Cari Blog Ini

SETAN BUKAN MAHLUK



Salamun Alaikum,Okey unutk hari ini saya hanya mau meluruskan makna setan yang kita sering dengar dalam keseharian kita.Mungkin saja saudara kita yang lain belum tau mana itu setan dan mana iblis ataupun jin.Sebenarnya kata syaithan ( setan ) terambil dari akar kata syathana, yang berarti “jauh” karena yang bersangkutan jauh dari rahmat Tuhan. Ada juga pendapat yang menyatakan, bahwa kata itu terambil dari akar kata syaatha, yang berarti “terbakar” boleh jadi karena ia akan terbakar di neraka dan juga membakar hati dan fikiran untuk berbuat hal2 yg dilarang oleh Allah sehingga hati tidak menjadi tenang ( terbakar ). Atau dari kata syatha, yang berarti “tepi”, karena ia berada di tepi. Ini bersumber dari konsep bahwa segala yang baik berada di tengah dan yang di tepi ( ekstrem kiri atau kanan ) adalah buruk.
Syetan adalah Sifat yang mengajak kepada keburukan dengan gambaran yg disenangi oleh hawa Nafsu… Ia tidak terbatas pada jin atau makhluk halus, tetapi juga boleh jadi manusia..
QS al-An’am (6) : 112 menjelaskan bahwa “setan dan jin dan manusia saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk memperdaya.”
Atas dasar ini, ulama merumuskan bahwa setan adalah : “Segala makhluk Tuhan yang durhaka kepada-Nya dan mengajak kepada kedurhakaan.. Bahkan ulama menegaskan bahwa Al-Quran tidak hanya menggunakan kata syaithan untuk jin dan manusia, tetapi juga binatang yang melapaui batas dalam sikap / kelakuannya.. Kata syaithan juga digunakan untuk sifat yang buruk bukan pelakunya. Al-Raghib al-Asfahaniy, seorang pakar bahasa, mengutip hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa: ”Dengki adalah setan, marah adalah setan.” Sehingga pada akhirnya ia berpendapat bahwa syetan merupakan nama bagi segala yang buruk dari sifat manusia..
Bisikan baik yang didengar hati manusia bersumber dari malaikat. Bila buruk, sumbernya setan. Namun, boleh jadi juga ia datang dari diri manusia. Dalam surat Yusuf (12) : 53, Al-Quran menyatakan :
”Sesungguhnya nafsu manusia adalah pendorong kepada kejahatan ( inna al-nafsu la ammarah bi al-su’..
Ulama-ulama tasawuf membedakan antara bisikan setan dan bisikan buruk hati manusia.. Ini berbeda dengan setan. Setan, bila gagal merayu pada satu kejahatan/keburukan, akan berpindah pada kejahatan/keburukan yang lain, yang lebih rendah. Tetapi tidak pernah berhenti, atau puas. Karena itu, begitu berhasil, ia akan pindah kepada yang lain. Sehingga, manusia menjadi setan sepertinya. Atau, dengan kata lain, durhaka kepada Tuhan, dan mengajak orang lain kepada kedurhakaan..
Iblis adalah termasuk komunitas Jin, karena ia membangkang perintah Allah maka disebut dengan Iblis. Ia bukanlah dari golongan Malaikat. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah..
Dan ketika kami katakan kepada para Malaikat bersujudlah kalian kepada Adam, maka bersujudlah mereka semua kecuali Iblis adalah dia dari golongan Jin maka dia durhaka dari perintah Tuhannya”. (QS. al-Kahfi 18:50)..
jadi Setan itu Sifat. Setan bukan sosok makhluk tersendiri, tapi hanyalah sifat dan sebutan bagi setiap Pembangkang dari golongan Jin dan Manusia.. Dan sebagai musuh bagi setiap orang beriman. Terkadang Allah menyebut Iblis dalam al-Qur’an dengan sebutan Setan. Allah berfirman,
“Dan demikianlah kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh, yaitu Setan-Setan (dari jenis) Manusia dan (dari jenis) Jin”. (QS. al- An`am 6:112)..
Nyatalah bahwa Setan merupakan Kata Sifat bukan Jenis Makhluk. Dan Iblis merupakan dari golongan Jin yang Membangkang, selanjutnya disebut Rajanya Setan (Pembangkang).. Setan/Syaithan = Sifat Buruk / Jauh dari Kebenaran (bisa menjangkiti manusia & jin) Iblis = Golongan Jin yang membangkang kepada Allah..
