan 
melupakan kewajibannya. Seorang budak dibeli untuk mengabdi kepada 
majikan, bukan untuk memuaskan kepentingan dirinya sendiri.
Orang yang ikut mengatur untuk dirinya adalah seperti orang yang 
menjual sebuah rumah. Setelah akad jual beli, si penjual mendatangi si 
pembeli dan berkata “jangan membangun apa pun di dalamnya”. Tentu saja 
si pembeli menegurnya, “Kamu telah menjualnya, dan kini kamu tak punya 
hak melakukan apapun atasnya, Setelah akad, kamu tidak boleh ikut 
campur.”Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”. (QS At Taubah [9]: 111)
Orang beriman harus menyerahkan dirinya kepada Allah beserta segala 
sesuatu yang terkait dengan dirinya. Sebab, Allah lah yang 
menciptakannya dan Dia pula yang membelinya. Salah satu keniscayaan dari
 sikap berserah diri adalah tidak ikut mengatur atas apa yang telah 
kauserahkan.
Sungguh setan itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan.
Ketahuilah, musuh sejatimu, yaitu setan, akan senantiasa mengganggumu ketika kau berada dalam keadaan yang
Allah tetapkan untukmu. Kemudian setan membisikkan buruknya keadaan itu 
sehingga kau menghendaki keadaan lain diluar yang telah ditetapkan 
Allah. Akibatnya, kau selalu gelisah dan hatimu keruh.
Setan akan mendatangi orang bekerja dan mengatakan kepadanya,“Jika 
kau meninggalkan pekerjaanmu dan khusyuk beribadah, tentu kau akan 
mendapatkan cahaya dan kebeningan hati. Itulah yang dialami si fulan dan
 si fulan”Sementara Allah tidak menetapkannya sebagai abid yang melulu 
beribadah. Ia tak mampu melakukannya. Kebaikannya hanya ada dalam kerja.
 Jika ia mengikuti bisikan setan dan meninggalkan pekerjaannya, imannya 
akan goyah dan keyakinannya akan runtuh.
Pada orang yang melulu beribadah, setan mebisikan hasutan yang 
berbeda,”Sampai kapan kau enggan bekerja? Jika kau tidak bekerja, kau 
akan mengharapkan milik orang lain dan hatimu diliputi ketamakan. Tanpa 
kerja, kau tidak akan bisa membantu dan meendahulukan kepentingan orang 
lain serta tidak akan mampu menunaikan kewajibanmu. Keluarlah dari 
keadaanmu yang selalu menunggu pemberian makhluk. Jika kau bekerja, 
orang lainlah yang akan menunggu pemberianmu.”Begitulah setan membisikan
 godaannya.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) tidak ada pilihan. (QS Qashash [28] : 68)
“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan 
jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan 
barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
 (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3).
Tujuan setan adalah agar manusia tidak rida atas keadaan yang Allah 
tetapkan untuknya. Ia berusahamengeluarkan mereka dari pilihan Allah 
menuju pilihan mereka sendiri.
Ketahuilah, ketika Allah memasukkanmu ke dalam suatu keadaan, Dia pasti akan selalu membantumu.Namun, jika kau masuk ke dalamnya dengan kemauan sendiri, Dia akan membiarkanmu.
Allah ta’ala berfirman, “Katakan, “Wahai Tuhan, masukkanlah aku 
dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar 
yang benar, serta berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang 
menolong ” (QS Al-Israa’  [17]: 80)
Sesungguhnya engkau tidak mengetahui akhir dan akibat dari setiap 
urusan. Mungkin kau bisa mengatur dan merancang sebuah urusan yang baik 
menurutmu. Tetapi ternyata urusan itu berakibat buruk bagimu.
Mungkin ada keuntungan di balik kesulitan dan sebaliknya, banyak 
kesulitan di balik keuntungan. Bisa jadi bahaya datang dari kemudahan 
dan kemudahan datang dari bahaya.Mungkin saja anugerah tersimpan dalam 
ujian dan cobaan tersembunyi dibalik anugerah. Dan bisa jadi kau 
mendapatkan manfaat lewat tangan musuh dan binasa lewat orang yang kau 
cintai.
Orang yang berakal tidak akan ikut mengatur bersama Allah karena ia 
tidak mengetahui mana yang berguna dan mana yang berbahaya bagi dirinya.
Syekh Abu Al Hasan rahimahullah berkata,  “Ya Allah, aku tidak 
berdaya menolak bahaya dari diri kami meskipun datang dari arah yang 
kami ketahui dan dengan cara yang kami ketahui. Lalu, bagaimana kami 
mampu menolak bahaya yang datang dari arah dan cara yang kami tidak 
ketahui?”
Cukuplah untukmu firman Allah, “Bisa jadi kalian membenci sesuatu
 padahal ia baik untuk kalian. Bisa jadi kalian mencintai sesuatu 
padahal ia buruk untuk kalian. Allah mengetahui, sementara kalian tidak 
mengetahui.” (QS al Baqarah  [2]: 216)
Seringkali kau menginginkan sesuatu, namun Tuhan memalingkannya 
darimu. Akibatnya, kau merasa sedih dan terus menginginkannya. Namun, 
ketika akhir dan akibat dari apa yang kau hasratkan itu tersingkap, 
barulah kau menyadari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala melihatmu dengan 
pandangan yang baik dari arah yang tidak kau ketahui, dan memilihkan 
untukmu dari arah yang tidak kau ketahui.
Sungguh buruk seorang hamba yang tidak paham dan tidak pasrah kepadaNya.
Engkau adalah hamba yang selalu Dia pelihara. Seorang hamba tidak 
boleh ragu kepada majikannya. Apalagi sang majikan selalu memberi dan 
tidak pernah mengabaikan.
Inti ibadah adalah percaya kepada Allah dan pasrah kepadaNya. Sikap 
itu berlawanan dengan hasrat ikut mengatur dan memilih bersama Allah. 
Seorang hamba harus mengabdi kepadaNya, dan Dia akan memberikan karunia 
untuknya.
Pahamilah firmanNya,  “Perintahkan keluargamu untuk shalat dan bersabarlah atasnya. Kami tidak meminta rezeki. Kamilah yang memberimu rezeki.”
 ”[QS Thaha [20] : 132]Artinya, mengabdilah kepada Kami, tentu Kami akan
 memberikan bagian padamu. Ayat itu mengandung dua hal, sesuatu yang 
Allah jamin untukmu sehingga kau tidak perlu mencarinya dan sesuatu yang
 diminta darimu sehingga tidak boleh kamu abaikan.
Kami tidak memintamu untuk memberi rezeki kepada diri dan keluargamu.
Bagaimana mungkin Kami memintamu melakukan hal semacam itu?! Bagaimana 
mungkin Kami membebani kewajiban untuk memberi rezeki kepada dirimu, 
sementara kau tidak akan mampu melakukannya? Terpujikah Kami jika 
memerintahkanmu mengabdi, sementara kami tidak memberikan bagian 
untukmu?
Orang yang menyibukkan diri dengan sesuatu yang telah dijamin oleh 
Allah sehingga lalai dari apa yang diminta, berarti sangat bodoh dan 
lalai. Semestinya setiap hamba menyibukkan diri dengan apa yang dituntut
 darinya tanpa memikirkan apa yang telah dijamin untuknya.Allah SWT, memberi rezeki kepada kaum yang membangkang, jadi bagaimana mungkin Dia tidak memberi kepada kaum yang taat ?
Apabila Dia telah mengalirkan rezekiNya kepada orang kafir, bagaimana mungkin Dia menahannya untuk orang yang beriman ?
Kau telah mengetahui bahwa dunia telah dijamin untukmu, sedang akhirat diminta darimu.Kau
 memiliki akal dan mata hati, jadi kenapa kau arahkan perhatianmu kepada
 sesuatu yang telah dijamin untukmu sehingga kau melalaikan kewajibanmu ?
Ketahuilah, sikap tawakal kepada Allah dalam urusan rezeki tidak 
bertentangan dengan usaha manusiaRasulullah shallallahu alaihi wasallam 
bersabda, Karena itu, bertakwalah kepada Allah, dan mintalah (atau carilah) rezeki dengan cara yang baik.”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membolehkan kita berusaha 
mencari rezeki. Seandainya usaha atau bekerja bertentangan dengan 
tawakal, tentu Rasulullah akan melarangnya. Rasulullah shallallahu 
alaihi wasallam tidak mengatakan, “Jangan mencari rezeki,” namun, 
“Carilah rezeki dengan cara yang baik.”