Perbedan tafsir ulama tentang iblis adalah ada yang mengatakan bahwa iblis sebagian dari jin yang fasik ( dalam surat alkahfi ayat 50) dan ada juga pendapat ulama yang mengatakan iblis adalah bahagian dari malaikat yang fasik ( dalam surat al baqarah ayat 34). Dalam suatu kitab dinyatakan bahwa iblis ahli ibadah, dan tinggal di surga dan ibadah nya lebih baik dari malaikat. Tapi dosanya hanya satu, yaitu tidak mau sujud kepada Adam..
Jin adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dari api. Yang memebedakan jin dengan iblis adalah tugasnya. Tugas jin adalah untuk beribadah kepada Allah seperti yang disebutkan dalam surat Adz dzaariyaat ayat 56 yang artinya “tidaklah diciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada Allah..
Setan itu bermakna lebih kepada sifat yang dimilki makhluk Allah. Sehingga semua iblis pasti setan. Sifat setan ini selalu mengajak pada keingkaran kepada Allah SWT..
Pada surat an nas telah disebutkan oleh Allah jenis-jenis setan, yakni :
1. Setan manusia
Setan yang paling berbahaya adalah setan manusia. Setan jenis ini dapat kita lihat sehari-hari dengan nyata. Setan inilah yang kita hadapi sehari-hari yang sering mengajak manusia bermaksiat kepada Allah..
2 Setan Jin
Setan jin adalah setan yang tidak terlihat oleh kasat mata. Karena ada sifat setan pada jin maka dari ada jin kafir dan jin muslim. Jin kafir lah yang selalu mengajak manusia untuk bermaksiat kepada Allah..
Bisikan dari Iblis : berada di sebelah kiri yaitu selalu bertentangan dengan Allah. Iblis juga membisikkan suatu perbuatan yang baik dengan tujuan :
1. Agar manusia lebih mementingkan perkara yang tidak wajib dan meninggalkan perkara yang wajib..
2. Agar lebih terperosok kepada dosa yang lebih besar. Setan menghasut kepada riya padahal niat awal kita bagus..
Bisikan dari Malaikat : berada di sebelah kanan dan selalu membisikkan perbuatan yang sesuai dengan hukum-hukum Allah.. Nafsu merupakan bisikan yang berada diantara malaikat dan Iblis..
Ciri-ciri dari nafsu sebagai berikut:
1. tidak berfikir akibat dari suatu perbuatan
2. senang akan sesuatu yang indah-indah,
3. nafsu cenderung mengikuti bisikan setan,
4. ketika mendapat musibah nafsu akan ingat kepada Allah sedangkan ketika mendapat nikmat maka lupa kepada Allah..
bagaimana membedakan apakah bisikan tersebut mudhorot ataupun manfaat dan bertentangan dengan agama atau tidak. Jawabannya, kita harus belajar agama, belajar dan terus belajar agar kita mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak menurut agama. itu salah satunya cara.
” Dan ketika kami katakan kepada para Malaikat bersujudlah kalian kepada Adam, maka bersujudlah mereka semua kecuali Iblis adalah dia dari golongan Jin maka dia durhaka dari perintah Tuhannya”. (QS. al-Kahfi 18:50).. Pertanyaannya yang sering saya terima kenapa Iblis tak mau sujud kepada ADAM? Jawabanya simple banget karena itu adalah Skrip yang di terima Iblis.Oke kita balik ke setan,Setan itu Sifat. Setan bukan sosok makhluk tersendiri, tapi hanyalah sifat dan sebutan bagi setiap Pembangkang dari golongan Jin dan Manusia, dan sebagai musuh bagi setiap orang beriman. Terkadang Allah menyebut Iblis dalam al-Qur’an dengan sebutan Setan. Allah berfirman,
“Dan demikianlah kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh, yaitu Setan-Setan (dari jenis) Manusia dan (dari jenis) Jin”. (QS. (QS. al- An`am 6:112).
Berarti manusia bersifat setan wujud manusia sifat setan maka itu di namakan setan dari golongan manusia .. seperti hal nya syetan dari golongan jin .
al- An`am 6:112).
Di namakan setan dari golongan manusia,berarti wujudnya manusia tapi bersifat setan seperti hal nya setan dari golongan jin .