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam membolehkan kita mencari 
rezeki, karena itu merupakan bagian dari usaha. Nabi Muhammad 
shallallahu alaihi wasallam bersabda “ Makanan yang paling halal dimakan seseorang adalah yang merupakan hasil usahanya sendiri” 
Ketahuilah ada beberapa perwujudan dari sikap mencari rezeki dengan
 baik. Berikut beberapa cara sebagaimana yang Allah sampaikan melalui 
karunia Nya.1. Cara mencari rezeki yang baik adalah yang tidak 
melalaikanmu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Cara mencari rezeki yang baik adalah mencarinya kepada Allah 
Subhanahu wa Ta’ala tanpa menetapkan batasan, sebab, dan waktunya 
sehingga Dia akan memberikan kepadanya apa yang Dia kehendaki, dan 
diwaktu yang Dia kehendaki. Itulah etika meminta rezeki. Orang yang 
mencari rezeki seraya menetapkan kadar, sebab dan waktunya berarti telah
 mengatur Tuhannya, dan sikap itu menunjukkan kelalaian hatinya.
3. Cara meminta rezeki yang baik adalah memintanya kepada Allah 
Subhanahu wa Ta’ala dan jangan jadikan apa yang kau inginkan sebagai 
tujuan doamu. Permintaanmu itu sesungguhnya hanyalah sarana untuk 
bermunajat kepada Nya.
4. Cara mencari rezeki yang baik adalah dilakukan dengan penuh kesadaran
 bahwa jatahmu telah ditetapkan dan akan mendatangimu, bukan permintaan 
dan usahamu yang mengantarkanmu kepadanya
5. Cara meminta rezeki yang baik adalah meminta kepada Allah sesuatu 
yang bisa mencukupimu bukan yang melenakanmu. Jangan menghendaki sesuatu
 secara berlebihan. Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, 
mengajarkan doa yang baik “ Ya Allah, jadikanlah makanan keluarga Muhammad sekedar bisa mencukupi’.
6. Cara meminta rezeki yang baik bisa dengan cara meminta bagian dunianya. Allah berfirman “dan,
 diantara mereka ada yang berdoa, Ya Tuhan kami , berilah kami kebaikan 
didunia dan kebaikan di akhirat dan lindungilah kami dari azab neraka” (QS Al Baqarah : 201)
7. Cara meminta rezeki yang baik adalah meminta tanpa meragukan jatah 
yang diberikan Allah, serta tetap menjaga diri dari segala sesuatu yang 
dilarang.
8. Cara meminta rezeki yang baik adalah meminta tanpa menuntut untuk segera dikabulkan.
9. Cara meminta rezeki yang baik adalah meminta dan bersyukur kepada 
Allah jika diberi dan menyadari pilihan terbaik Nya jika tidak diberi.
10. Cara meminta rezeki dengan baik adalah meminta kepada – Nya agar kau
 berpegang pada pembagian-Nya yang telah ditetapkan, tidak kepada 
permintaanmu.
****** akhir kutipan *****
Munajat syaikh Ibnu Athoillah,  Ya Allah, Engkau telah menetapkan 
untuk kami bagian yang Engkau sampaikan kepada kami. Maka sampaikanlah 
kami kepadanya dengan mudah dan tanpa kepenatan, terjaga dari 
keterhijaban, diliputi cahaya hubungan dengan-Mu, yang kami saksikan 
dari-Mu sehingga kami termasuk golongan yang bersyukur dan menyandarkan 
bagian kami itu kepada-Mu, bukan kepada salah satu mahluk-Mu.
Muslim yang menyaksikan Allah dengan hatinya, mereka telah 
menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka mempersembahkan diri 
mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap
 rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, 
Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan
 untuk diri mereka sendiri.
Muslim yang menyaksikan Allah dengan hatinya, setiap akan bersikap 
atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang 
dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji 
dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau 
muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau
 menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu 
melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya 
(bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada 
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
 baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan 
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS 
Al-Ahzab:21)
Muslim yang memandang Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau 
muslim yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya,
 selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang 
hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, 
sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan 
menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat 
ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid 
(penyaksi)”
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah 
engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: 
“Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda 
melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, 
tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai 
kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya 
Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan 
keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan 
perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat 
Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas 
yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya 
kami mohon pertolongan“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri 
senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu
 jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri 
mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh 
sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa 
selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak 
ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar
 sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah
 segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain 
Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam 
menjalani ujian di RumahNya”.
Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah 
Jakarta) dalam sebuah wawancara menyatakan bahwa “untuk dapat melihat 
Allah dengan hati sebagaimana kaum sufi, tahapan pertama yang harus 
dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak baik,
 baru kemudian sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-benar 
mengisi kebaikan, berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui 
rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestasi dari rahasia-rahasia 
yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli 
tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki”.
Dari kitab  “Jalan Menuju Ma`rifatullah dengan Tahapan 7 M, Ust.Asrifin S.Ag.
 menyampaikan bahwa untuk mencapai ma`rifatullah di kalangan sufi 
setidaknya harus melalui beberapa maqam (pangkat/derajat) sebagai 
berikut:
1.       MUATABAH : - penyesalan atau meninggalkan dosa-dosa seketika dan bertekad untuk tidak melakukannya lagi.
2.       MURAQABAH:  Awas mengawasi atau berintai-intai. Suatu 
keadaan seseorang yang meyakini sepenuh hati bahwa Allah selalu melihat 
dan mengawasinya.
3.       MUJAHADAH: Penekanan nafsu dari yang menggiurkan dan 
pelaksanaan melawan keinginan hawa nafsu pada setiap saat. Mencurahkan 
keseriusan dalam melawan segala bujukan hawa nafsu dan syaitan.
4.       MUSYAHADAH: Nampaknya Al-Haq di mana alam perasaan sudah mati. Tindak lanjut ajaran ihsan.
5.       MUKASYAFAH: Terbuka tirai. Terbukanya segala tutup dari segala rahasia yang tersembunyi.
6.       MAHABBAH: Cinta. Cinta kepada Allah melebihi cintanya kepada yang selain-Nya.
7.       MA`RIFAT:  Pengetahuan yang tidak menerima keraguan lagi. 
Pengetahuan tentang dzat dan sifat Allah yang tidak diragukan lagi.
Muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah adalah 
muslim yang telah meraih maqom (derajat) disisi Nya sehingga terbukti 
dapat menyaksikan Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh) dan 
akan berkumpul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya 
tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan 
mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang 
dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan 
kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) 
kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami 
benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad 
[38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah 
ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang 
telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
 bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, 
yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan 
orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS 
An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada
 Allah sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan menjadi kekasih 
Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim yang membenarkan dan 
menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang 
bermakrifat.
Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) membagi maqamat al-walayah (derajat kedekatan para Wali Allah ke dalam lima maqamat.
Kelima maqamat itu adalah:
al-muwahhidin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin
Pertama, al-muwahhidun (penganut faham tauhid). Seorang yang 
mengesakan Allah disebut ahl al-tawhid. Seorang ahl al-tawhid telah 
keluar dari kekufuran dan telah memiliki cahaya iman. Dengan modal 
tauhid dan keimanan tersebut, ahl al-tawhid pada dasarnya telah 
mendekatkan diri kepada Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi menganggap hal ini 
sebagai awwal manazil al-qurbah (permulaan peringkat kedekatan kepada 
Allah); namun masih berada pada posisi qurbat al-’ammah (kedekatan 
secara umum), bukan qurbat al-awliyâ` (kedekatan para wali)
Kedua, al-shadiqun yang juga dinamakan waliyy haqq Allah. Mereka 
adalah orang yang memperoleh kewalian setelah bertobat, bertekad bulat 
untuk menyempurnakan tobatnya, menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan 
maksiat, menunaikan al-faraidl (berbagai kewajiban), menjaga al-hudŭd 
(hukum dan perundang-undangan Allah), dan membatasi al-mubahat (hal-hal 
yang dibolehkan). Apabila berhadapan dengan al-mahdlur (hal-hal yang 
dilarang) akan berpaling dan menolak sehingga jiwanya istiqamah.
Dinamakan waliyy haq Allah karena ibadah dan ketaatannya kepada Allah
 serta perjuangannya dalam melawan hawa nafsu berlangsung secara terus 
menerus tanpa pamrih, semata-mata karena menunaikan haqq Allah atas 
diri-Nya.