 Wasalam........

HAKEKAT FANA



Salamun Alaikum,Alhamdulillah artikel ini bisa saya muat dengan izin Allah,sudah lama pengen curhat tapi selalu saja ada halangannya.FANA adalah Titik penting seorang salikin yang sedang berjalan menuju Allah SWT.Sebuah keadaan dimana ke-diri-an (kehambaan) seseorang telah “tiada”. Dalam situasi demikian bagi salikin yang bersangkutan tidak ada lagi yang hidup kecuali Allah SWT, dan sirnalah semua yang tampak.
Yang dimaksud dengan fanâ’ (hilang) di sini bukan fana’ ? al-jism atau fana’ secara lahiriah. Tapi fana’ secara maknawiah, yaitu fana’ atau hilang dari wilayah akidah. Fana’ ?llah dengan baqâ’ billâh. Fana’ ?llah konsep dasarnya adalah La ilaha Illa Allah. Semua hal hanya untuk diri-Nya dan tidak untuk yang lainnya. Sebagai bukti konkret orang yang telah fanâ’ adalah ia senantiasa meyakini konsep la hawla wa laquwwata illa billah al ‘aliyy al adzîm. Tak ada kekuatan diri, tak ada kemampuan diri, kecuali kekuatan dan kemampuan diri Allah SWT. Pada diri Rasulullah SAW kondisi fana tampak pada periode Mekkah. Semua ketakwaan beliau dan berbagai mukjizat yang terjadi selama periode Mekkah merupakan bukti kuat akan hal itu.
Seorang sâlikîn yang tengah fana’ tampak jelas dalam sifat kesehariannya. Berbagai emosi dan reaksi negatif yang biasa bersemayam dalam diri telah berubah menjadi sebaliknya. Tenang, kuat, dan sabar ketika menghadapi gelombang kehidupan merupakan bukti kuat bahwa seseorang telah fana. Bahkan, ketika dicaci-maki oleh banyak orang pun ia tidak serta merta balas memaki atau membenci. Karena, baginya yang penting Allah SWT tidak murka dan membencinya. Konsentrasinya hanya pada Sang Khalik. Semua yang dilakukannya senantiasa berangkat dari kesadaran kehambaan yang harus senantiasa memiliki catatan baik di sisi Allah SWT.
Dalam keseharian, orang yang fana’ sepertinya tampak masa bodoh dan asyik dengan dirinya sendiri. Berbagai hal di luar dirinya hanya mendapat sedikit perhatian dan sedikit memberi dampak padanya. Bahkan ketika ia tengah dalam keadaan serba berkekurangan, ia tetap bergeming. Ia tetap bersyukur dan senantiasa mengucap alhamdulillâh.
Fana’ bagi seseorang yang belum berkeluarga barangkali tidak menjadi masalah. Tapi lain halnya bila ia telah menikah atau bahkan harus menanggung jawabi orang seisi rumah. Karena sikap kesehariannya terkesan santai dan tidak peduli, sudah barang tentu membuat khawatir banyak orang. Meski, sesungguhnya fana yang benar adalah fanâ’yang tetap pada kesadaran kemanusiaannya, dan tetap sadar pada tanggung jawab sosialnya.
Seseorang yang masih termasuk dalam kategori seorang salikîn, fana-nya masih kerap tidak stabil. Ia sering fana’ hanya untuk hal-hal yang enak baginya, tapi tidak fana’ ketika menghadapi hal buruk yang tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Karena itu, agarfana’ yang terjadi pada seorang salikin adalah fana’ yang benar menurut agama dan fanâ’nya stabil, dibutuhkan bimbingan seorang Mursyid. Tidak hanya fana’ ketika dalam kesenangan, tapi juga mampu fana’ dalam kesulitan. Karena fana’ dalam bimbingan seorang Mursyid adalah fana’ yang terstruktur, yakni dengan ilmu dan amal yang disebut jalan mutawasith pertengahan). Sehingga yang terjadi adalah fana’ yang tidak membuat orang disekelilingnya menjadi gelisah dan marah. Karena ia tetap hidup normal dan menjalankan kewajiban sosialnya dengan baik, namun orientasinya tetap pada hati nurani.
Zaman dahulu, proses fana’ dilalui lewat berbagai proses yang terkadang sulit diterima oleh akal, seperti khalwat di gua hingga ditidurkan selama ratusan tahun. Namun tentu saja hal itu bisa terjadi karena situasi dan kondisi zamannya memang berbeda dengan sekarang. Maka, proses pembelajaran dan laku olah spiritualnya pun berbeda. Contohnya, di zaman sekarang banyak orang lebih mengutamakan syariatnya daripada tauhidnya. Sehingga, akhirnya keislamannya pun hanya di permukaan, tidak menyentuh keislaman yang mendalam-Islam yang sesungguhnya.
Tantangan lain, kalau dulu orang melakukan khalwat dengan jalan menyendiri di tempat-tempat sepi macam di gua, maka sekarang orang dituntut untuk bisa khalwat dan ‘uzlah di tengah-tengah masyarakat ramai. Artinya, hati kita tetap terpaut dengan Allah SWT meski ?sik jasmaniah kita sibuk dengan kegiatan kemasyarakatan, bekerja mencari nafkah, dan kesibukan mengurus keluarga.
Harus disadari betul bahwa yang khalwat itu adalah khalwat hati bukan jasad. Dan kesadaranpun harus terusdijaga, bahwa pengamalan ma’rifah, pengamalan hakikat, dan pengamalan aqidah merupakan bagian dari perjalanan kita menuju Allah SWT, dan kemampuan kita melakukan khalwat juga merupakan anugerah-Nya. Maka, semua itu harus dikembalikan kepada Allah SWT. Jadi, yang khalwat itu benar-benar bukan jasadnya, melainkan hati dan pikirannya. Hati harus senantiasa menghadirkan Allah SWT, belajar pada setiap keadaan, dan belajar pada setiap persoalan, serta mengembalikan semua yang terjadi pada Allah SWT. Bahkan, bagi seorang mursyid pun khalwat juga merupakan anugerah. Tidak ada seorang pun yang bisa khalwat kalau bukan karena mendapat anugerah-Nya.
Kata Syaikh Abd al-Qâdir al-Jailanî, banyak orang yang tersesat oleh jin dan iblis ketika berkhalwat. Hal itu bisa terjadi karena minimnya ilmu pengetahuan dan tidak mendapat bimbingan dari seorang Mursyid. Syaikh Abd al-Qâdir al-Jailanî demikian khusyuk dan bergeming ketika tengah ber-khalwat meski digoda oleh iblis. Hanya Allah, Allah dan Allah yang memenuhi ruang batin beliau. Keyakinan bahwa bukan ilmu yang ada padanya yang memberinya kekuatan, namun Allah SWT lah yang memberinya kekuatan dan kemampuan. Akhirnya, beliau pun selamat dan berhasil menyelesaikan khalwat-nya dengan baik.
Di zaman yang serba sibuk sekarang ini, kita tidak perlu melakukan khalwat munfarid atau khalwat di suatu tempat yang sepi. Kita justru dituntut mampu melakukan khalwat hakiki (di dalam hati). Hati senantiasa memandang kepada Allah SWT meski ?sik jasmaniah sibuk menjalani hidup keseharian.

Khalifah di Muka Bumi
Hakikatnya, manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Namun, tidak sembarang orang bisa disebut khalifah. Yang bisa benar-benar di katakan khalifah adalah mereka yang sudah “sampai” (secara iman-hati-piki-ran) kepada Allah SWT. Sedangkan mereka yang belum sampai belum pantas menyandang khalifah, karena berarti ia belum punya bekal sebagaimana Nabi Adam AS yang diberi bekal oleh Allah SWT nama-nama di bumi dan di langit. “Barang siapa yang ma’rifatullâh maka tidak ada sesuatu apa pun yang tersembunyi di langit maupun di bumi.” Artinya, ia paham dengan basyirah al-qalbi maupun ladunni. Bahkan, bila ada sesuatu yang tersembunyi sekalipun dia paham, apa yang belum terjadipun dia tahu karena ia diberitahu oleh Allah SWT. Itulah ilmu ladunni.

Ada pula orang yang disebut Âlim al-Rabbânî, yaitu orang yang ‘alim (paham-ahli) dengan Tuhannya, bukan ulama lahiriah. Seorang ulama lahiriah biasanya hanya mampu membaca kitab, sedangkan seorang professor biasanya hanya fasih berwacana tentang agama maupun tasawuf (ia tidak mengamalkan secara mendalam). Berbeda dengan orang yang Âlim al-Rabbânî, yang diberi ilmu ladunni oleh Allah SWT, yang setiap saat membutuhkan ilmu dengan mudah ia memperolehnya, namun sembari tetap mengembalikan semua ilmunya kepada Allah SWT. Orang semacam itu tidak pernah kehabisan jawaban. Semakin banyak orang bertanya padanya, makin mudah ia menjawabnya.
Orang yang Âlim al-Rabbânî juga orang yang sosoknya low pro?le (rendah hati). Ia tidak akan mengumbar kata-kata kalau tidak ada yang bertanya. Kecuali pada waktu-waktu tertentu ketika ia menjalankan rutinitas tugasnya sebagai ulama. Seperti Rasulullah SAW yang tidak akan mengeluarkan (ilmunya) bila tidak ditanya oleh umatnya. kecuali ketika beliau harus menyampaikan wahyu. Makanya, semua asbâb al-nuzûl dan asbâb al-wurûd Al-Quran dan Al-Hadis itu merupakan hasil pertanyaan dari para sahabat. Begitu juga orang yang dekat dengan Allah SWT. Ia akan diberikan ilham yang sifatnya setingkat dengan wahyu, dan ?rman Allah akan jelas dan gamblang apabila penjelasannya didasari oleh ilham. Cara Allah memelihara Al-Quran tidak sebatas penjilidan. Karena, penjilidan bisa dilakukan oleh siapa saja. Tapi pemahaman Al-Quran hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bersih hatinya dan diangkat oleh Allah SWT. Sebagaimana janji Allah SWT, “Kami yang menurunkan Al-Quran dan kami yang memelihara.” Maka Allah SWT menurunkan orang-orang yang diisi hatinya dengan ilham untuk mengurai Al-Quran yang sesungguhnya bukan semena-mena dalam bentuk ta’wil.