Kewalian ini dinamakan walayat haqq Allah min al-shadiqin (kewalian orang-orang yang benar dalam memenuhi haq Allah).
Ada dua ciri utama yang menjadi karakteristik awliya haqq Allah, 
yaitu: (1) bertaubat secara benar dan memlihara anggota tubuhnya dari 
hal-hal yang dilarang, dan (2) mengendalikan diri dari hal-hal yang 
dibolehkan.
Seorang waliyy haqq Allah, menurut al-Hakim al-Tirmidzi, mensucikan 
batinnya setelah merasakan istiqamah dalam penyucian lahirianya. Ia 
bertekad bulat untuk memenuhi dorongan rendah pada dirinya yang 
berkenaan dengan al-jawarih al-sab’a (tujuh anggota tubuh), yakni mata, 
lidah, pendengaran, tangan, kaki, perut, dan kemaluan.
Ketiga, al-Shiddiqin adalah orang-orang yang telah merdeka dari 
perbudakan nafsu. Kemerdekaan ini bukan bebas dari nafsu atau keinginan 
rendah; melainkan karena nafsunya berhasil mengambil jarak dari kalbu 
mereka. Al-Shiddiqun kokoh dalam kedekatannya kepada Allah, bersikap 
shidq (jujur dan benar) dalam prilakunya, sabar dalam mentaati Allah. 
Menunaikan al-faraidl, menjaga al-hudŭd, dan mempertahankan posisinya 
dengan sungguh-sungguh.
Mereka mencapai ghayat al-shidq (puncak kesungguhan) dalam memenuhi 
hak Allah, berada pada manzil al-qurbah (posisi yang dekat dengan Allah)
 dan mendapatkan khǎlish al-’ubŭdiyyah (hakikat kehambaan). Mereka 
dinamakan al-muhǐbŭn (orang-orang yang kembali).
Keempat, al-muqarrabŭn mereka adalah al-shiddiqǔn yang memiliki 
peluang untuk meningkatkan kualitas kedekatannya kepada Allah pada 
martabat al-muqarrabin (martabat para wali yang didekatkan kepada 
Allah), bahkan hingga berada di puncak kewalian.
Kelima, al-munfaridǔn. Hakim al-Tirmidzi berpandangan bahwa para wali
 yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun, 
al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun diatas telah sempurna 
tingkat kewalian mereka.hanya 
saja Allah mengangkat salah seorang mereka pada puncak kewalian 
tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan menempatkan wali itu 
pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya). Pada saat seperti itu ia 
sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain Allah.
Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dapat diraih dengan 
terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan
 kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah.
Aspek pertama merupakan wewenang mutlak Allah, sedangkan aspek kedua 
merupakan perjuangan seorang hamba dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut al-Tirmidzi ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang 
sufi guna meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariq ahl 
al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah); sedangkan jalur kedua
 disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam 
beribadah).
Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan 
Allah semata-mata karena karunia-Nya yang di berikan kepada siapa saja 
yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Sedangkan melalui jalur 
kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan 
kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah.
Derajat kewalian itu mengalami pasang surut; namun, setelah mengalami
 pengumulan yang hebat, seorang wali berada di hadapan-Nya untuk 
kemudian masuk dalam genggaman Tuhan. Pada situasi ini, seorang wali 
melihat kumiz min al-hikmah (perbendaharaan hikmah) dan tersingkaplah 
baginya ilmu Allah, sehingga naiklah horizon pengetahuan wali tersebut 
dari pengenalan tentang ‘uyub al-nafs (rupa-rupa cacat dirinya) kepada 
pengetahuan tentang al-shifat wa al-asma (sifat-sifat dan nama-nama 
Allah), bahkan tersingkaplah baginya hakikat ilmu Allah.
Muslim yang dekat dengan Allah sehingga menjadi kekasih Allah (Wali Allah) dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di 
antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan 
bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ 
pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah 
Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan 
mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi 
shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah 
suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan 
karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, 
wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas 
mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia 
merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka 
cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu
 alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada 
manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula 
syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam 
mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.” Seorang laki-laki 
bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami 
menyukainya“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena 
Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka 
itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh 
wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, 
dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak 
susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ”
 Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran 
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus 
[10]:62)