Ilham dan Wahyu
Turunnya ilham itu sama seperti wahyu. Terkadang mudah dan nikmat, terkadang diterima dengan rasasakit di kepala, dan lain sebagainya. Wahyu dengan ilham tidak berbeda jauh. Bedanya kalau ilham itu tidak boleh ditulis karena akan mengganggu, sebagaimana Rasulullah SAW yang tidak pernah menyuruh sahabat untuk menulis hadis, meski bila para sahabat menulis pun tidak apa-apa, karena bukan merupakan sebuah larangan keras.


Setiap salikin dianjurkan untuk menimba ilmu dari yang “hidup” , artinya ia menimba ilmu dari seorang mursyid. Sebagaimana Abu Yazid menyatakan, “Hai kamu, mengambil ilmu dari mayit ilal mayit. Kamu ambil ilmu dari buku (benda mati), kemudian diajarkan ke orang dan orang itu juga mati, maka ilmunya tidak akan berkembang dan tidak ada berkahnya.” Karena yang benar adalah mengambil ilmu dari yang “hidup” yang tidak pernah mati. Banyak ulama yang belajar dengan, katanya. Katanya kitab ini, dan katanya kitab itu. Dan, bagi siapa saja yang mengajarkan ilmu dan dia merasa bisa mengajar-berarti dia hamba, dan hamba itu mati. Lain halnya seorang Mursyid, yang tidak pernah merasa memberi sesuatu (ilmu), dan tidak pilih kasih pada murid-muridnya. Semua sâlikîn diperlakukan sama dan mendapat perhatian serta kasih sayang yang sama darinya.

Apakah Kesimpulan Hakekat FANA sebenarnya?Fana bukan hilang atau lenyap,justru FANA adalah kesadaran Intelektual Tinggi,sehingga penglihatan mata orang yang FANA adalah TAJAM. 

WAHABI SYIAH DAN SUNNI



Salamun Alaikum..Hari ini saya coba membahas perbedaan perbedaan yang ada antara WAHABI,SUNI dan SYIAH.Dari kalimat tersebut mungkin saudara telah banyak dapati timpah tindih antara satu dan lainnya.Baiklah kita mulai dari “..Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia..” [Asy Syuura 11]
Perbandingan Aqidah Wahabi vs Sunni vs Syi’ah
Jika orang awam melihat sekedar kulitnya saja seperti Rukun Iman dan Rukun Islam antara Sunni dan Syi’ah yang berbeda, orang awam akan berpendapat bahwa aqidah Syi’ah beda dengan Sunni. Begitu pula amalannya. Karena beda, Syi’ah bukan Islam. Sebaliknya Wahabi yang sama rumus Rukun Iman dan Rukun Islam dengan Sunni dianggap sama dengan Sunni. Tak heran jika ustad Idrus Ramli berpendapat Wahabi lebih lurus ketimbang Syi’ah.
Padahal jika kita gali lebih dalam, ternyata Sunni dengan Syi’ah itu cuma beda kulitnya. Tapi hakikatnya sama. Meski Rukun Iman Sunni dengan Syi’ah beda, namun hakikatnya Syi’ah meng-Imani 6 rukun Iman di Sunni seperti beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab Suci Al Qur’an, Rasul, Hari Kiamat, dan Takdir.
Kalau sama, kenapa beda Rukun Imannya?
Kalau kita baca banyak Hadits dan Al Qur’an, maka rumusan Iman itu macam2. Ada yang cuma 3 rukun, ada pula yang 5 rukun di mana takdir tidak termasuk. Di Al Qur’an juga rumusan orang yang beriman beda dari 6 rukun Iman yg biasa kita pelajari:
“…kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (IMANNYA)..” [Al Baqarah 177]
Di Al Baqarah 285 juga disebut Rukun Iman hanya ada 5 tanpa Iman kepada Qadla dan Qadar:
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” [Al Baqarah 285]
Pada Al Baqarah 3-4 rumusan Rukun Iman juga lain lagi: Beriman kepada yang Ghaib, Kitab Suci, dan Akhirat.
Jadi hanya karena formulasi rukun Imannya tak menyebut beriman kepada Qadla dan Qadar, belum tentu mereka sesat/kafir. Kecuali jika mereka benar2 tidak beriman kepada Qadla dan Qadar.
Rukun Islam juga begitu. Meski rumus beda, kenyataannya Syi’ah juga bersyahadah: “Asyhadu alla ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rosulullah”. Ini sudah mencukupi Syahadah Sunni meski mereka tambah (versi mereka bid’ah hasanah) dgn Ali waliyullahu.
Sebetulnya yang sesat itu adalah jika tidak mengucapkan 2 kalimat Syahadat (Syahadat kepada Allah dan RasulNya). Tapi jika mereka mengucapkan itu, maka tidak sesat. Adakah tambahan Syahadah ke 3 membuat mereka jadi sesat/kafir?
Di dalam Islam, selain meminta ummat Islam bersyahadat, Nabi juga meminta ummat Islam untuk bai’at (berjanji setia) kepada Nabi di Baiatur Ridhwan. Saat Khalifah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali dilantik pun ummat Islam membai’at/berjanji setia kepada mereka. Adakah itu sesat/kafir?
“Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al-Maidah ayat 55)
Kaum Syi’ah juga sholat, bayar zakat, puasa, dan juga berhaji jika mampu. Jika anda berhaji atau umrah ke Mekkah niscaya anda akan berjumpa dengan Muslim Syi’ah dari Iran yang ikut berhaji / umrah bersama anda.
Sebaliknya Wahabi meski Rukun Iman dan Rukun Islamnya sama, jika kita kaji ternyata beda dengan Sunni. Wahabi tidak mengenal bid’ah hasanah. Semua bid’ah sesat, menurut Wahabi. Ini karena mereka cuma berpegang pada hadits Kullu bid’ah dlolalah dan menolak hadits “Ni’mal bid’ah” yang disebut Khalifah Umar bin Khoththob ra. Walhasil banyak amalan Aswaja / NU yang dinyatakan sesat / syirik oleh Wahabi seperti Usholli, Qunut Subuh, Tahlilan, Maulidan, Ziarah Kubur, Tawassul, dsb.
Dan yang lebih parah adalah aqidah tentang Allah. Inti dari agama adalah Tuhan, yaitu Allah. Karena agama itu mengatur cara kita menyembah Allah. Nah jika Tuhan yang disembah itu meski nama sama, tapi zat / sifatnya beda, ini bisa keliru sejauh-jauhnya.
Saya coba tabayyun langsung ke website2 Syi’ah dan Wahabi. Pada Terjemah Al Qur’an terbitan Kerajaan Arab Saudi meski mengaku dari Tim Terjemah Depag, ada tambahan: “Pendapat yang sahih terhadap ma’na “Kursi” ialah tempat letak telapak kaki Allah”. Artinya menurut Wahabi, Allah punya “Telapak Kaki Allah”. Silahkan buka Terjemah Al Qur’an terbitan Kerajaan Arab Saudi Surat Al Baqarah ayat 255 (Ayat Kursi).
Apakah ini fitnah?
Tidak. Ini saya ambil dari website Wahabi bahwa Allah punya wajah:
“… Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 272)
Dengan berbagai ayat Al Qur’an dan Hadits tentang Wajah Allah yang ditafsirkan apa adanya, Ulama Salafi Wahabi berkesimpulan Allah punya wajah. Dengan cara yang sama nanti mereka menetapkan Allah punya tangan, kaki, dsb:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allah) merupakan sifat yang terbukti keberadaannya berdasarkan dalil Al-Kitab, As-Sunnah dan kesepakatan ulama salaf.”
Penulis: Abu Mushlih Ari WahyudiMuroja’ah: Ustadz Aris Munandar

Ini dari website Wahabi lain yang menyatakan Allah punya kaki. Karena mereka terjemahkan hadits apa adanya:
Di antara sifat yang tetap bagi Allah adalah: Kaki
Dalil hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, no. 6661 dan Mulsim, no. 2848, dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
لَا تَزَالُ جَهَنَّمُ تَقُولُ هَلْ مِنْ مَزِيدٍ حَتَّى يَضَعَ رَبُّ الْعِزَّةِ فِيهَا قَدَمَهُ فَتَقُولُ قَطْ قَطْ وَعِزَّتِكَ وَيُزْوَى بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ
“(Neraka) jahanam masih saja berkata, ‘apakah ada tambahan’ hingga akhirnya Tuhan Pemiliki Kemuliaan meletakkan kaki-Nya. Kemudian dia berkata, cukup, cukup, demi kemuliaan-Mu, lalu. Lalu neraka satu sama lain saling terlipat.”
Dan ini tulisan dari Website Wahabi bahwa Allah punya 2 tangan dan tangannya kanan semua:
Kesimpulan Allah mempunyai kedua tangan dan kedua tangan Allah adalah kanan.
 Menurut Sunni, Allah itu Esa. ZatNya pun Satu. Tidak terbagi-bagi jadi anggota tubuh seperti wajah, tangan, dan kaki:
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.” [Al Ikhlas 1]
Sebaliknya seorang Salafi Wahabi dengan bangga menunjukkan kesesatan Syi’ah yang menyatakan bahwa Allah tidak bertempat dan tidak berarah. Katanya pernyataan tsb dari kitab Al Kafi. Kalau begitu, Allah ada di mana-mana dong?
Padahal itulah yang benar. Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) yang asli juga Allah tidak bertempat dan tidak berarah. Keliru jika mengatakan Allah “ADA DI”, meski itu “Ada di mana-mana”. Allah tidak memerlukan tempat atau pun waktu. Justru Allah yang menciptakan ruang dan waktu. Jika kita menyatakan Allah ada di satu ruang, berarti batallah sifat Allahu Akbar. Allah Maha Besar. Karena Allah ternyata dilingkupi oleh tempat / makhluk ciptaannya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan.
Pendapat Ulama’ Salaf : ” Allah Wujud Tanpa Bertempat ”
Imam Ahlussunnah; Imam Abu Manshur al-Maturidi (w 333 H), dalam Kitab at-Tauhid; Allah Ada Tanpa Tempat dan Tanpa Arah
Beliau dalam karyanya, Kitab at-Tauhid menuliskan:
إن الله سبحانه كان ولا مكان، وجائز ارتفاع الأمكنة وبقاؤه على ما كان، فهو على ما كان، وكان على ما عليه الان، جل عن التغير والزوال والاستحالة
“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Tempat adalah makhluk memiliki permulaan dan bisa diterima oleh akal jika ia memiliki penghabisan. Namun Allah ada tanpa permulaan dan tanpa penghabisan, Dia ada sebelum ada tempat, dan Dia sekarang setelah menciptakan tempat Dia sebagaimana sifat-Nya yang Azali; ada tanpa tempat. Dia maha suci (artinya mustahil) dari adanya perubahan, habis, atau berpindah dari satu keadaan kepada keadaan lain” (Kitab at-Tauhid, hal. 69)
“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.” [Al Furqaan 59].
Jangan artikan ‘Arsy dengan langit. Dan jangan pula memikirkan Allah menempel di atas ‘Arsy. Maha suci Allah dari itu. Oleh sebab itu di kalimat berikutnya Allah menyatakan cuma Nabi Muhammad yang lebih tahu soal itu. Kita jangan coba menakwilkannya.
Sebelum Allah menciptakan Langit dan Bumi, Allah sudah ada. Tidak ada di atas langit. Setelah Allah menciptakan Langit dan Bumi, zat dan keadaan Allah tidak berubah mengikuti makhlukNya. Allah tidak nangkring di atas langit. Saat langit dan bumi dihancurkan oleh Allah, apa Allah masih di atas langit? Zat dan Keadaan Allah tidak berubah sebelum langit diciptakan, saat langit ada, atau pun sesudah langit dihancurkan. Allah tidak berubah karena makhlukNya.
Tidak seperti itu. Itu adalah pemahaman yang dangkal terhadap hadits. Tidak sesuai dengan pemahaman para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Bahkan para sahabat dan ulama salaf tidak mendiskusikan hal itu. Sekarang masalah Allah di atas langit ini dijadikan oleh kaum akhir zaman sebagai sesuatu yang amat penting. Padahal para sahabat tidak mendiskusikan itu. Begitu kata Habib Umar bin Hafidz.
Maha Suci Allah dari memerlukan tempat. Justru Allah yang menciptakan dan menguasai ruang dan waktu:
“…Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [Ali ‘Imran 97]
” Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” juga disebut dalam surat Al ‘Ankabuut ayat 6.
Yang bertempat itu cuma makhluk. Bukan Allah. Allah tidak butuh tempat sebagaimana makhlukNya:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya..” [Huud 11]
Jika Wahabi menyatakan Allah di atas langit dan yang tidak percaya itu kafir, apakah Wahabi akan mengatakan kafir terhadap orang yang mengatakan Allah itu dekat?
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat…” [Al Baqarah 186]
“..Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.” [Saba’ 50]
“..dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” [Qaaf 16]
Kemudian Salafi Wahabi juga menuliskan Allah dari langit naik-turun ke bumi. Seolah-oleh Allah itu lebih kecil dari Langit. Lebih kecil dari alam semesta. Padahal Maha Suci Allah. Allah Maha Besar. Allah jauh lebih besar daripada Langit dan Bumi. Jika kita gambarkan keyakinan Wahabi jadi seperti ini:

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda.
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ رواه البخاري( كتاب التوحيد/6940) ومسلم ( صلاة المسافرين/1262) .
“Tuhan kita Tabaaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia saat sepertiga malam terakhir. Lalu dia berkata, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan. Siapa yang memohon kepadaku, niscaya akan Aku berikan. Siapa yang meminta ampun kepada-Ku, niscaya akan aku ampuni.” (HR. Bukhari, Kitab Tauhid, no. 6940, Muslim, Shalatul Musafirin, no. 1262)
النزول’ (turun) menurut Ahlussunnah artinya adalah, bahwa Allah Ta’ala turun dengan dzat-Nya ke langit dunia secara hakiki namun sesuai dengan kebesaran-Nya, dan tidak ada yang mengetahui caranya selain Dia.
Menurut Sunni, Allah itu tidak bisa kita bayangkan. Esa ZatNya. Namun menurut Wahabi yang mengartikan Al Qur’an dan Hadits dengan terjemah ala kadarnya, tidak pakai Majaz / Kiasan, Allah itu punya wajah, 2 tangan yang kanan semua, betis, dan kaki.
Jika Allah ada DI atas langit, kemudian naik turun ke bumi, jadinya Allah itu bukan lagi Maha Besar. Bukan Allahu Akbar. Itu menurut paham Wahabi. Na’udzu billah min dzalik.
Maha Besarnya Allah bisa kita saksikan pada Ayat Kursi:
“…Kursi Allah meliputi langit dan bumi…” [Al Baqarah 255]
Bayangkan, Kursi Allah saja meliputi Langit dan Bumi. Artinya lebih besar dari langit dan bumi. Padahal kursi ini dibanding ‘Arsy seperti titik dengan jagad raya. Dan Allah jauh lebih besar dari ‘Arsy. Jangan sekali-kali membayangkan Allah duduk atau bertempat di atas makhlukNya. Allahu Akbar. Allahu Maha Besar!
Ulama Sunni menafsirkan bukan Allah secara fisik turun ke Bumi kemudian naik lagi, tapi Rahmat Allah turun ke bumi. Kalau Allah turun-naik ke bumi dari langit, kesannya kan Allah lebih kecil dari alam semesta.
“Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadaNya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Al Hasyr 24]
Menurut Aswaja Allah itu Esa Zatnya. Tidak terbagi2 jadi anggota tubuh. Menurut Wahabi yang berpaham Mujassimah karena menafsirkan Al Qur’an dan Hadits secara kaku, Allah punya wajah, 2 tangan yang semuanya kanan dan berjari, punya betis, kaki, telapak kaki, dsb. Jika tak percaya, coba tanya syekh antum atau cari di website2 Wahabi.
Ini mirip kepercayaan Kristen. Contoh di sini menurut Kristen Allah punya telapak tangan:
ALLAH MEMPERLIHATKAN “TELAPAK TANGAN KANAN-NYA” KETIKA MENJAWAB PERTANYAAN TERAKHIR BAPA SUCI PAUS YOHANES PAULUS II

Kalau meyakini Allah punya wajah, tangan, kaki, dsb lama2 Tuhannya bisa seperti ini…. Atau saat Dajjal datang mengaku sbg Tuhan, dia akan percaya karena meyakini Allah punya jasad. Aqidah Wahabi seperti ini disebut oleh Ulama sebagai Mujassimah yang sesat. Menganggap Allah punya jasad sebagaimana makhluk yaitu wajah, tangan, kaki, dsb. Jika aqidahnya sesat, kok bisa2nya ngaku sebagai penjaga aqidah?
Jadi meski nama sama, yaitu: Allah, ternyata sifat2 Allah Wahabi beda dengan Allah Sunni dan Allah Syi’ah.
Ibaratnya ada Ulama bernama Hasan. Kita ingin berguru dengan Hasan yang sifat2nya adalah Ulama, berakhlak baik, rendah hati, dsb. Nah jika ada orang yang berguru dengan orang yang namanya sama, yaitu: Hasan, tapi sifatnya beda seperti: bodoh, tidak lulus SD, tidak berakhlaq, sombong, dsb. Samakah orang yang berguru dengan Hasan yang Ulama dengan Hasan yang Bodoh? Beda bukan?

Kesimpulan dari saya http://musafirbatin.blogspot.com/ semua perbedaan adalah rahmat,permasalahan yang timbul adalah karena memang tak mengenal ALLAH sebenar benar KENAL.Tak mengerti arti hidup sebenarnya DARIMANA,DIMANA DAN MAU KEMANA....Jika 3 Konsep ini di ketahui Insya Allah tak ada tuding menuding saling menyalahkan satu sama lain.Merosotnya Islam karena satu sama lain ingin membenarkan satu golongan saja dan yang lainnya salah,menurut saya jika masing-masing ingin memperbesar golongan maka yang di dapat hanyalah salah benarnya saja,tapi jika masing masing bersatu ingin membesarkan islam Insya Allah dan yakin bahwa ALLAH akan mempersatukannya.ISLAM itu tidak beda,yang beda MINDSET atau pola pikir personalnya.


 
Diberdayakan oleh Blogger.